Senin, 06 Juli 2009

Analisis Danareksa Perang Tarif Telekomunikasi

Oleh Chandra Pasaribu

Masih ingat pada 2008 hampir semua operator telekomunikasi berlomba menawarkan tarif dengan banyak nol atau dengan kata lain menawarkan tarif yang sangat murah. Ini menunjukkan bahwa kompetisi sesungguhnya ada dan menguntungkan masyarakat yang menikmati tarif yang lebih murah. 

Bahkan, terjadi pergeseran moda komunikasi dari mengirim pesan layanan singkat (SMS) menjadi lebih baik menelepon karena murahnya tarif untuk melakukan panggilan telepon daripada mengirim SMS. Sebagai akibatnya, tarif SMS juga menjadi murah.

Apakah kita masih melihat perang tarif yang berkelanjutan dan menikmati tarif yang lebih murah lagi? Tarif komunikasi yang sangat murah berdampak langsung terhadap teledensitas dan penyebaran jasa telekomunikasi sampai pelosok-pelosok di berbagai daerah di Indonesia.

Sejauh ini diperkirakan terdapat 160 juta pelanggan yang dilayani oleh sembilan operator. Ini berarti di antara setiap 100 penduduk Indonesia, sebanyak 70 penduduk telah memiliki telepon seluler.

Akan tetapi, angka ini relatif overstated karena banyak pengguna telepon seluler, terutama di kota-kota besar, memiliki telepon seluler lebih dari satu. Namun, dengan tingkat penetrasi yang sudah relatif tinggi, peluang pertumbuhan bagi operator menjadi lebih terbatas.

Peningkatan teledensitas juga berdampak positif bagi perekonomian karena meningkatkan efisiensi dari arus informasi yang bertambah lengkap.

Seperti yang sering diiklankan, seorang tukang sayur telah mempunyai telepon seluler sehingga bisa melayani pembelinya dengan lebih baik. Atau seorang tukang ojek bisa ditelepon untuk jasa antar jemput pada waktu tertentu. Ini semua hanya contoh kecil dari bergeraknya roda ekonomi karena membaiknya arus informasi.

Namun, kembali ke pertanyaan utama, apakah mungkin kita melihat tarif telepon jatuh lebih rendah lagi?

Rasanya tidak, semata-mata karena pertimbangan ekonomis. Tarif yang sangat murah memang menguntungkan konsumen. Namun, tarif yang murah tidak memberikan imbal balik yang memadai untuk operator guna menjaga kesinambungan usaha.

Perlu diingat bahwa industri telekomunikasi merupakan industri yang padat modal dan sarat dengan teknologi. Semakin pesat majunya perkembangan teknologi komunikasi, operator perlu melakukan reinvestasi supaya tetap dapat melayani konsumen dengan teknologi yang mutakhir.

Jika tidak, kualitas layanan akan semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Iklan promo tarif, baik di media elektronik maupun cetak, merupakan analisis kasatmata mengenai strategi ataupun struktur tarif dari operator.

Pada tahun lalu, kita disuguhkan berbagai macam iklan dengan menawarkan tarif yang sangat murah dan beradu panjang jumlah nol.

Akan tetapi, dari awal tahun 2009, kita sudah sangat jarang melihat penawaran yang supermurah tersebut. Ini berarti bahwa para operator cenderung menahan diri karena perang tarif pada akhirnya berdampak buruk terhadap profitabilitas ataupun arus kas perusahaan.

Padahal, arus kas operasi sangat penting guna membayar utang ataupun untuk melakukan investasi. Penurunan tarif dapat dilakukan apabila memang nilai investasi per pelanggan turun.

Artinya, imbal balik dari investasi bisa tetap menguntungkan meskipun dengan tarif yang lebih murah.

Pada kenyataannya, nilai investasi per pelanggan tidak turun berkisar pada 100 dollar AS per sambungan. Meskipun harga perangkat elektronik mengalami penurunan, gejolak kurs belakangan ini berakibat nilai investasi dalam rupiah tidak turun.

Di samping itu, investasi pada base transceiver station (BTS) menjadi lebih mahal karena semakin sukarnya mendapatkan izin pembangunan BTS. Jadi, secara keseluruhan nilai investasi tidak turun.

Menjadi simalakama

Guna menjaga imbal balik yang wajar, operator tidak mungkin untuk menurunkan tarif lebih jauh jika ingin tetap mengembangkan usahanya.

Pada 2008, operator berlomba-lomba menjadi operator dengan tarif yang paling murah. Pada awalnya, strategi ini dianggap sangat berhasil karena operator berhasil meningkatkan jumlah pelanggan dalam waktu singkat.

Namun, dalam jangka waktu menengah, strategi ini menjadi buah simalakama. Tarif yang murah mengakibatkan volume penggunaan yang sangat tinggi sehingga kadang-kadang melebihi kemampuan kapasitas jaringan.

Untuk menjaga kualitas pelayanan, operator terpaksa melakukan perluasan kapasitas jaringan. Ini membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit.

Jika penurunan tarif tidak diimbangi dengan investasi tambahan, jaringan tidak akan mampu melayani trafik yang demikian besarnya.

Pada tarif dengan banyak nol tidak memberikan imbal balik yang memadai. Berarti, bertambah alasan untuk menghentikan perang tarif.

Berdasarkan teori ekonomi mikro, profitabilitas akan mencapai tingkat optimal apabila marginal revenue (MR) sama dengan marginal cost (MC).

Bila MR lebih besar daripada MC, ekspansi usaha akan menghasilkan tambahan keuntungan. Akan tetapi, bila MR lebih kecil daripada MC, ekspansi usaha justru menimbulkan kerugian.

Dari empat operator yang mencatatkan sahamnya di bursa saham, hanya Bakrie Telecom dan Indosat yang mencatatkan MR lebih besar daripada MC, sedangkan Telkomsel dan XL mencatatkan posisi yang negatif.

Meskipun Bakrie Telecom dan Indosat berada pada jalur yang benar, pertambahan keuntungannya semakin mengecil. Ini berarti bahwa perang harga belum tentu memberikan pertambahan keuntungan bagi perusahaan.

Penurunan tarif guna meningkatkan pendapatan didasari pada prinsip ekonomi mikro elastisitas permintaan. Pada titik harga yang relatif tinggi, seperti tarif di atas Rp 1.000 per menit, menurunkan harga menjadi hal yang benar karena diimbangi dengan meningkatnya volume percakapan.

Sebagai contoh, Telkomsel telah menurunkan tarifnya dari rata-rata Rp 1.000 menjadi kisaran Rp 300 per menit selama tahun 2008. Volume percakapan meningkat drastis menjadi tiga kali lipat.

Jadi, dari penurunan tarif sebesar 70 persen berakibat volume naik hampir tiga kali lipat sehingga total pendapatan masih meningkat.

Akan tetapi, diperkirakan jika tarif dipotong lagi sebesar 70 persen, belum tentu didapat efek kenaikan volume yang sama sehingga penurunan tarif menjadi tidak efektif.

Dewasa ini pasar telekomunikasi Indonesia dilayani oleh 10 operator, di mana lima di antaranya telah mencatatkan sahamnya di pasar modal.

Dari lima perusahaan yang telah tercatat di bursa, Mobile 8 atau yang dikenal dengan merek dagang Fren sedang mengalami kesulitan usaha. Hal itu ditandai dengan macetnya pembayaran bunga obligasi.

Sekarang ini, Mobile 8 sedang dalam restrukturisasi utang guna menjaga kesinambungan usaha. Ini merupakan bukti nyata, di mana Mobile 8 merupakan korban dari sengitnya persaingan usaha.

Diperlukan dukungan modal yang kuat guna menjaga kelangsungan usaha. Operator seperti 3 dan Axis didukung oleh grup usaha asing dengan kekuatan modal yang sangat besar.

Meskipun kinerja operasionalnya buruk, kedua perusahaan ini tetap langgeng berkat dukungan modal dari pemilik saham utama. Jika bantuannya diberhentikan, kelangsungan usahanya menjadi tanda tanya.

Tahun 2008, ditandai dengan maraknya persaingan harga, baik pada tarif percakapan maupun tarif SMS. Penurunan harga tentunya sangat menguntungkan konsumen dan meningkatkan teledensitas.

Deparpostel dan BRTI harusnya bersuka cita bahwa industri telekomunikasi telah berkembang sedemikian jauh.

Akan tetapi, perlu diperhatikan rambu-rambu menuju persaingan yang sehat sehingga kesinambungan usaha terjaga dan pada akhirnya masyarakat merasakan manfaat dari industri telekomunikasi.

Chandra Pasaribu, Equity Analyst PT Danareksa Sekuritas

Tidak ada komentar: