Minggu, 10 Mei 2009

DI BALIK PENUTUPAN BANK IFI (BAGIAN I)


TARIK-ULUR MENJELANG AJAL

EDWARD SOERYADJAYA GAGAL MASUK BANK IFI.
TERGANJAL MIMPI AMBISIUS BAMBANG RACHMADI.


Janji Edward Soeryadjaya masih terngiang di telinga sejumlah karyawan Bank IFI. “Tidak usah khawatir, nanti kita pindah ke gedung itu,” ujar Edward mantap saat berkunjung ke kantor pusat Bank IFI di Plaza ABDA, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, sekitar empat bulan lalu.

Yang dimaksud Edward tak lain adalah gedung bekas Bank Mandiri. Para karyawan langsung menyambutnya dengan sukacita. Kabar bakal adanya penutupan bank tempat mereka bekerja pun seolah sirna seketika.

Itu sebabnya, ketika pada pagi hari 17 April lalu secarik kertas yang terpampang di pintu kantor mengumumkan soal penutupan bank swasta ini, kabar tersebut ibarat geledek di siang bolong. “Kami tidak menduga ditutup secepat ini,” kata seorang kepala divisi yang mengaku sudah bekerja selama 15 tahun.

Dalam pengumumannya, bank sentral menyatakan bank milik juragan restoran cepat saji McDonald’s, Bambang Nuryanto Rachmadi, ini dicabut izin usahanya terhitung sejak 17 April 2009. Dengan keputusan ini, otomatis semua kegiatan di kantor pusat dan enam kantor cabang, plus satu unit syariah, Bank IFI serentak dihentikan.

Melihat rapor keuangannya, penutupan Bank IFI sebetulnya memang tinggal soal waktu. Bank ini sejak tujuh tahun silam sudah masuk pengawasan intensif bank sentral gara-gara rasio kredit seretnya di atas 5 persen. “Ada atau tidak ada krisis global, bank ini sudah cacat,” kata Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia Wimboh Santoso.

Terhitung sejak 9 September tahun lalu, menurut Boedi Armanto, Direktur Pengawasan Bank I BI, status Bank IFI malah telah masuk daftar pengawasan khusus (Special Surveillance Unit) Bank Indonesia.

Jika mau selamat, bank ini harus bisa mendongkrak rasio kecukupan modal (CAR)-nya, yang jeblok di bawah 8 persen, dan rasio giro wajib minimum (GWM)-nya, yang terpuruk di bawah 5 persen. Tenggat yang diberikan bank sentral hanya tiga bulan.

Kenyataannya, hingga tenggat berakhir, kondisi keuangan bank tak kunjung membaik. Keluarga Rachmadi sebagai pemegang saham pengendali Bank IFI gagal memenuhi komitmennya menyuntikkanmodal sesuai dengan kerangka program penyehatan bank yang tertuang dalam capital restoration plan.

Sebagai jalan keluar, pemegang saham mengajukan capital restoration plan revisi yang berisi rencana menggandeng calon investor baru, yaitu keluarga Soeryadjaya dan keluarga Sabar Sitorus. BI setuju.

“Batas waktu pengawasan khusus bank tersebut diperpanjang hingga 9 Maret 2009,” kata Boedi.

Menurut Edward, ia tertarik masuk ke bank ini karena punya sejumlah potensi. Ia pun bermimpi bakal memfokuskan Bank IFI dalam penanganan kredit mikro dan usaha kecil-menengah.

Untuk itu, digandenglah Sabar Sitorus. Pertimbangannya, anak D.L. Sitorus, pemilik Torganda Group, itu dinilai punya cukup pengalaman dalam menangani bisnis kredit mikro, karena selama ini kelompok usahanya bergelut dalam pengelolaan 37 bank perkreditan rakyat.

Meski begitu, menurut sumber Tempo di Bank IFI, Edward tak mau gegabah. “Maklum, dia kan pernah tersandung kasus Bank Summa,” ujarnya. Karena itu, ia meminta Enrico Hutapea, teman segereja yang mengajaknya masuk ke bank ini, menjajal dulu “medan” bisnis yang akan digeluti.

Enrico diminta membereskan dulu semua persoalan di tubuh Bank IFI. Sebagai langkah awal, Enrico mengucurkan modal dengan membeli sebagian saham Bank IFI milik IFI Bina Utama. “Tapi jumlahnya tidak besar,” kata sumber tersebut.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Numpang kutip untuk bahan tugas kuliah