Jumat, 07 Agustus 2009

Modernisasi Ekonomi-Politik China


Kamis, 6 Agustus 2009 | 03:36 WIB

Oleh Amich Alhumami

Proyek modernisasi suatu bangsa selalu ditempuh melalui pembangunan ekonomi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan ekonomi harus disertai pembangunan politik, tecermin dipenuhinya hak-hak sipil dan politik. Tujuan proyek modernisasi untuk mencapai kemajuan ekonomi dan memantapkan sistem politik demokrasi seperti pengalaman negara-negara Barat.

Namun, modernisasi tidak selalu menyediakan jalan untuk meraih kedua tujuan pokok itu secara bersamaan, salah satu harus mendahului yang lain. Negara-negara sedang berkembang umumnya mendahulukan kemakmuran ekonomi, lalu perlahan-lahan membangun sistem politik demokratis.

China menempuh jalan ini dengan mengembangkan East Asian model of state-led economic development. Model ini menempatkan negara sebagai pemegang kendali kebijakan reformasi ekonomi dan sementara menyisihkan demokrasi. China adalah fenomena kontras, yang sedang memacu proyek modernisasi, untuk menjadi raksasa ekonomi dunia pertengahan abad ke-21.

Namun, gerak menuju puncak kekuatan ekonomi dunia justru di bawah kendali rezim otoriter yang opresif dan anakronistik. Fenomena China jelas di luar kelaziman, amat berbeda dengan pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika. Kemajuan ekonomi hanya kondusif di bawah sistem politik demokrasi. Pola di luar kelaziman ini disebut market capitalism without democracy (Peerenboom, China Modernizes: Threat to the West or Model for the Rest, 2008).

China ”super power”

Bersamaan dengan peningkatan kemajuan ekonomi yang rata-rata tumbuh 10 persen sejak 1980-an, China menjadi super power baru yang secara geopolitik berpotensi menjadi ancaman negara-negara industri maju. Tak heran, Barat gencar melancarkan propaganda agar China mempromosikan demokrasi dan HAM sebagai bagian agenda pembangunan, yang kini menjadi arus-utama percaturan global.

Namun, China bergeming, teguh menempuh jalan politik sendiri yang lebih cocok dengan kebutuhan domestik. China tidak serta-merta mengadopsi ide-ide demokrasi dan HAM yang disuarakan Barat karena sarat kepentingan politik-ekonomi, selain mengandung bias ideologis-dominasi dan hegemoni. Isu demokrasi dan HAM sekadar kamuflase untuk menyembunyikan kepentingan ekonomi Barat atas negara berkembang, seperti diingatkan Joel Rocamora (2002).

Barat memang hipokrit dan berstandar ganda. Saksikan, AS menjalin persekutuan harmonis dengan rezim nondemokratis seperti Arab Saudi karena mendapat konsesi ekonomi-politik, tetapi berlaku sengit, terus mengecam, bahkan tak henti menebar ancaman kepada penguasa-penguasa kiri: Hugo Chavez (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Lula da Silva (Brasil). Sebab, mereka dengan gigih dan berani melawan arus-besar ekonomi neoliberal dan menolak kebijakan perdagangan bebas.

Maka, China tak mau didikte kepentingan Barat, kukuh meretas jalan sendiri dalam melaksanakan proyek modernisasi ekonomi-politik. Bagi China, sungguh tidak mudah berayun di antara ekonomi dan demokrasi karena negara ini dihuni 1,3 miliar penduduk. Gejolak politik berskala kecil pun akan berdampak besar terhadap stabilitas keamanan domestik, yang dapat mengguncang sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan.

Meski demikian, China perlahan mulai mengakomodasi sebagian elemen demokrasi modern. Reformasi ekonomi China disertai penataan kelembagaan pemerintahan untuk mendukung good governance, rule of law, pemberantasan korupsi, dan pasar terbuka. Ini adalah strategi gradual yang bertujuan memperkuat peran negara dalam membangun perekonomian dan menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat mutlak untuk menarik investasi asing (foreign direct investment) dan memacu pertumbuhan berkelanjutan.

Jalan pragmatis China

Para penguasa China paham betul hukum ekonomi kapitalisme pasar, yakni bagaimana mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan bahkan untuk satu dollar investasi sekalipun. Karena itu, mereka lebih mengutamakan reformasi kelembagaan pemerintahan-efisiensi birokrasi, peningkatan mutu pelayanan publik, efektivitas regulasi, akuntabilitas dan transparansi, penegakan hukum dan perkuatan peradilan, yang lebih dibutuhkan guna memfasilitasi investasi asing ketimbang demokratisasi. Pemerintah China yakin, para investor asing lebih memilih jaminan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum dalam berinvestasi ketimbang memilih tipe pemerintahan: otoriter atau demokrasi.

China menempuh jalan pragmatis dengan menyerap unsur-unsur pokok kapitalisme pasar, tetapi tetap memelihara nilai-nilai ideologi sosialisme yang berakar kuat dalam tradisi politik mereka. China mengabaikan pertentangan ideologis dan menjalankan modernisasi dengan memeluk kapitalisme meski tetap setia pada sosialisme, langkah ganjil dan penuh paradoks.

Saksikan, negara-negara berideologi serupa, seperti Vietnam dan Laos, mengadopsi strategi pembangunan ekonomi China dan menjadikannya model. Jalan pragmatisme China memberi inspirasi negara-negara serumpun di Asia Timur dalam membangun ekonomi. Bahkan, Iran, Afrika, dan Amerika Latin juga tertarik pendekatan dan strategi China. Mereka mengundang ahli hukum, ekonomi, dan politik China untuk menyampaikan public lecture bagi pejabat pemerintahan, akademisi, dan pengamat bagaimana menjalankan state-led economic development with limited political reforms itu.

China bisa dijadikan contoh sukses proyek modernisasi ekonomi-politik, terutama oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi liberal tetapi berpendapatan per kapita rendah, seperti Indonesia, Filipina, dan Banglades.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom

Tidak ada komentar: