Jumat, 24 Juli 2009

Bank Indonesia Masa Depan


Rabu, 22 Juli 2009 | 04:49 WIB

Insukindro

Saat ini, Bank Indonesia sedang dalam masa transisi penting. Selain transisi kepemimpinan dengan cara mencari sosok Gubernur BI yang tepat, juga sedang dalam transisi organisasional menuju pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 2010. Kedua ”pekerjaan rumah” ini cukup pelik dan sensitif. Bagaimana sosok BI di masa depan?

Menurut UU No 3/2004, BI adalah otoritas moneter, otoritas sistem pembayaran, dan otoritas sistem perbankan. Bahkan bisa dikatakan BI tidak saja sebagai lembaga negara yang independen, tetapi juga monopolis dalam perekonomian berdasarkan UU.

Misalnya dalam penerbitan, pencetakan, dan peredaran uang rupiah (Pasal 20), BI merupakan monopolis. Secara ekonomika, efek negatif ”kekuasaan” yang terlalu besar ini adalah dalam penentuan harga pecahan mata uang rupiah (seperti pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, dan Rp 5.000), tanpa masyarakat mengetahui berapa biaya marjinal untuk memproduksi pecahan-pecahan itu. Apakah BI bisa ”untung” atau ”rugi” dalam mencetak pecahan tertentu rupiah?

Uang kartal berupa rupiah adalah kewajiban atau pasiva moneter BI kepada masyarakat. Jika kita memegang atau memiliki uang rupiah BI sebesar Rp 200.000, berarti BI mempunyai kewajiban atau utang moneter kepada kita sebesar Rp 200.000 tanpa bunga, karena kita telah mendapat kemudahan dalam bertransaksi. Dengan demikian, jika BI melaporkan bahwa jumlah uang kartal pada April 2009 sebesar Rp 190,33 triliun, berarti BI mempunyai kewajiban moneter atau utang kepada masyarakat sebesar Rp 190,33 triliun.

Sayang, telah terjadi informasi yang tidak simetrik (asymmetric information) antara BI dan masyarakat, karena yang dilaporkan secara terbuka hanya kewajiban moneternya. Yakni, bagaimana dengan biaya dan perolehan yang didapat BI dengan peredaran uang kartal itu.

Kelak, jumlah uang rupiah RI yang dicetak atau diedarkan perlu dikaitkan dengan APBN. Sebagai pemilik otoritas mencetak uang, pemerintah mengetahui tidak saja biayanya, tetapi juga perolehannya, yang dalam ekonomika dikenal sebagai seignorage, yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan negara.

Mengingat seignorage ini merupakan bagian dari APBN, maka masyarakat melalui DPR dapat mengetahui jumlah dan manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu, penerbitan uang RI oleh pemerintah juga dimaksudkan agar yang mempunyai kewajiban moneter kepada masyarakat adalah negara, melalui pemerintah dan persetujuan DPR. Bukan lagi oleh BI sebagai lembaga negara independen.

Jika uang rupiah RI kelak diterbitkan dan dicetak pemerintah, BI bisa bertugas mengedarkan dan menjaga stabilitasnya sebagai otoritas sistem pembayaran dan otoritas moneter.

Apa itu LPJK dan OJK?

Sementara itu, dalam hal pengawasan sistem perbankan, apakah tidak lebih efektif jika dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen?

Di seluruh dunia, otoritas moneter sangat lumrah dimiliki oleh bank sentral, meski di beberapa negara tidak menyebutnya sebagai bank sentral, tetapi disebut sebagai otoritas moneter.

Dalam kasus Indonesia, BI telah diberi kekuasaan sebagai otoritas moneter yang independen, meski ada keterbatasan. Misalnya dalam hal penetapan target inflasi, kini dilakukan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI. Ini bagus karena pemerintah ikut mengawasi dan menilai kinerja BI dalam pencapaian sasaran tersebut. Jika kelak BI berperan sebagai bank sentral, otoritas semacam ini masih layak diberikan kepadanya.

Berdasarkan UU No 3/2004, tugas mengawasi bank akan dilakukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK), bukan oleh OJK.

Perdebatan mengenai isu ini (LPJK versus OJK) sebenarnya sudah dimulai sejak 6-7 tahun silam, tetapi mentah dan hanya menjadi catatan dalam Pasal 34 Ayat 2 yang mengatakan bahwa pembentukan LPJK akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Bagaimanakah jika yang disiapkan pemerintah bukan LPJK tetapi OJK? Tidakkah ini menyimpang karena OJK tidak dikenal dalam UU No 3/2004? Apakah perbedaan ini hanya sekadar nama atau juga mencakup tugas dan kewenangan berbeda?

Jika hanya sekadar nama, mungkin tidak terlalu masalah bagi BI karena mereka ”hanya” akan kehilangan kekuasaan sebagai otoritas pengawas sektor jasa keuangan. Namun, mereka tetap sebagai pengatur sistem perbankan.

Tampaknya OJK akan mempunyai ”kekuasaan” tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga mengatur sektor jasa keuangan. Jika demikian, salah satu otoritas yang dimiliki BI akan hilang dan menjadi milik OJK.

Di satu sisi, munculnya OJK diharapkan akan dapat mengatur dan mengawasi sistem perbankan dengan lebih efektif karena OJK akan lebih berkonsentrasi hanya pada tugas ekonomika mikro perbankan, sedangkan BI lebih pada tugas ekonomika makro, melalui otoritas moneter dan sistem pembayaran.

Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pemisahan otoritas moneter dan otoritas sistem perbankan dapat mengganggu atau mengurangi efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Sebenarnya kekhawatiran ini dapat diminimalkan jika BI masih berperan sebagai otoritas moneter dan otoritas sistem pembayaran.

Keniscayaan dewan baru

Apa pun kelembagaan yang kelak akan lahir dalam UU yang baru, tampaknya pembagian ”kekuasaan” di sektor keuangan—cepat atau lambat—akan menjadi suatu kenicayaan, karena sudah diamanatkan UU.

Karena itu, koordinasi atau hubungan antarlembaga merupakan barang ekonomi yang harus diadakan agar terjadi keseimbangan neraca internal dan eksternal.

Karena itu, institusi seperti Dewan Stabilisasi Ekonomi atau Dewan Stabilisasi Sistem Keuangan—atau apa pun namanya—yang melibatkan pimpinan pemerintahan, BI, OJK, atau LPJK dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), dan mungkin diketuai sendiri oleh Presiden, merupakan kebutuhan dan keniscayaan.

Insukindro Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta

Tidak ada komentar: