Minggu, 24 Mei 2009

Ekonomi Neoliberal


Ismatillah A Nu'ad
Peminat Historiografi Indonesia Modern

Cawapres pendamping SBY, Prof Dr Boediono, dicap banyak kalangan sebagai agen Neoliberal (Neolib). Pandangan dan kebijakan ekonominya diduga pro terhadap pasar bebas selama ia menjalankan roda kebijakan ekonomi dalam pemerintahan SBY. Tim sukses dari pasangan dengan jargon SBY-Berbudi tampaknya harus berjuang keras untuk menepis anggapan bahwa Boediono adalah agen Neolib. Secara khusus, Boediono harus menunjukkan secara praksis, bukan hanya retoris, bahwa dia bukanlah agen Neolib seperti selama ini dituduhkan.

Pertanyaannya, apa itu Neolib sehingga bagi masyarakat Indonesia tampaknya masih sangat tabu dan seperti barang najis yang harus dijauhi? Sebenarnya tak mudah mendefinisikan Neolib. Tapi, bila disederhanakan, doktrin ini memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi dari pemerintah.

Friedrich von Hayek, pemenang Nobel Ekonomi 1974, yang bersama gurunya, Ludwig von Mises, selama ini dipandang sebagai bapak Neolib, memang sangat dikenal sebagai penganjur utama deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi. Doktrin Neolib dewasa ini lalu sering dikaitkan dengan Washington Consensus, yang pada intinya juga memberi anjuran sama, yaitu liberalisasi pasar, kebijakan fiskal ketat sebagai bentuk pengurangan intervensi pemerintah, dan privatisasi.

Lawan dari Neolib adalah Neososialis yang kini berkembang di Amerika Latin. Seperti diketahui bersama, negara-negara Amerika Latin kini menjadi arus Neososialis yang anti pada kebijakan-kebijakan ekonomi Neolib. Negara-negara, seperti Venezuela (Hugo Chavez), Bolivia (Evo Morales), dan Nikaragua (Daniel Ortega), bersatu melawan ketidakadilan Neolib. Presiden Venezuela, Hugo Chavez, dalam hal itu menjadi ikon bagi para pemimpin di negara-negara Amerika Latin, yang memberi inspirasi, semangat, dan perlawanan pada ketidakadilan praktik-praktik kebijakan ekonomi Neolib. Hugo Chavez berani melakukan penolakan penandatanganan sejumlah traktat penting kerja sama ekonomi antara perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela. Alasan yang menjadi prinsip idealnya cukup populis, karena selama ini perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk natural resource, namun tak mempedulikan dampak pada lingkungannya. Selain itu, juga tak memberi kesejahteraan pada penduduk lokal.

Kebijakan Hugo Chavez yang anti-Neolib itu bukanlah tindakan individu dia sebagai seorang pemimpin, namun kebijakan itu didukung sepenuhnya oleh mayoritas masyarakat Venezuela pada umumnya. Hal itu menyimbolkan bahwa kuatnya arus anti-Neolib sudah tak terbendung lagi. Di sisi lain, fenomena itu juga menyimbolkan kekuatan sosialisme baru (Neososialis) di Venezuela, sebuah kekuatan people power yang dikendalikan dan diarahkan oleh seorang pemimpin negara yang pro pada rakyat. Neososialisme di situ tak lagi bergerak secara top down atau perintahnya dieksekusi oleh seorang pemimpin lalu diikuti oleh rakyatnya. Neososialisme kini bersifat demokratik, yang bergerak secara bottom up, yaitu isunya muncul berdasarkan pada harapan dan keinginan rakyat, kemudian selanjutnya dieksekusi oleh pemimpin negara. Itulah kehebatan yang kini tengah terjadi di Venezuela.

Neososialisme berbeda dengan fenomena sosialisme yang sebelumnya juga pernah terjadi di negara-negara Amerika latin. Di Chili, misalnya, pada dekade 90-an dipimpin oleh presiden yang berideologi sosialis, namun sosialismenya cenderung bersifat top down. Sosialisme pada tataran itu banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena kekerasan, yang melibatkan rakyat Chili sendiri, karena sebuah kebijakan di situ dipaksakan oleh seorang pemimpin yang belum tentu sesuai dengan keinginan bersama sehingga menimbulkan huru-hara sosial. Tujuan-tujuan sosialisme yang lazimnya ditujukan bagi kesejahteraan, kesetaraan, dan hak-hak rakyat yang berdaulat, justru kontraproduktif karena yang terjadi sentralisme kepemimpinan yang cenderung menafikan hasrat dan keinginan rakyat.

Pelajaran bagi Indonesia
Di tengah gencar-gencarnya gerakan Neososialis, terutama kini yang melanda negara-negara Amerika Latin, pada saat bersamaan justru kita melihat fenomena yang berlainan di negara kita sendiri, Indonesia. Saat ini pemerintah banyak membuka kebijakan deregulasi ekonomi, sebuah program ekonomi pemerintah yang membuka selebar-lebarnya pasar dan investor asing. Padahal, kita melihat sendiri, perusahaan-perusahaan asing terutama yang datang dari AS, seperti Exxon dan Freeport, persis apa yang sudah ditolak di Venezuela, karena perusahaan-perusahaan itu telah merusak ekosistem. Dan, pada saat bersamaan, perusahaan-perusahaan itu tak banyak memberi manfaat dan kesejahteraan pada masyarakat lokal. Mestinya, kini pemerintah mempertimbangkan lagi eksistensi perusahaan-perusahaan asing itu, bukan malah ingin menambah kuotanya, seperti dalam kebijakan deregulasi ekonomi dengan cara membuka kemungkinan pasar yang seluas-luasnya itu.

Tapi, semuanya terlambat. Jika melihat di jalan-jalan, misalnya, bagi kita jika ingin mengisi BBM untuk kendaraan, kita tak lagi hanya harus mengisinya di POM Pertamina, karena kini di jalan-jalan sudah ada POM Shell atau Petronas.