Kamis, 01 Januari 2009

NPL dan Permodalan Jadi Problem Utama

Bank BUMN Butuh Revisi Undang-undang
Rabu, 31 Desember 2008 | 01:26 WIB 

Jakarta, Kompas - Pada pengujung tahun 2008, sejumlah persoalan yang mendera perbankan mulai agak mereda, seperti kondisi likuiditas dan suku bunga tinggi. Namun, beberapa persoalan masih akan menghantui dan bahkan mencapai puncaknya pada tahun depan, yakni kredit bermasalah dan permodalan.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Milik Negara Agus Martowardojo, Selasa (30/12) di Jakarta, menjelaskan, secara umum kondisi perbankan pada pengujung 2008 cukup baik.

Beberapa persoalan yang cukup mengganggu dua tiga bulan lalu kini perlahan-lahan mereda, antara lain kondisi likuiditas, nilai tukar, dan suku bunga.

Kondisi likuiditas rupiah, kata Agus, sudah lebih baik meski belum normal betul. Itu tecermin dari suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) yang 10-11 persen per tahun.

Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan serangkaian kebijakan untuk melonggarkan likuiditas. Pemerintah, misalnya, mencairkan anggarannya sekitar Rp 140 triliun selama November- Desember 2008.

Likuiditas ketat yang terjadi berlarut-larut sangat membahayakan industri perbankan karena bank tidak mudah lagi mendapatkan dana, baik untuk kredit maupun memenuhi penarikan oleh nasabah. Kondisi ini bisa berujung pada hilangnya kepercayaan nasabah kepada bank.

Nilai tukar rupiah yang sempat bercokol di level Rp 12.000-an per dollar AS kini sudah kembali ke kisaran rata-rata Rp 10.000-an per dollar AS.

Depresiasi kurs yang terlalu dalam bisa membahayakan bank, terutama yang memiliki banyak debitor yang juga sebagai importir. Akibat depresiasi kurs, debitor-debitor tersebut terancam bangkrut sehingga kreditnya ke bank menjadi macet.

Kondisi perbankan, ujar Agus, juga tertolong oleh mulai turunnya suku bunga acuan atau BI Rate. Pada awal Desember 2008, BI menurunkan BI Rate 25 basis poin menjadi 9,25 persen.

Penurunan BI Rate pada gilirannya akan mendorong penurunan suku bunga dana dan suku bunga kredit. Adapun persoalan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) belum begitu terasa pada 2008 meski angka rasionya mulai merangkak naik pada Oktober 2008, sebesar 3,34 persen. Seiring dengan makin banyaknya kinerja perusahaan yang terganggu akibat krisis global, persoalan NPL akan semakin berat pada tahun 2009.

”Masalah NPL dan permodalan harus diwaspadai pada tahun 2009. Perbankan harus makin prudent dan memperkokoh manajemen risikonya,” kata Agus.

Restrukturisasi NPL

Jika NPL meningkat, bank harus melakukan pencadangan yang dananya diambil dari modal. Bagi bank yang modalnya pas- pasan, rasio kecukupan modalnya bisa turun di bawah 8 persen, yang merupakan angka minimum sesuai ketentuan BI.

Salah satu upaya untuk meredam dampak peningkatan NPL adalah memperbesar permodalan. Untuk mengantisipasi beratnya ancaman NPL pada 2009, Agus mengharapkan BI melonggarkan sejumlah ketentuan, seperti penilaian kualitas aktiva, penundaan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55, dan perhitungan risiko operasional.

Agus juga mengharapkan agar pemerintah dan DPR segera mengamandemen UU No 49/1960 tentang panitia urusan piutang negara yang interpretasinya melarang bank BUMN melakukan pemotongan utang pokok (haircut).

Amandemen diperlukan karena Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 soal tata cara pengurusan piutang negara dianggap tidak terlalu kuat sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah hukum pada kemudian hari. PP No 33/2006 memperbolehkan bank BUMN melakukan haircut dan penjualan dengan diskon atas kredit macet.

Menurut Agus, penanganan dan restrukturisasi NPL bisa lebih lancar dan cepat jika bank BUMN boleh melakukan haircut. Selain itu, Agus juga mengusulkan agar penyeragaman kualitas aktiva tidak diberlakukan untuk NPL yang disebabkan oleh transaksi derivatif.

Akibat depresiasi rupiah yang tajam, banyak investor yang rugi saat melakukan transaksi derivatif. Karena dana yang dipakai untuk transaksi derivatif ada yang berasal dari pinjaman, nasabah itu dikategorikan NPL jika tak mampu mengembalikan utangnya.

Berdasarkan aturan penyeragaman kualitas aktiva, jika satu debitor macet di satu bank, pinjamannya di bank lain juga dianggap macet. Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengatakan, dalam praktiknya, akan sulit memastikan apakah NPL terjadi akibat transaksi derivatif atau bukan. (FAJ/DAY)

Tidak ada komentar: