Sabtu, 04 Juli 2009

KOLOM POLITIK EKONOMI Berdemokrasi secara Demokratis


Andi Suruji


Ketika ikut rombongan kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla ke beberapa kota di kawasan timur, awal pekan ini, betapa bahagia hati saya. Sepanjang jalan yang dilalui tampak bertebaran spanduk dan baliho pasangan calon presiden dan calon wakil presiden SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Penempatannya kadang kala sejajar berdampingan berselang-seling, kadang di bawah dan di atas. Sesekali diselingi alat kampanye pasangan Megawati-Prabowo.

Warna-warni, colourfull, menyenangkan. Dalam hati berkata, indah nian keberagaman dan perbedaan di negeri ini. Tim kampanye pasangan peserta pemilu berlomba-lomba menempatkan poster, spanduk, dan baliho jagoannya masing-masing pada tempat-tempat dan posisi strategis. Tujuannya tentu menarik perhatian publik, terutama calon pemilih, agar memilihnya pada hari pemungutan suara 8 Juli nanti. Tertib tanpa saling merecoki satu sama lain.

Semestinya memang begitulah pesta demokrasi. Meriah, menghibur, lalu membuat rakyat senang dalam kedamaian dengan semangat kompetisi yang sehat, jujur, dan adil. Dengan demikian, pesta demokrasi menjadi sesuatu yang mencerahkan, sarana pendidikan politik yang baik bagi rakyat.

Lebih dari itu, pesta demokrasi dengan segala hiruk-pikuknya juga memberi manfaat ekonomi bagi rakyat. Pencetak stiker, penyablon baju kaus, spanduk, baliho, pembuat kotak suara, pencetak surat suara, semuanya kecipratan rezeki selama masa kampanye dan pelaksanaan pemilihan anggota legislatif sampai pemilihan presiden dan wakil presiden nanti.

Pembuat bingkai foto presiden dan wakil presiden pun tentu siap-siap beraksi menangguk rezeki. Tidak mungkin lagi foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang terpasang dalam lima tahun kemudian. Jika Presiden SBY terpilih, foto wakil presidennya digantikan oleh Boediono. Sebaliknya, jika JK terpilih jadi presiden, foto Wiranto harus dipasang. Demikian pula manakala Megawati dan Prabowo memenangi pemilu. Pendeknya, captive market-lah.

Anggaran Komisi Pemilihan Umum saja, yang dibiayai dengan uang rakyat, sudah mencapai puluhan triliun rupiah. Belum lagi anggaran peserta pemilu yang berasal dari kocek sendiri maupun sumbangan yang mengalir dari mana-mana.

Berdemokrasi bagi rakyat Indonesia sebenarnya bukanlah baru 4 atau 10 tahun terakhir saja ketika euforia reformasi bergema di Nusantara. Jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk, demokrasi telah tumbuh subur di berbagai pojok Nusantara. Walaupun sebatas cara-cara primitif karena belum ada sarana pendidikan politik modern yang memadai, demokrasi sudah bersemi di tengah masyarakat dengan ciri khas dan warna-warni daerah masing-masing.

”Maredekai tau wajo’e ade’ na mi napopuang (Merdeka orang Wajo (Bugis) hanya adat (hukum) yang dipertuan)” adalah contoh ungkapan prinsip mulia orang-orang Bugis yang sejak lama menjunjung tinggi nilai-nilai luhur hukum atau adat.

Orang Wajo hanya mempertuan atau mengabdi pada hukum atau adat, bukan pada pribadi pemimpin. Sungguh demokratis. Manakala rakyat mempertuan individu, yang terjadi pengultusan.

Nene Mallomo (tokoh Bugis yang dikenal amat mulia dan terhormat lagi bijaksana) di Sidenreng Rappang pun sudah masyhur sebagai penegak hukum sejati. Ia tidak pandang bulu dalam menegakkan adat. Prinsipnya yang terkenal ialah ade’e temmakkeana temmakkeappo (hukum atau adat tidak mengenal anak maupun cucu). Siapa yang bersalah ia harus menerima hukuman. Maka, dihukumlah anak keturunannya sendiri, hanya gara-gara mengambil sepotong kayu pasak alat bajak sawah milik orang lain. Ia dihukum karena mengambil milik orang lain tanpa permisi, bukan karena nilai barang yang diambilnya.

Substansi cerita ini adalah menghukum perilaku yang salah. Sebab, perilaku merampas milik orang lain itulah yang konon kisahnya menyebabkan alam menghukum rakyat seluruh negeri dengan paceklik bertahun-tahun. Dimensi dari dampak perbuatan salah itulah yang dijadikan pertimbangan dijatuhkannya hukuman. Demokratis juga, bukan?

Tentu hanyalah bangsa

demokratis yang mau menempatkan hukum tanpa pandang bulu pada posisi tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Syukurlah, kita sebagai bangsa tengah membangun demokrasi, menuju masyarakat yang demokratis.

Demokrasi menjunjung kesetaraan hak dan kewajiban setiap individu. Itu juga terjamin dalam konstitusi. Setiap warga negara yang memenuhi syarat, sehat, waras, dijamin hak-hak demokrasinya, seperti memilih dan dipilih. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar bermakna persatuan dalam keberagaman, tetapi juga termasuk kesetaraan hak dan kewajiban.

Jika ada pihak yang menunjuk orang lain, suku dan golongan tertentu belum saatnya, atau hanya golongannyalah yang berhak

memimpin bangsa dan negara, seperti isu panas belakangan ini, tentu itu jauh dari semangat demokrasi. Kita prihatin, sedih, atau mungkin menangis. Sebab, kalau itu benar, kita ternyata masih berada

di bawah level demokrasi primitif sekalipun. Demokrasi ala masyarakat ”primitif” saja sudah mengenal cara elegan dan bermartabat dalam memilih pemimpin.

Masyarakat ”primitif” pun sudah mengenal cara demokrasinya sendiri. Disepakati dan dijalankan secara konsisten dengan komitmen penuh, jujur, adil, dan sportif.

Dalam konteks kekinian, siapa yang diingini dan dipilih rakyat, sejauh itu murni tanpa tekanan, intimidasi, kecurangan, dan manipulasi, dialah yang harus tampil untuk memajukan perikehidupan bangsa. Bukan berkuasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, golongan, dan kroni saja.

Malulah kita yang hidup di era seabad kebangkitan nasional kalau masih ada pihak yang mempersoalkan suku dan

golongan, bukannya kompetensi, dalam memilih pemimpin. Padahal, kebangkitan nasional menuju kesejahteraan umum telah dibangun di atas fondasi pluralisme. Jadi, marilah kita berdemokrasi secara demokratis.

Tidak ada komentar: