Senin, 13 Juli 2009

Ekonomi dengan Kekuatan Tata Nilai

Oleh RHENALD KASALI

Saat mencontreng pada Rabu (8/7) lalu, kita semua punya harapan, yaitu perekonomian yang lebih baik. Namun, harus diakui, pemilu telah lebih mempersoalkan ”ke mana pemimpin akan membawa kita” (begitulah inti dari sebuah visi-misi) daripada dengan bijak memahami ”siapa kita yang sebenarnya” di tengah-tengah perubahan ini.

Tak banyak yang menyadari ke mana kita pergi hampir selalu berubah, dan semakin sulit dicapai manakala budaya ekonomi tidak mendukung. Kita berubah menjadi komplainer, lebih mengedepankan konflik daripada kerja sama, mencela daripada mendukung, saling curiga ketimbang percaya, foto-foto daripada beradaptasi, dan seterusnya.

Padahal, dulu, Bung Karno membangun Negara Kesatuan RI dengan semangat tata nilai. Ia sadar betul, tanpa nilai-nilai persatuan dan gotong royong, Indonesia tak akan menikmati kemakmuran. Konon, semakin banyak manajer (bukan pemimpin) suatu negara, makin terperangkaplah negara itu dalam teknik dan strategi, dan melupakan tata nilai.

Lewat tulisan ini, saya mengajak presiden terpilih, pemimpin partai, dan pemimpin lembaga negara agar jangan melupakan budaya ekonomi. Kedepankanlah tata nilai.

Budaya ekonomi

Berbagai studi menyebutkan, ekonom hebat sekelas Boediono dan Sri Mulyani Indrawati hanya bisa mengembangkan konsepnya di atas tanah dan iklim dengan budaya ekonomi yang kuat. Budaya ekonomi merupakan hasil interaksi berbagai elemen yang membentuk belief untuk meraih kemenangan.

Bagi Indonesia, budaya ekonomi penting karena selain diterjang berbagai krisis, perekonomian, politik, teknologi, dan pandangan-pandangan masyarakat terhadap kehidupan telah berubah. Suka atau tidak suka, negeri ini telah beralih dari perekonomian berbasiskan rencana (Bappenas-based economy) menjadi ekonomi pasar.

Spirit kompetisi yang lebih mengedepankan kinerja, demokrasi, dan penerimaan pasar telah terjadi di mana-mana. Pemilu presiden kali ini menunjukkan bahwa tak ada lagi orang yang mampu mewakili suara anak buah atau anggota keluarganya.

Masalahnya, struktur, proses, nilai-nilai, dan perilaku yang dianut belum berubah. Bukankah dalam penataran P4 dulu kita diajarkan bahwa free fight liberalism adalah musuh Pancasila? Bukankah struktur penggajian dan penilaian pegawai negeri (metode BP3) dan perburuhan kita lebih mengedepankan solidaritas daripada kompetisi? Bukankah hierarki kita masih berlapis-lapis, hubungan personal lebih penting daripada tujuan, dan prosedur lebih penting daripada hasil/kinerja?

Menurut Mariano Grondona (2000), ada dua cara pandang terhadap kompetisi.

Yang satu hidup dalam bangsa yang favorable to development dan satunya lagi dalam resistant societies.

Dalam favorable to development, kompetisi diterima untuk memacu kinerja, sedangkan dalam resistant societies, kompetisi adalah agresi. Karena itulah orang-orang yang kompetitif dalam resistant societies sulit berkembang. Ia selalu dicela dan disebarkan fitnah untuk dijatuhkan.

Masyarakatnya justru mempertahankan tata cara yang mendorong solidaritas dan kesetiaan. Kompetisi di antara sesama pelaku usaha berubah menjadi kartel, politik dikuasai caudillo (diktator), dan cendekiawan berhamba pada dogma. Hanya dalam olahraga, kompetisi diterima..

Nilai-nilai transisi

Tak dapat dimungkiri bahwa semua bangsa tengah mengalami transisi, tetapi yang terberat sebenarnya terjadi di sini. Perubahan itu terjadi begitu cepat, sangat terbuka, sementara benteng nilai-nilai mengendur. Tak seorang pemimpin pun yang menyentuh tata nilai.

Tidak jelas betul apakah mereka tidak menganggap penting, tidak paham, terlalu rumit dan makan waktu, atau terlalu percaya diri dengan kinerja yang telah dicapai. Namun, kita perlu mengingatkan, kinerja yang dibangun tanpa fondasi tata nilai adalah kinerja yang rapuh dan bisa memutarbalikkan kinerja.

Harus diakui bahwa terlalu banyak benteng resistensi yang dibangun para elite untuk menghadapi masa depan baru yang penuh tantangan ini. Seperti dicatat Deal dan Kennedy, perubahan ini ditandai oleh hadirnya budaya ketakutan, penyangkalan, sinisme, self-interest, dan budaya salah tempat.

Namun, dalam transisi Indonesia saat ini, saya mencatat sepuluh nilai-nilai budaya negatif yang perlu segera dibersihkan, yaitu nilai-nilai jalan pintas, konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, mengedepankan otot, tidak tahu malu, populerisme, prosedur, dan menunda.

Karena bersifat transisi, sebenarnya nilai-nilai itu berpotensi dihapuskan asalkan antibodinya, yaitu nilai-nilai kebalikan yang lebih positif, tersedia dalam gudang amunisi kerja para pemimpin. Ini berarti catatan itu harus berada dalam blue print strategy pembangunan jangka menengah, atau minimal ada dalam catatan kepemimpinan kepala negara.

Saya kira inilah saatnya presiden terpilih membangun dan bekerja dengan tata nilai. Membangun tata nilai artinya menanam nilai-nilai budaya baru dalam masyarakat. Bekerja dengan tata nilai berarti tidak langsung masuk ke dalam program, melainkan menanam nilai-nilai dalam kabinet dan setiap lembaga negara. Setiap anggota tim pemimpin negara dinilai dari dua hal sekaligus, yaitu kepatuhan pada pelaksanaan nilai-nilai dan hasil atau kinerja yang ia berikan.

Namun, lebih dari itu, pekerjaan berat yang utama adalah merumuskan nilai-nilai, baik nilai-nilai inti yang tidak boleh berubah maupun nilai-nilai non-inti yang diperlukan dalam menghadapi perubahan ini.

Akhirnya saya ucapkan selamat kepada presiden baru, tetaplah positif dan santun.

Tidak ada komentar: