Senin, 13 Juli 2009

Koperasi dan Ekonomi Rakyat

Najamuddin Muhammad
Pemerhati Sosial pada CDIE UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Pada tanggal 12 kemarin, kita memperingati hari koperasi. Peringatan ini berlangsung usai bangsa ini mengadakan hajatan besar pesta demokrasi. Siapa pun presiden yang terpilih berdasarkan hasil KPU nanti, peringatan hari koperasi tetap menjadi momentum bagi kita bersama untuk merefleksikan nilai-nilai keutamaan dari spirit perekonomian sistem koperasi yang telah menjadi bagian dari sejarah perekonomian bangsa Indonesia.

Koperasi dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa lain berdiri untuk memerangi kemiskinan dan kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan oleh sistem perekonomian kapitalis. Tak terkecuali juga koperasi Indonesia yang dipelopori oleh R Aria Wirioatmajda, patih di Purwokerto (1896), dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pergerakan lain. Mereka berdiri untuk kepentingan bersama yang berasaskan pada kekeluargaan dan keadilan.

Koperasi di bangsa kita kerap kali menjadi sistem gerakan ekonomi alternatif untuk menyelamatkan stabilitas kehidupan rakyat. Pada masa penjajahan Belanda, kita mengenal sistem perekonomian monopoli, tanam kerja paksa, dan sistem perekonomian kapitalisme liberal. Lingkaran sistem itu berjalan hanya untuk menghisap kekayaan alam kita dan memeras rakyat untuk kepentingan golongan penjajah.

Koperasi hadir di tengah-tengah lingkaran sistem yang tidak sehat itu untuk menyatu bersama rakyat kecil. Hal ini tampak sekali saat kapitalisme liberal menyusup yang ditandai dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870 sehingga perusahaan-perusahaan swasta diperbolehkan untuk menyewa lahan para petani. Perusahaan-perusahaan swasta mulai mengelola lahan dengan tanah yang luas dan kecanggihan ilmu pengetahuan yang tinggi, sedangkan rakyat mengelola lahan pertanian dengan alat seadanya.

Pada saat inilah, perekonomian rakyat mulai terancam dengan masuknya perusahaan-perusahaan swasta. Tokoh-tokoh pergerakan, seperti Hatta, Shahrir, dan Soekarno, berusaha membantu dan mengimbau rakyat untuk bersatu dalam wadah koperasi sebagai sistem perekonomian yang lebih megandalkan asas kekeluargaan. Mereka berupaya menjadikan koperasi sebagai basis perekonomian yang sesuai dengan realitas kehidupan rakyat Indonesia.

Pada saat itu, rakyat bisa berdiri sendiri di bawah sistem koperasi. Mubyarto (2002) menegaskan bahwa ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi tahun 1920-an dan 30-an dan ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjloknya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.

Namun, dalam perjalanan bangsa kita, koperasi kalah pamor dengan merebaknya sistem perekonomian kapitalisme liberal. Koperasi yang dulu pernah menjadi penyelamat rakyat dari sistem perekonomian kapitalis kini dianggap tidak relevan lagi oleh pemerintah. Kapitalisme liberal hingga berubah bentuk menjadi neoliberalisme yang mempunyai spirit kekejaman yang sama untuk menghisap kekayaan bangsa kita dengan cara memutus intervensi pemerintah terhadap pasar menjadi lebih populer.

Bangsa kita benar-benar telah menenggelamkan sistem perekonomian koperasi ke tong sampah. Jubah koperasi telah berganti dengan spirit perekonomian neoliberalisme. Tanda-tanda pupusnya spirit perekonomian koperasi itu telah tampak di hadapan kita, mulai dari kian timpangnya jurang pemisah antara orang kaya dan miskin, lenyapnya sumber daya alam kita dengan dimonopoli oleh satu golongan serta mandulnya peran negara untuk mengatur sistem perekonomian.

Patahnya kekuatan perekonomian rakyat dan menangnya perusahaan-perusahaan asing sudah menjadi tradisi harian di bangsa kita. Carrefour, minimarket, dan mal-mal lainnya berdiri di mana-mana. Di saat yang bersamaan, warung-warung kecil yang menjadi tumpuan utama bagi rakyat kelas menengah ke bawah untuk menghidupi keluarga dan anaknya mati suri dan bahkan kadang disimpulkan dengan gulung tikar.

Ironisnya, negara yang sejatinya berpihak terhadap rakyat nyata-nyata tidak mampu berperan apa-apa. Negara sudah tak bisa lagi menampakkan perannya sebagai pengayom, pendamping, dan perangkul rakyat. Negara telah kehilangan nyali untuk membela dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Negara hanya menjadi tukang stempel yang senantiasa didikte oleh kepentingan-kepentingan asing. Negara telah kehilangan peran substantifnya.

Dengan demikian, pada momentum peringatan hari koperasi dan usai pemilu kali ini, sangat penting untuk membaca ulang sistem perekonomian kita yang telah berjalan, memikirkan ulang sistem perekonomian sekarang, dan merefleksikan kembali spirit perekonomian ala koperasi yang telah menjadi tulang punggung perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Siapa pun presiden kita, spirit perekonomian koperasi adalah roh perjalanan perekonomian bangsa kita yang harus digalakkan.

Menumbuhkembangkan spirit koperasi yang berasaskan pada kekeluargaan butuh keberanian dari para pemimpin kita untuk mengintervensi lebih jauh sirkulasi pasar yang selama ini masih banyak dikuasai oleh pemodal-pemodal asing. Pemerintah harus bisa mengontrol dan membatasi liarnya perusahaan asing yang menghisap kekayaan kita dan mematikan perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah harus berani berhenti berkongkalikong dengan perusahaan asing dan beralih pada kepentingan rakyat bersama.

Kekayaan sumber daya alam yang selama ini masih terasa aneh bagi kita untuk menikmatinya karena dipegang oleh perusahaan asing harus kembali kepada rakyat lagi. Pemerintah sejatinya memerhatikan potensi yang terkandung di tiap-tiap daerah dan mampu memberikan pelayanan yang maksimal terhadap perekonomian rakyat kecil yang berbentuk koperasi atau yang senyawa untuk terwujudnya masyarakat yang mampu berdiri sendiri dan mampu mengatur harga sendiri.

Dengan dekungan yang kuat dari pemerintah dan semangat yang membara dari rakyat kecil, koperasi yang menjadi roh sistem perekonomian kita akan bisa mengantarkan kita menuju kemandirian. Kita berharap, sistem ekonomi kerakyatan yang mulai kemarin diperdebatkan sampai berbusa-busa agar tidak hanya berhenti pada retorika dan ajang kampanya an sich, tapi yang terpenting adalah keberanian para pemimpin bangsa ini untuk merealisasikannya di lapangan.

(-)

Tidak ada komentar: