Senin, 13 Juli 2009

Kita Butuh Ekonomi Kerakyatan


Arif Budimanta
(Direktur Megawati Institute)

Di hari-hari terakhir ini, kita menyaksikan betapa tema ‘ekonomi kerakyatan’ kembali menjadi pembicaraan dan topik diskusi yang hangat di berbagai media audio dan audio visual serta diperdebatkan dalam polemik di koran-koran. Meski tidak sepanas polemik soal ekonomi Pancasila pada akhir 1980-an, kita menyaksikan gelora dan hangat yang sama pada diskursus ekonomi kerakyatan saat ini.

Namun, yang terasa membedakannya dari polemik ekonomi Pancasila, yakni diskursus kali ini benar-benar lebih merakyat. Selain itu, pada polemik ekonomi Pancasila yang terlibat hanyalah kalangan intelektual, terutama almarhum Prof Mubyarto, Arief Budiman, dan lain-lain. Sedangkan, perdebatan saat ini lebih bersifat populis dan melibatkan semua kalangan. Hal ini barangkali disebabkan oleh perkembangan media komunikasi dan internet. Misalnya, situs Yahoo! Indonesia, detik.com, serta Okezone yang pernah membuka ruang untuk debat seputar hal ini dengan melibatkan siapa saja untuk bergabung dan mengaksesnya. Kelemahannya, tentu saja, bobot diskursus memang harus direlakan jatuh akibat terlalu banyaknya posting yang mengesankan ketidakseriusan atau menunjukkan kekurangan pada sisi intelektualitas.

Satu hal yang tidak terbantahkan, diskursus ekonomi kerakyatan kembali hadir seiring tema kampanye yang diusung pasangan capres-cawapres Megawati Sukarnoputri-Prabowo Subianto. Bahkan, sebelum menentukan untuk berpasangan dengan Prabowo pun, dalam guliran kampanye calon anggota legislatif, kubu Megawati telah menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai ide besar dalam kampanye mereka. Namun, dalam perkembangannya, barangkali untuk menunjukkan sisi populis mereka, semua calon presiden-wakil presiden pun rata-rata mengusung ide besar tersebut meski kadang terasa ganjil ketika titik tekan dan makna ekonomi kerakyatan itu berbeda diametral satu dengan lainnya.

Pemaknaan atas ekonomi kerakyatan tentu saja tidak boleh membingungkan rakyat itu sendiri. Bagaimana mungkin, misalnya, kita menyatakan konsen (concern) dengan ekonomi kerakyatan, sementara publik dengan gampang melihat bahwa dalam realitas keseharian lebih sering perekonomian kaum marjinal yang bertahan hanya untuk hidup subsistem pun justru menjadi prioritas pembasmian? Bagaimana valid dan dapat percaya klaim tentang kepedulian untuk menegakkan ekonomi kerakyatan, sementara rakyatlah yang dikorbankan?

Oleh karena itu, alih-alih berkonsentrasi pada pencarian definisi yang hanya akan memakan waktu, sejak awal ide besar ekonomi kerakyatan itu diusung, konsennya memang kepada rakyat. Sehingga, ekonomi kerakyatan bisa dengan sederhana diterjemahkan sebagai ekonomi yang mengedepankan kepentingan rakyat sebagai tujuan dan pedoman aktivitas perekonomian. Ekonomi kerakyatan adalah perekonomian yang mengedepankan kedaulatan rakyat serta menjadikan rakyat sebagai titik pusat perubahan, motor penggerak aktivitas perekonomian,dan inti dari perubahan ekonomi.

Sejajar dengan ide demokrasi itu, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai pusat aktivitas ekonomi dan kemakmuran mereka sebagai tujuan. Ekonomi kerakyatan dalam visi Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto telah melampaui debat panjang dan nyaris tak pernah selesai. Mana yang harus menjadi prioritas: pertumbuhan atau pemerataan? Mereka yang menganut paham neoliberal kadang dengan gampang menuding ekonomi kerakyatan adalah perekonomian etatis yang mengedepankan distribusi ala komunis. Tapi, tidak demikian sesungguhnya. Benar bahwa ekonomi kerakyatan menjadikan rakyat sebagai pusat dan kemakmuran mereka sebagai tujuan. Tetapi, kami pun sangat mengerti, sebagaimana Mancur Olson mengatakan, manakala kebijakan yang pro pertumbuhan menciptakan iklim yang merangsang peningkatan tabungan nasional, investasi, dan inovasi serta pengembangan teknologi, kebijakan pro pemerataan membimbing negara untuk melakukan distribusi pencapaian hasil-hasil ekonomi.

Oleh karena itulah, tak ada lagi perdebatan tentang prioritas pertumbuhankah atau pemerataan yang harus dikedepankan. Semua bisa berjalan seiring dengan pengaturan yang tepat dari pemerintah. Pasalnya, manakala prioritas berada pada pertumbuhan sambil melupakan pemerataan, yang terjadi adalah sebagaimana kondisi di AS. Jangan lupa bahwa dengan distribusi kekayaan yang timpang, menurut John Bellamy Foster dan Fred Magdoff dalam buku terbaru mereka The Great Financial Crisis Causes and Consequences (2009), kelompok yang paling terpukul akibat krisis ekonomi di AS saat ini adalah mereka yang termasuk dalam kelompok 90 persen warga yang berada di anak tangga paling bawah. Sementara itu, hanya satu persen teratas populasi yang memperoleh 28 persen dari pertumbuhan pendapatan nasional. Ironisnya, saat muncul kebijakan untuk melakukan bailout, mereka yang hanya satu persen itu yang justru diselamatkan talangan dana pemerintah lebih dari 700 miliar dolar AS itu. Sementara itu, mengedepankan pemerataan tanpa senantiasa berkonsentrasi kepada pertumbuhan, tak lain dari sebuah zero sum game. Artinya, peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan sekelompok masyarakat itu hanya dapat dicapai dengan menurunkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan kelompok masyarakat lain. Tentu saja, bukan redistribusi seperti itu yang kita harapkan.

Keyakinan bahwa ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang tidak mempertentangkan pertumbuhan dan distribusi, maka peningkatan kesejahteraan bersama dengan itu bisa dicapai. Sebab, kebijakan pro pertumbuhan hanya menjadi konflik dengan kebijakan pro pemerataan, bila dan hanya bila pertumbuhan ekonomi yang terjadi itu hanya menguntungkan segolongan kalangan masyarakat tertentu dan merugikan anggota masyarakat lainnya.

Untuk itu, karena 80 persen rakyat Indonesia masih terkait dengan pertanian, perekonomian petani-lah yang saat ini harus mendapatkan perhatian lebih. Dalam komitmen ini, krisis yang terjadi saat ini bisa saja dianggap sebuah blessing karena ia bisa memaksa kita menoleh sumber daya terbesar yang selama ini kerap kita abaikan. Selain itu, adanya krisis memaksa semua negara untuk melihat ke dalam (inward looking) dan menggerakkan semua potensi ekonomi dalam rangka mencukupi kebutuhan sendiri, sementara begitu banyak sumber daya yang menganggur, maka peran dan arahan pemerintah sangatlah menentukan.

Pada titik inilah, pemerintah harus bisa memberikan, tidak hanya penyadaran dan sosialisasi, melainkan juga program-program terarah untuk meningkatkan ekonomi pertanian. Rakyat harus disadarkan bahwa ekonomi pertanian bukanlah semata menanam padi dan menjual hasilnya. Bukankah paradigma yang berkembang puluhan tahun seperti itu hanya mampu mendudukkan posisi Indonesia sebagai pasar komoditas pertanian negara-negara lain, sementara lahan-lahan kosong dalam negeri terbengkalai tanpa peduli. Paradigma itu pula yang akhirnya memojokkan profesi petani sebagai posisi paria, sementara kebutuhan manusia akan pangan seharusnya menjadikan posisi itu sebuah kebanggaan dan jalan untuk menjadi kaya raya.

Namun, tentu salah jika mengidentikkan ekonomi kerakyatan sebagai ekonomi pertanian an sich. Bahwa, petani merupakan 80 persen dari komposisi rakyat Indonesia, tidaklah harus membuat negara ini menjadi negara pertanian dan melupakan industri.

Masalahnya, dengan besarnya sumber daya penduduk (petani), bukankah sebaiknya ada barang-barang industri hasil impor yang dicukupi sendiri? Di sinilah kebijakan untuk menumbuhkan industri pengganti impor (industrialisasi subtitusi impor) menjadi hal yang masih sangat relevan. Sebanyak mungkin barang-barang konsumsi dan industri yang bisa terjangkau harus diproduksi di dalam negeri. Dengan cara itu, dua persoalan besar, yakni pengangguran para petani yang sebagian besar telah tersalur ke sektor pertanian modern serta kurangnya investasi dan tabungan nasional karena devisa yang terus mengalir ke luar negeri, pun bisa memperoleh solusi.

Namun, yang nanti akan membedakannya dengan kebijakan industrialisasi subtitusi impor (ISI) gaya Orde Baru adalah pada alokasi dana untuk pengembangan industri pengganti impor itu. Jika pada masa lalu alokasi itu dilakukan tertutup dan diskriminatif karena penunjukan pemerintah, saat ini alokasi ‘nonpasar’ seperti itu harus dicegah. Pemerintah harus membuka peluang agar dana-dana yang disediakan untuk berkembangnya program itu bisa diakses siapa pun dan perusahaan mana pun yang peduli dan mampu. Tentu, untuk itu, perlu proses yang transparan, yang bisa mewadahi persaingan yang sehat, serta akuntabel.

Hanya dengan cara itu, ekonomi kerakyatan, yakni perekonomian dari, oleh, dan akhirnya untuk rakyat, bisa menjadi jembatan emas pengantar rakyat Indonesia kepada kesejahteraan.

(-)

Tidak ada komentar: