Jumat, 07 Agustus 2009

Menyimak Utang Negara


Rabu, 5 Agustus 2009 | 03:35 WIB

Oleh Siswono Yudo Husodo

Dunia sedang mengantisipasi dampak global defisit anggaran Pemerintah AS 1,09 triliun dollar AS (12,7 persen) dari produk domestik bruto.

Bahkan, defisit anggaran AS itu berpotensi menjadi 1,84 triliun dollar AS bila program-program populis dan sosial kelas menengah bawah harus dilanjutkan karena resesi. Kondisi ini diperberat utang sebesar 11,5 triliun dollar AS.

Untuk menutup defisit yang kian besar, Pemerintah AS menerbitkan obligasi bersuku bunga lebih tinggi. Hal ini mengundang kekhawatiran tentang jaminan pembayaran utang AS di kemudian hari, merosotnya nilai dollar AS, dan penurunan aset dalam dollar AS.

Dampak bagi Indonesia

Hal ini menjadi kabar buruk bagi Indonesia yang sekitar 16 persen APBN-nya ditutup dengan pinjaman luar negeri, termasuk penjualan obligasi. Mengingat faktor country risk, naiknya bunga obligasi Pemerintah AS membuat Pemerintah Indonesia harus menjual obligasi/SUN dalam dollar AS di pasar modal dengan bunga lebih tinggi lagi agar tetap laku.

Obligasi INDO Bond 10 jatuh tempo 2014 bunga 10,735 persen. Indo Bond 011 jatuh tempo 2019 bunga 11,625 persen. Keduanya dalam denominasi mata uang asing, bunganya amat tinggi, karena itu oversubscribe dan kini harganya lebih tinggi dari penawaran awal. Mengapa obligasi Pemerintah Indonesia berbunga lebih tinggi dari obligasi Pemerintah Filipina?

Tersedianya SUN mengurangi gairah bank menyalurkan kredit ke sektor riil. Deposito rupiah yang dihimpun bank, berbunga 6,1 persen, lebih untung dan aman dibelikan SUN dalam dollar AS daripada disalurkan untuk kredit.

Tahun ini adalah awal pemerintahan baru dan puncak jatuh tempo utang, suatu momentum untuk merenungkan kembali ketergantungan pada utang luar negeri.

Sebagai pengusaha, saya tahu betul arti tingginya bunga pinjaman, dan 10 tahun sebagai anggota kabinet, saya tahu persis beban utang bagi negara. Utang pemerintah Rp 112,19 triliun akan jatuh tempo dan 47 persen di antaranya dalam denominasi valas. Jumlah itu lebih dua kali alokasi APBN 2009 Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum. Sementara 22,6 miliar dollar AS utang luar negeri swasta jatuh tempo pada saat bersamaan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, rasio utang atas PDB menurun. Artinya kemampuan ekonomi negara untuk membayar kewajiban utang meningkat, cadangan devisa terhadap kewajiban jangka pendek (jatuh tempo kurang dari satu tahun) di kisaran 178 persen.

Pemerintah tampak percaya diri. Beban utang belum dianggap ancaman. Masalahnya, perhitungan PDB Indonesia merujuk output/produksi ekonomi nasional, termasuk yang dihasilkan perusahaan maupun tenaga kerja asing. Meningkatnya PDB Indonesia tak hanya dibentuk oleh kinerja orang Indonesia, tetapi juga peran asing sehingga balas jasa faktor produksi pada pihak asing menyita PDB Indonesia. Gambaran kemajuan ekonomi Indonesia menjadi bias. Pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, tetapi jumlah pengangguran dan kemiskinan cenderung statis.

Menurunnya rasio utang terhadap PDB diikuti meningkatnya stok utang. Tahun 2004, total utang pemerintah jika dirupiahkan Rp 1.295 triliun. Tahun 2008 menjadi Rp 1.486 triliun, naik 15 persen dalam empat tahun.

Utang baru

Anatomi APBN terdiri dari penerimaan pajak, bea cukai, dan PNBP. Utang dan pengeluaran berunsur biaya rutin (pembayaran gaji PNS), biaya pembangunan, bagian daerah (dana alokasi khusus dan dana alokasi umum), pembayaran bunga utang, dan pengembalian utang.

Dari segi APBN, beberapa tahun terakhir ini, penerimaan negara di luar utang sudah lebih kecil dari biaya rutin dan pengeluaran pembangunan. Artinya untuk menambah biaya rutin dan pembangunan, pemerintah membuat utang baru. Untuk mengangsur utang lama dan bunga utang, pemerintah membuat utang baru.

Di sini ada dua aspek berbahaya: utang baru selalu lebih besar dari angsuran utang lama. Akibatnya, utang kita terus meningkat. Kedua, utang baru pemerintah berbunga lebih tinggi (11 persen/tahun), berjangka lebih pendek (5-10 tahun), dan dari pasar modal. Bunga utang pada masa lalu amat rendah (1-3 persen/tahun), berjangka panjang (di atas 20 tahun), bersifat antarpemerintah, dalam skema bilateral atau multilateral.

Kita mengganti utang lama berbunga rendah (antara lain melunasi IMF) dengan utang baru berbunga tinggi, maka beban utang meningkat. Indonesia masuk perangkap utang dan ekonomi rentan guncangan eksternal. Dengan kondisi seperti itu, tepatkah menempatkan rasio utang terhadap PDB sebagai indikator untuk mengukur kekuatan ekonomi nasional?

Tak relevan penjelasan Menteri Keuangan yang membandingkan situasi kita dengan Jepang mengingat Jepang memiliki kinerja ekonomi amat maju, aset ekonomi produktifnya tersebar di seluruh dunia, utangnya dalam yen dan dari dalam negeri, praktis tanpa utang keluar negeri. GNP Indonesia lebih kecil dari PDB. Negara-negara berekonomi kuat, GNP-nya lebih besar dari PDB.

Menyadari ada kebutuhan berutang, mestinya IMF yang telah direformasi menjadi alternatif, bukan mengambil pinjaman berbunga tinggi. IMF menawarkan pinjaman non-conditional dengan bunga murah, hanya 2,0 persen/tahun. Meksiko telah memanfaatkan 47 miliar dollar AS. Brasil memakai dana IMF 35 miliar dollar AS, Korsel dan Singapura dalam antrean.

Amat berbeda karakter pinjam-meminjam antarnegara, yang lebih fleksibel dalam rescheduling dan berbunga rendah, dengan menjual obligasi ke pasar, risikonya amat besar. Taruhannya, rating seluruh dunia bisnis Indonesia.

Perkuat fondasi ekonomi

Beban Menteri Keuangan sungguh pelik mengingat sebagian masyarakat masih menganggap IMF seperti zaman Camdessus. Juga pelik antara keseimbangan menekan inflasi dan mengurangi defisit, meningkatkan pembangunan untuk memenuhi harapan rakyat, memperkuat rupiah dengan masuknya valas, termasuk dari utang, dan mempertahankan suku bunga agar sektor riil berkembang.

Maka, pemerintah perlu memperkuat fondasi ekonomi, memperkuat basis sumber penerimaan negara. Penerimaan dalam negeri lewat pajak harus ditingkatkan sehingga lebih besar dari biaya rutin dan pembangunan, ada surplus untuk mengurangi utang. Ini hanya bisa dicapai bila kesejahteraan rakyat meningkat.

Situasinya berat karena tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) 2009 baru 13,8 persen. Tax ratio negara maju 40 persen dan Asia rata-rata 20 persen.

Pemikiran bahwa cicilan pokok dan bunga utang yang boleh dibayarkan dari APBN harus di bawah persentase tertentu dari penerimaan pajak, atau dari porsi nasional dalam ekonomi domestik, patut dipertimbangkan. Ini membuat kita jujur pada kemampuan membayar utang secara mandiri, dan tidak membayar utang dengan membuat utang baru sambil membiarkan banyak aspek pembangunan terbengkalai karena tak ada dana, dan ekonomi nasional dikuasai asing.

Presiden SBY diharapkan mendengarkan aspirasi untuk mengurangi utang, selain mendengarkan suara yang menyatakan menambah utang tak apa-apa selama rasio terhadap PDB menurun.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila

Tidak ada komentar: