Rabu, 27 Mei 2009

Terjebak "Fenomena Stiglitz-Wise"

KOMPAS.com - SEKTOR finansial menjadi sektor dalam perekonomian yang paling terpukul oleh krisis keuangan dan ekonomi global. Dilihat dari nilai kerugian, angkanya mungkin melebihi kerugian sektor manufaktur sebagai sektor kedua paling terpukul yang sejauh ini sudah merumahkan lebih dari 30.000 pekerja.

Jika krisis finansial global disebut-sebut mengakibatkan lenyapnya nilai aset global hingga 50 triliun dollar AS, di Indonesia angkanya juga sangat spektakuler untuk ukuran skala pasar dan perekonomian lokal.

Seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas mengatakan, akibat krisis global, 60 persen konglomerat di Indonesia nyaris tersapu habis networth-nya. BUMN keuangan juga tergerus tajam labanya.

Akibat terpuruknya harga saham, kerugian yang dialami investor di pasar modal, seperti dilaporkan Infobank, sudah mencapai Rp 457,31 triliun hanya dalam kurun Oktober-September 2008 karena kapitalisasi pasar anjlok dari Rp 1.464,32 triliun menjadi Rp 1.007,01 triliun. Dalam setahun (akhir 2008 dibandingkan dengan akhir 2007), kerugian mencapai Rp 911,83 triliun!

Ditambah sejumlah kasus yang sempat mencoreng citra pasar modal dan finansial, banyak investor memilih menarik diri.

Kondisi sama terjadi di perbankan. Menurut seorang panelis, periode 2007-2008 bisa dikatakan adalah masa bulan madu bagi perbankan Indonesia, yang mencetak rekor demi rekor kinerja yang sangat fantastis. Aset perbankan untuk pertama kali menembus Rp 200 triliun, jauh melampaui volume APBN yang kini Rp 1.000 triliun. Dana masyarakat meningkat pesat, mencapai Rp 1.750 triliun. Pertumbuhan kredit 2009 juga mencapai angka rekor 31 persen (di atas target BI yang 24 persen) dengan volume kredit dua tahun terakhir melampaui Rp 1.000 triliun.

Namun, ia pesimistis kondisi itu bisa berlanjut tahun ini. Perbankan secara keseluruhan mengalami keketatan likuiditas kendati kondisinya tak merata untuk semua bank. Adanya kepercayaan yang hilang, ditambah kasus-kasus yang sempat menimpa sejumlah bank, seperti Bank Century dan BPR Tripanca, bank jadi semakin risk averse.

Mereka memilih mencari aman dengan menjaga likuiditas lebih tinggi dari yang dibutuhkan dan memilih menaruh dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang meminjamkan kepada bank lain yang kekurangan likuiditas atau melakukan ekspansi kredit ke nasabah.

Kondisi likuiditas ketat ini bakal menjadi-jadi dengan meningkatnya penerbitan instrumen surat utang oleh pemerintah untuk pembiayaan APBN.

Kecenderungan risk averse, ditambah lagi adanya informasi yang asimetris, membuat mekanisme transmisi kebijakan moneter oleh bank sentral pun tak jalan. Seharusnya, penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia diikuti oleh penurunan suku bunga kredit. Tetapi ini tak terjadi. Dalam istilah panelis, perbankan terjebak ”Fenomena Stiglitz- Wise”.

Untuk mengatasi situasi ini, panelis mengatakan, diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki arus informasi dan juga tingkat kepercayaan. Salah satu yang diminta perbankan adalah adanya jaminan terhadap pinjaman antarbank, tetapi gagasan ini ditolak pemerintah antara lain karena alasan moral hazard.

Terobosan

Namun, di tengah kondisi perbankan yang cenderung memilih tiarap ini, ada juga bank yang nyeleneh. Buktinya, masih ada bank, seperti Bank Papua, yang berlimpah likuiditas, berburu nasabah hingga ke wilayah Ibu Kota.

Tetapi, ada juga bank yang karena terlalu bernafsu atau alasan lain terseret keluar dari core business-nya sehingga harus bergumul dengan problem kenaikan kredit bermasalah.

Sejumlah panelis mengingatkan ancaman lonjakan angka kredit bermasalah (NPL), baik yang berasal dari debitor korporasi maupun debitor individual (produktif dan konsumtif). Kondisi ini terutama mengancam bank-bank BUMN atau bank pembangunan daerah (BPD) karena penyelesaian NPL di kelompok bank-bank ini terkendala masalah hukum.

Salah satunya, ketentuan pencadangan (provisi) dan aturan yang melarang mereka memberikan potongan uang (haircut) untuk NPL karena dianggap merugikan negara. NPL yang menumpuk dan menuntut pencadangan besar ini membuat bank-bank tersebut juga semakin tak leluasa berekspansi kredit.

Dalam kondisi seperti ini, mungkin yang diperlukan adalah langkah-langkah yang tidak biasa untuk menerobos kebuntuan di perbankan dan transmisi kebijakan moneter. Dalam kasus NPL bank-bank BUMN, misalnya, harus ada political will untuk mengubah ketentuan yang terlalu kaku kalau tak ingin momok kredit bermasalah jadi masalah yang tak pernah tuntas (never ending story) di bank-bank BUMN

Tidak ada komentar: