Minggu, 18 Januari 2009

Anomali Indonesia

 

Di tengah hiruk-pikuk krisis global, harian SINDO (7/1/2009) memberitakan bahwa penjualan mobil di Indonesia pada 2008 mencatatkan sejarah keberhasilan menembus angka 600.000 unit.

Tercatat, penjualan mobil sepanjang 2008 melonjak 39,7 persen (hampir 40 persen) menjadi 607.151 unit, dari sebelumnya 434.473 unit. Kecenderungan dalam pasar mobil Indonesia ini kontras dengan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan penurunan pangsa pasar di bawah 50 persen akibat tekanan krisis finansial.

Industri automobil global sedang mengalami persoalan besar karena menurunnya permintaan. Bahkan raksasa mobil Jepang, Toyota, yang belum lama mencatatkan diri sebagai produsen mobil terbesar di AS, berencana menghentikan produksi selama beberapa waktu sebagai antisipasi penurunan permintaan di pasar global.

Hal ini berkaitan dengan ekspektasi perusahaan-perusahaan Jepang yang pesimis tentang prospek pemulihan ekonomi nasional (Jepang) dan global dalam waktu dekat. Penguatan yen terhadap dolar AS merupakan faktor yang memukul korporasi-korporasi Jepang, di samping permintaan global yang menurun.

Hal Biasa?

Data tentang naiknya angka penjualan mobil di Indonesia 2008, di tengah krisis finansial global, dapat dianggap sebagai hal biasa maupun tidak biasa. Bisa dianggap biasa karena bahkan dalam tahun- tahun pahit krisis moneter Asia, Indonesia masih mendudukkan diri sebagai salah satu pasar terbesar bagi produk mobil mewah BMW, bersandingan dengan negara-negara seperti AS, Afrika Selatan, dan Hong Kong.

Menjelang krisis moneter 1997-1998, produsen sepeda motor Yamaha berada dalam kondisi sulit dan berancang-ancang hendak meninggalkan Indonesia. Namun, ketika krisis moneter melanda justru permintaan sepeda motor di Indonesia melonjak drastis. Masyarakat berusaha menghemat biaya transportasi dengan memilih sepedamotor sebagai sarana berkendaraan.

Bisnis penjualan sepeda motor, dengan cara kredit, dengan uang muka murah, merebak bak cendawan di musim hujan, justru setelah krisis moneter tiba. Produsen sepeda motor pun bernafas lega dan Yamaha pun batal hengkang dari Indonesia. Barangkali melihat uniknya pasar Indonesia ini produsen mobil AS, General Motors, berbulat hati untuk merealisasikan investasinya di Indonesia tahun depan, yang berkisar antara USD50 juta sampai dengan USD100 juta (SINDO, 7/11/2008).

Seperti rekan-rekannya, Ford dan Chrysler, saat ini General Motors menghadapi kesulitan bisnis serius, sehingga terpaksa ngantre minta dana talangan dari pemerintah Washington. Bisa jadi mereka berharap perluasan sayap bisnisnya ke Indonesia akan memberi suntikan darah baru bagi usaha mereka yang sedang lesu.

Hal Tak Biasa

Fenomena booming penjualan mobil di tengah krisis global bisa dianggap hal yang tidak biasa alias anomali, karena dampak krisis finansial global sudah mulai dirasakan oleh sebagian besar anggota masyarakat Indonesia. Naiknya kurs dolar AS terhadap rupiah jelas memukul usahawan dan pedagang yang bergantung pada produk impor.

Permintaan akan produk seperti komputer, laptop, dan barang-barang elektronik lain, misalnya, sudah pasti menurun karena harganya yang meningkat cukup tajam, seiring melemahnya rupiah terhadap dolar. Dampak paling menyakitkan dialami kalangan buruh.

Jumlah PHK sampai saat ini diperkirakan sudah mencapai ratusan ribu, dan dalam waktu dekat diprediksikan akan ada lebih dari dua juta orang kehilangan pekerjaan. Pasarpasar utama bagi ekspor Indonesia, yaitu Jepang, AS, dan Eropa semua sedang mengalami resesi, sehingga permintaan atas komoditas impor dari Indonesia pun menurun drastis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang ekspor pun mengalami kesulitan besar, dan menjadikan PHK sebagai solusi yang pahit.

Ekonomi Indonesia

Bagi politisi di semua level, tahun 2009 adalah tahun politik. Pemerintah SBY sangat diuntungkan oleh penurunan harga minyak dunia yang kini berada di bawah USD50 per barel. Diuntungkan karena itu terjadi menjelang pemilu. Penurunan harga BBM diumumkan dengan penuh percaya diri di depan rakyat, padahal kebijakan itu diambil karena memang harga minyak dunia sedang turun.

Bukan sebagai wujud pemihakan rakyat atau populisme. Dalam kosakata real politics memang tidak pernah ada kata "keikhlasan", termasuk keikhlasan meringankan beban hidup rakyat.Yang ada hanya untung rugi politik. Maka tim SBY tampaknya begitu yakin bahwa sang presiden akan mulus mempertahankan jabatan untuk kedua kalinya.

Sebuah anomali lagi, tentu, karena krisis global justru "menguntungkan" presiden yang sedang berkuasa di Indonesia, karena harga BBM domestik bisa diturunkan menjelang pemilu. Sementara itu, calon-calon presiden lain masih berkutat dalam kemungkinan pilihan aliansi, dengan siapa, dengan partai mana.

Hampir tidak ada calon presiden atau tokoh partai yang dengan jelas menawarkan cetak biru atau pemikiran solutif menghadapi krisis global. Kalau mereka ditanya, apa program yang mereka perjuangkan untuk menghadapi krisis finansial global, jawaban mereka kira-kira akan seragam, "Tanyakan saja pada ekonom yang memang ahlinya!"

Bandingkan dengan Barack Obama dari Partai Demokrat AS yang punya program jelas menghadapi krisis, yaitu menawarkan program penciptaan 2,5 juta lapangan kerja baru bagi rakyat AS. Dengan kejelasan program itu pun Obama masih banyak mendapat kritik tentang visi pembangunannya yang menurut beberapa pengamat tidak terlalu jelas.

Bagaimana kalau para pengamat pengkritik Obama itu kita minta mengamati visi para calon presiden dan tokoh partai-partai politik di Indonesia? Fenomena booming penjualan mobil di Indonesia tahun 2008 harus dilihat sebagai hal yang tidak biasa karena merupakan cermin kesenjangan sosial yang makin mencolok.

Ada puluhan ribu orang yang hidupnya konsumtif dan bergelimang kemewahan, sementara ratusan juta lainnya harus hidup prihatin dan mengetatkan ikat pinggang. Meminjam ungkapan capres "underdog" Rizal Ramli, kemerdekaan negeri ini baru dinikmati oleh 20 persen warga republik.

Sementara itu, 80 persen warga yang lain masih belum merdeka dari kungkungan kesulitan ekonomi dan tekanan sosial. Indonesia mungkin adalah tempatnya anomali. Namun kita ingat juga, betapa publik tersinggung dengan ucapan salah seorang menteri dalam kabinet Indonesia bersatu ketika bencana banjir meluas di Tahan Air awal tahun silam.

Sang menteri mengatakan, toh rakyat masih bisa tertawa, jadi masalahnya jangan dibesar-besarkan. Sang menteri mungkin lupa, dalam budaya Jawa yang dominan di Indonesia, kemarahan hendaknya disimpan dan ditutupi dengan senyum. Sebuah senyuman, bukan ekspresi kemarahan, sangat rapi untuk menyembunyikan anomali. (*)

Syamsul Hadi
Dosen Ekonomi Politik Internasional
di Departemen HI FISIP-UI

Tidak ada komentar: