Jumat, 07 Agustus 2009

Laju Ekonomi China


Kamis, 6 Agustus 2009 | 03:35 WIB

Oleh Syamsul Hadi

Di tengah ujian politik berupa instabilitas di Provinsi Xinjiang, China kembali hadir di pentas dunia sebagai fenomena mencengangkan di bidang ekonomi.

Akhir 2009, China akan menggeser Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor dua dunia (Kompas, 28/7). Hal ini terjadi hanya dua tahun setelah China melampaui Jerman sebagai kekuatan ekonomi nomor tiga dunia. Tahun 2007, GDP (gross domestic product) China mencapai 3,5 triliun dollar AS dan Jerman 3,3 triliun dollar AS. Tahun 2008, GDP China melonjak ke 4,42 triliun dollar AS, mendekati GDP Jepang yang 4,68 triliun dollar AS. Dengan kemampuannya, ekonomi China tumbuh 7,5 persen, sementara pertumbuhan Jepang minus 6,0 persen (data Juli 2009), dipastikan China akan melampaui Jepang dalam total angka GDP tahun ini.

Hubungan AS-China

Faktor terpenting di balik bertahannya ekonomi China adalah stimulus ekonomi sebesar 586 miliar dollar AS. Stimulus ini bekerja amat baik di tengah penurunan ekspor karena lesunya pasar global. Ini berbeda dengan stimulus Pemerintah AS sebesar 787 miliar dollar AS, yang belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi AS masih negatif (minus 2,6 persen) dan angka pengangguran di AS kini diperkirakan 10,2 persen.

Ironisnya, kini AS justru kian bergantung pada China. Defisit anggaran AS tahun ini melampaui 1,8 triliun dollar AS dengan utang kumulatif mendekati 12 triliun dollar AS. Diperkirakan China mewakili 83 persen dari seluruh defisit perdagangan AS dalam produk nonminyak. Selain itu, defisit anggaran AS justru ”ditanggung” China, yang kini mengakumulasi pembelian surat berharga AS senilai 763,5 miliar dolar AS.

Dalam perspektif AS, peningkatan hubungan dengan China bukan hanya penting guna menyangga ekonomi AS yang sedang limbung, tetapi juga dalam memecahkan aneka masalah global seperti perubahan iklim dan krisis finansial. Namun, seperti ditulis Elizabeth C Economy dan Adam Segal (Foreign Affairs, Mei/Juni 2009), kurang berhasilnya kerja sama AS-China sejauh ini berangkat dari perbedaan kepentingan, nilai, dan kapabilitas antardua negara.

Dalam konteks memburuknya ekonomi AS, kini posisi China dapat disamakan dengan Jepang pada pertengahan 1980-an saat ekonomi Jepang mengalami puncak pertumbuhan dan menjadi kontributor terbesar defisit perdagangan AS. Bagi AS, berhadapan dengan Jepang jauh lebih mudah daripada berhadapan dengan China. Posisi Jepang lebih lemah terhadap AS karena Jepang berutang budi pada bantuan besar-besaran AS seusai Perang Dunia II, selain ketergantungannya atas payung militer AS yang berkesinambungan.

Melalui kesepakatan, Plaza Accord (September 1985), AS bersama anggota G-5 lainnya (Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia) memaksa Jepang untuk menaikkan nilai mata uang yen sebagai langkah mengatasi defisit perdagangan yang masif. Akibatnya, nilai yen bertambah 89 persen atas dollar AS periode 1985-1988.

Seperti saat berhadapan dengan Jepang tahun 1980-an, kini AS berusaha menekan China untuk menaikkan nilai mata uangnya. Dalam pertemuan tingkat tinggi AS-China akhir Juli lalu, AS mengklaim rendahnya nilai mata uang China menyebabkan harga produk AS menjadi lebih mahal, sedangkan produk China menjadi lebih murah. Mengantisipasi tekanan AS ini, China menyuarakan perlunya mata uang alternatif dunia (selain dollar AS). Faktor tekanan AS memang berpengaruh pada naiknya nilai yuan 22 persen sejak 2005, tetapi ini lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan nilai yen tahun 1980-an.

Implikasi bagi Indonesia

Dalam pertemuan itu, AS meminta China mengembangkan ekonomi yang tidak bergantung pada ekspor. Ini adalah isyarat, AS akan melanjutkan langkah-langkah proteksionisnya terhadap China, seperti dijanjikan Obama dalam kampanyenya.

Meningkatnya proteksionisme di AS, Eropa, dan banyak negara membuat kita khawatir, produk China akan mengalir ke Indonesia. Indikatornya jelas, tahun 2008 Indonesia mengalami defisit 3,61 miliar dollar AS dalam perdagangan dengan China. Perdagangan di sektor nonmigas, keadaan berbalik dari surplus 79 juta dollar AS (2004) menjadi defisit 7,16 miliar dollar AS (2008) (Kompas, 30/7).

Saat banyak negara, termasuk AS, kian berhati-hati dalam berdagang dengan China, Indonesia justru terikat perdagangan bebas (free trade agreement) China-ASEAN, di mana bea masuk produk pertanian China ke ASEAN adalah nol persen dan bea masuk produk manufaktur China ke ASEAN maksimal 5,0 persen (2009). Padahal, tanpa kesepakatan perdagangan bebas pun produk China telah membanjiri Indonesia (Chandra & Pambudi, 2005). Tahun 2008, impor dari China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik yang semula dikuasai sektor usaha kecil dan menengah nasional.

Pesatnya laju ekonomi China, selain mengagumkan, juga mengancam ekonomi Indonesia. Tanpa kejelasan kebijakan untuk memperkuat daya saing ekonomi, program revitalisasi industri SBY-Boediono tak akan banyak berarti.

Syamsul Hadi Dosen Ekonomi Politik Internasional FISIP Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: