Senin, 04 Mei 2009

Ketika Konsumen Menjadi Raja

Oleh RHENALD KASALI

Setelah jungkir balik menerjang krisis, inilah saatnya membongkar black box konsumen Indonesia. Kalau gagal menafsirkannya, kita akan terperangkap quasi crisis (seolah-olah krisis) dengan tindakan mengkrisiskan diri sebelum konsumen benar-benar berhenti berbelanja.

Indikatornya, tatkala hasil yang dicapai setiap pelaku usaha dalam kategori yang sama mulai saling bertentangan. Yang satu mengatakan krisis, yang lain bilang tidak ada. Yang satu mengakui kesulitannya akibat mismanagement, yang lain menyalahkan krisis.

Pertentangan hasil survei dan perilaku membeli pun mulai tampak sehingga Yongky Susilo (The Nielsen Indonesia) menyebut fenomena belanja ini sebagai anomali besar. Bagaimana tidak, tahun lalu tingkat kepercayaan konsumen terhadap perekonomian (consumer confidence index) yang dipotret The Nielsen Indonesia terendah dalam lima tahun terakhir. Saat ditanya tentang masa depan, hanya 13 persen konsumen yang optimistis.

Di beberapa negara, indeks itu sangat konsisten dengan perilaku belanja. Kalau keyakinan rendah, gairah belanja turun dan penjualan terganggu. Faktanya, akhir tahun 2008, penjualan hampir semua kategori produk, mulai dari makanan dan minuman sampai otomotif dan belanja iklan, naik signifikan. Semua itu terjadi di tengah-tengah kenaikan harga bahan bakar minyak sehingga konsumen mengalami masalah daya beli.

Kenyataan ini mengingatkan saya kepada almarhum budayawan Mochtar Lubis yang secara tegas mengatakan manusia kita munafik. Apa yang diucapkan tidak sama dengan apa yang dilakukan. Dalam perilaku belanja, tampaknya konsumen kita sulit mengekspresikan isi pikiran dan isi kantong. Sekalipun pesimistis, kalau perangsang-perangsang penggoda belanja cukup besar, goyah juga untuk menghabiskan uang.

Kini ucapan itu penting untuk kita renungkan kembali. Terutama setelah menyaksikan fenomena belanja (kasus antrean belanja diskon) dan ritel yang seakan-akan tidak tergerus krisis serta opini-opini yang saling bertentangan.

Empat fenomena

Setidaknya ada empat fenomena yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu fenomena musim semi, buyer’s market, daya beli versus keinginan membeli, dan downshifting (berpindah segmen). Mari kita bahas satu per satu.

Berbeda dengan negara-negara yang memiliki musim semi, konsumen Indonesia selalu memasuki awal tahun dengan kegalauan. Banjir dan angin barat menerjang pulau-pulau Indonesia sehingga logistik terganggu, dan pengeluaran konsumsi di awal tahun selalu tersedot untuk memelihara kesehatan. Sementara itu, di negara-negara lain, musim semi adalah sebuah hope. Bunga-bunga mulai bermunculan dan mereka mengganti pakaian, perabot, warna, dan sebagainya.

Kalau tidak ada krisis, sudah pasti indeks keyakinan konsumen pada awal tahun di sini kalah bagus dibandingkan dengan keadaan di negara lain, atau dengan keadaan di kuartal tiga di sini yang diwarnai dengan psikologi liburan dan bonus akhir tahun.

Namun, krisis menciutkan nyali belanja. Ditambah dengan stimulus ekonomi yang hanya mengandalkan instrumen fiskal, sementara perputaran uang dikencangkan oleh otoritas moneter (bank sentral), berakibat langkanya kredit konsumsi yang masih dibutuhkan masyarakat. Akibatnya, penjualan otomotif dan perumahan yang merupakan lokomotif ekonomi yang penting berjalan tersendat-sendat.

Kalau pemerintah ingin sektor ini bergerak cepat, dibutuhkan sumber dana murah. Karena tidak ada, pasar terlihat menurun. Padahal, kebutuhan terhadap perumahan, sepeda motor, dan mobil masih sangat besar. Tengoklah Indomobil Finance yang baru mengeluarkan obligasi yang dalam waktu singkat menghasilkan dana dari masyarakat sebesar Rp 500 miliar. Di luar dugaan, masyarakat masih punya uang cukup besar.

Kemungkinan besar, fenomena musim hujan (sebagai lawan dari fenomena musim semi) turut mewarnai para pengambil keputusan yang akhirnya memilih menahan perputaran uang daripada memberikan perangsang yang menggeliatkan perekonomian.

Fenomena kedua yang tak kalah penting adalah buyer’s market. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, pasar dikuasai oleh pembeli, dan pembeli menjadi raja. Setelah ditekan oleh berita-berita negatif, konsumen menahan uangnya, dan menjadi sangat selektif. Penundaan akan menjadi masalah kalau benar-benar sudah tak punya uang. Namun, bukan itu yang terjadi.

Quasi crisis terjadi karena keinginan membeli lenyap, bukan daya beli. Maka, saat raja yang sudah lama menahan uang berhadapan dengan stimulus pasar yang ”menarik”, mereka pun membelanjakan uangnya. Diskon yang dipepetkan waktunya (misalnya tiga jam, atau maksimum empat hari) dan dibatasi pasokannya biasanya menimbulkan persepsi kelangkaan yang akhirnya melipatgandakan nilai dari barang tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah psychological reactance dan banyak digunakan dalam sektor ritel, dan kini dipakai dalam memasarkan properti.

Apa pun yang terjadi, satu hal harus diingat, berita-berita mengenai krisis selalu menurunkan optimisme. Dan konsumen yang pesimistis pun mengalami fenomena berikutnya, yaitu berpindah segmen, menjadi lebih konservatif, memilih hidup lebih seimbang dan lebih kreatif. Ini berarti konsumen tidak tinggal di tempat, mereka berpindah.

Ketika konsumen berpindah tempat, pemasar harus cerdik menemui mereka di tempat barunya. Di tempat baru itu mereka telah benar-benar berubah. Jenis produk, harga, metode pelayanan, paket-paket, dan lain sebagainya berubah total. Celakalah mereka yang masih menunggu konsumen di tempat yang sama.

Pembelajaran apa yang dapat ditarik dari fenomena belanja 2008-2009 ini? Anda benar. Krisis hanya akan menimpa mereka yang tidak responsif, yang resisten terhadap perubahan. Ketika konsumen berubah, kita pun harus beradaptasi dan mencari cara membuka black box pikiran mereka dan memenuhinya.

Tidak ada komentar: