Jumat, 07 Agustus 2009

Arah Reformasi Birokrasi


Kamis, 6 Agustus 2009 | 03:19 WIB

Oleh Meuthia Ganie-Rochman

Sebagian besar ahli dan praktisi pembangunan Indonesia tampaknya sepakat, reformasi birokrasi merupakan hal pokok untuk memperbaiki kesejahteraan.

Masalahnya, bagaimana menghasilkan birokrasi yang kompeten, baik untuk pertumbuhan ekonomi maupun pelayanan penyediaan? Prinsip apa yang harus diambil, mulai dari mana?

Perbaikan birokrasi tidak hanya upaya mencari sistem yang efisien. Upaya ini harus dilihat dalam konteks strategi pembangunan, dengan masalah tarikan ekonomi politik. Reformasi birokrasi selalu harus memperhitungkan ketersediaan sumber daya untuk melakukannya.

Dalam pembaruan birokrasi, kekuatan politik amat menentukan, terlebih pada negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia. Maka, keliru hanya memakai resep teknokratis yang sering hanya mengagungkan prinsip rasionalitas dan efisiensi, bahkan plus demokrasi seperti dalam prinsip good governance.

Contoh dari Taiwan-Korea

Bagian berikut adalah pelajaran amat berharga yang diambil dari pembaruan birokrasi di Taiwan dan Korea yang mengantarkan pada kemajuan ekonomi, lalu pada konsolidasi demokrasi.

Pelajaran pertama, reformasi birokrasi merupakan proyek politik yang serius. Kebobrokan birokrasi ditandai eksploitasi birokrasi oleh kelompok dan organisasi politik, ketertutupan pengelolaan sumber daya, perekrutan, pelaksanaan kerja, dan promosi yang tak terlalu didasarkan pada kinerja. Secara keseluruhan, akibatnya, birokrasi kehilangan orientasinya sebagai organisasi masyarakat paling penting untuk pembangunan. Reformasi birokrasi Taiwan merupakan proyek politik AS yang berkepentingan mencegah penguatan komunisme. Pemerintah AS memfasilitasi pengiriman studi ke AS bukan hanya untuk rencana pembangunan, tetapi juga pemimpin partai agar berpikiran progresif sekaligus teknokratis. Sementara reformasi Korea amat dipengaruhi otoritarianisme Park Chung Hee yang dengan tangan besi mengubah organisasi negara dan ekonomi untuk menjamin pertumbuhan.

Pelajaran kedua, terus serius mengembangkan sistem dan mekanisme baru. Pengembangan ini dilakukan oleh institusi pemerintah yang mempunyai kompetensi dan independensi. Di Taiwan, tugas ini dilakukan lembaga perencana—The Council on International Economic Cooperation and Development (CIECD), The Economic Planning Commission (EPC), dan The Council on Economic Planning and Development (CEPD)—yang tidak terikat struktur birokrasi. Badan-badan ini sekaligus menjalankan fungsi koordinasi untuk pelaksanaan di tingkat ”sektoral” dan hanya bertanggung jawab kepada penguasa politik tertinggi. Di Korea, Park Chung Hee menggunakan Economic Planning Board guna menguatkan aspek teknokratis. Keterlibatan militer bukan hanya untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden Park, tetapi mampu menjalankan fungsi koordinasi dan pengendalian kinerja. Sejalan penguatan kedudukan Park, perwira militer (termasuk 55 jenderal) dipecat karena tuduhan kolusi dan korupsi.

Pelajaran ketiga, pemerintah mempunyai visi jelas tentang kelompok ekonomi mana yang akan diperkuat lebih dahulu. Visi ini dihasilkan dari analisis yang dilakukan para akademisi. Dengan demikian, pilihan kebijakan ekonomi tidak terseret debat (tampaknya) ideologis, misalnya antara kapitalisme, (neo) liberalisme, dan populisme. Pilihan didasarkan kompetensi sektoral negara saat itu. Jika perekonomian Taiwan dibangun atas penguatan industri menegah, Korea memilih memperkuat industri besar untuk pasar dunia.

Pelajaran keempat, di antara kompetensi yang dimiliki badan perencana pemerintah adalah kemampuan berdialog dengan pelaku ekonomi. Tujuannya agar pemerintah bisa memfasilitasi pertumbuhan kelompok ekonomi ini, selain bernegosiasi agar kesejahteraan lebih umum dapat dihasilkan. Dialog berhasil karena tertanam dalam institusi sebagai mekanisme dengan tujuan jelas, bukan hanya cadar politik untuk menarik simpati.

Manfaat untuk Indonesia

Indonesia bisa menarik pelajaran dari negara-negara itu baik tentang dukungan politik pemimpin nasional, kompetensi staf birokrasi, konsistensi sistemik, dan komunikasi pembangunan. Untuk Indonesia, pelajaran ini harus diterapkan dengan beberapa cara.

Pertama, pembaruan birokrasi harus memfasilitasi pertumbuhan ekonomi bukan hanya perbaikan pelayanan. Beri para investor kemudahan dan kepastian. Selanjutnya, mereka harus mendukung pemerintah menguatkan ekonomi kerakyatan. Contoh, berbagai perusahaan besar memiliki bengkel kerja yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi sederhana.

Kedua, program perluasan ekonomi terpilih. Misal, kini biaya transaksi kredit UMKM masih terlalu tinggi. Perbaikan bukan hanya dalam birokrasi perbankan. Stimulus kredit juga harus diberikan dengan sasaran yang jelas dan metode dukungan spesifik, selain oleh bank dan pemerintah daerah. Hal ini membutuhkan perbaikan dalam kompetensi birokrasi.

Badan perencana nasional tidak hanya berfungsi koordinatif dan menghasilkan standar kompetensi birokrasi. Ia juga harus menghasilkan skema terukur tentang peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam program pengembangan sektoral.

Meuthia Ganie- Rochman Sosiolog Organisasi di Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: