Jumat, 24 Juli 2009

Perekonomian Pascabom


Rabu, 22 Juli 2009 | 04:50 WIB

A Tony Prasetiantono

Agak di luar dugaan, ternyata sejauh ini belum terdeteksi dampak negatif signifikan sebagai respons bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, terhadap perekonomian Indonesia.

Berdasar pengalaman, dampak terhadap perekonomian Indonesia bisa dipilah dua bagian. Pertama, jangka pendek menyangkut respons sektor finansial (pasar uang dan modal). Kedua, jangka panjang terkait respons di sektor riil (pariwisata dan investasi).

Dalam jangka pendek, yang paling ditakuti adalah dampak seketika, yaitu respons yang muncul secara serta-merta, yang biasanya terjadi di pasar uang dan pasar modal. Kedua pasar ini paling sensitif terhadap aneka kejadian sporadis dan mendadak. Reaksi amat standar bila terjadi teror bom adalah kurs rupiah dan harga saham merosot. Namun, ternyata rupiah dan harga saham baik-baik saja. Memang sempat gamang, tetapi segera kembali terbentuk kepercayaan pasar (market confidence).

Selasa (21/7) lalu, rupiah bahkan menunjukkan gejala anomali, menguat hingga pernah menyentuh Rp 10.025. Sementara indeks harga saham gabungan (IHSG) terus bertengger tinggi, ditutup di level 2.146, berarti masih jauh di atas batas psikologis. Pertanyaannya, mengapa timbul respons semacam ini? Apakah pasar uang dan modal ”tidak takut” teror bom?

”High expectations”

Sebelum bom meledak (17/7/2009), sebenarnya pasar sedang bersiap-siap ”merayakan” kemenangan demokrasi pemilu presiden (pilpres). Perkiraan saya sejak awal—menyusul sukses pilpres—rupiah berpotensi mengalami rally hingga di bawah Rp 10.000, bahkan masih ada ruang hingga Rp 9.500 per dollar AS.

Ternyata, hal ini tidak mudah diwujudkan karena usai pilpres timbul perdebatan terkait dugaan kecurangan, DPT, dan lainnya. Pasar terpaksa mengalami jeda dan harus menunggu bagaimana akhir pertikaian. Jika proses bertele-tele dan kontraproduktif, bisa jadi mood pasar hilang, rupiah tidak jadi menguat.

Meski di sana-sini masih diliputi ganjalan, sebagian pasar tampaknya berkesimpulan, secara umum pilpres sukses dan Indonesia boleh mencatatkan diri sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dunia. Respons seperti ini tergambar jelas di pasar dan terekspresikan dengan cover story majalah Newsweek (edisi 20 Juli 2009), yang menampilkan foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan judul Can He Change Indonesia?

Berbagai artikel di majalah itu mendeskripsikan kisah sukses perekonomian Indonesia justru pada saat krisis ekonomi global menerpa. Menurut mereka, hal itu terutama disokong reformasi ekonomi yang levelnya mereka sebut moderat, memperkuat perdagangan internasional, menyambut baik kehadiran investor asing, dan di atas semua itu, adalah fokus untuk menciptakan stabilitas sektor finansial.

Selanjutnya, meski memuji Indonesia memiliki potensi besar karena dukungan jumlah tenaga kerja yang banyak dan murah, serta melimpahnya sumber daya alam, mereka juga mencatat, Indonesia belum menunjukkan kinerja sehebat potensinya. Mengapa? Jawabannya sederhana: jika pemerintah menangkap dan memenjarakan satu juta koruptor, di luar penjara masih ada dua juta lainnya yang juga terlibat korupsi.

Dengan kata lain, Newsweek berpendapat, agenda lima tahun ke depan bagi Presiden Yudhoyono masih amat berat. Meski demikian, sukses Pemilu 2009 akan menjadi fondasi bagi Indonesia meningkatkan kinerja ekonominya. Pasar tampaknya menangkap isu ini dengan baik. Ekspektasi mereka tinggi (high expectations) terhadap perekonomian Indonesia.

Barangkali faktor inilah yang paling bisa menjelaskan, mengapa dampak bom Mega Kuningan dapat dinetralisasi. Adanya jeda libur panjang yang terjadi sesudah bom meledak juga amat membantu pasar untuk tidak terlalu panik. Para pelaku pasar memiliki cukup waktu untuk mendinginkan suasana, merenung, berpikir jernih dan rasional sebelum merespons kejadian itu. Itu sebabnya otoritas bursa New York sempat meliburkan pasar sepekan agar cooling down pada peristiwa 9/11.

Faktor lain adalah fakta tidak ada negara emerging markets lain yang bebas dari persoalan pelik. Perekonomian Indonesia yang mampu tumbuh 4,4 persen (triwulan I-2009), dan sekitar 4,0 persen (triwulan II), faktanya bukan satu-satunya negara yang mempunyai problem dan beban politik. Dua negara yang pertumbuhannya lebih tinggi adalah China dan India. Namun, keduanya memiliki problem konflik etnis dan ancaman pemisahan wilayah, yang sering berujung kekerasan.

Di kawasan Asia Tenggara, para kompetitor kita, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, juga bernasib sama. Thailand belum aman dari konflik politik, Malaysia meski tampak stabil memendam masalah, apalagi Filipina. Jadi, jika dihitung-hitung, akhirnya investor asing tetap saja mau kembali masuk ke Indonesia.

Meski demikian, kita tidak boleh lengah. Investasi asing memang masuk Indonesia, tetapi harus ”disubsidi” pengorbanan suku bunga tinggi. Mereka mau membeli surat berharga Indonesia karena menjanjikan imbal hasil (yield) lebih tinggi. Padahal, dengan bunga obligasi tinggi menyebabkan industri perbankan kita kesulitan menurunkan suku bunga kendati BI Rate sudah gencar diturunkan.

Suku bunga ”terperangkap”

Masalah suku bunga yang ”terperangkap” bakal kian runyam saat Pemerintah AS mengumumkan defisit anggarannya yang fantastis, 1 triliun dollar AS. Selanjutnya, Pemerintah AS memiliki dua opsi, yang bisa jadi keduanya dilakukan. Pertama, menerbitkan obligasi pemerintah, baik jangka pendek (T-bills) maupun jangka panjang (T-bonds). Implikasinya, karena jumlahnya besar, hal ini akan menyebabkan yield yang ditawarkan naik. Hal ini akan memberi konsekuensi kenaikan suku bunga di seluruh dunia. Bagi Indonesia, jelas akan membawa kesulitan menurunkan suku bunga sebagaimana sudah lama dikeluhkan dunia usaha.

Tanda-tanda suku bunga global akan naik lagi mulai tampak saat Bank Sentral AS (The Fed) dalam Laporan Tengah Tahun 2009 mengisyaratkan untuk mengakhiri periode likuiditas longgar, dengan kemungkinan segera menaikkan suku bunga Fed Rate yang kini hanya 0,25 persen.

Kedua, ada kemungkinan Pemerintah AS terpaksa mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan belanja dan stimulus fiskal. Meski saya skeptis opsi ini bakal dipilih, dalam situasi terpaksa, apa yang tak mungkin terjadi? Namun, dampaknya bisa buruk, inflasi membubung, kurs dollar AS jatuh. Ini bisa memicu resesi global berikut. Diyakini Pemerintah AS akan berhati-hati soal opsi ini.

Sikap optimis harus dipegang kendati bom telah merampas ketenangan kita. Jika orang asing masih percaya dan mengalirkan dana ke Indonesia, apalagi kita orang Indonesia.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

Tidak ada komentar: