Kamis, 21 Januari 2010

Menghadapi FTA

Priyo Suprobo
Rektor ITS

Perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan Cina yang membuka lembaran baru di tahun 2010 ini disikapi dengan konotasi pesimistis ibarat 'tsunami' oleh banyak pengamat. Diperkirakan ada 10 sektor yang berpotensi termarginalkan serta berdampak PHK sekitar tujuh juta tenaga kerja, karena lemahnya daya saing. Di antaranya industri permesinan, besi baja, alas kaki, makanan minuman, petrokimia, plastik, dan pertanian.

Lemahnya daya saing secara global seharusnya memacu semua stakeholder bisnis, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat intelektual untuk duduk bersama menyelaraskan energi untuk bersaing. Tulisan berikut berhubungan dengan peran intelektual akademisi dan pendidikan dalam mensinergikan stakeholder untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi dampak 'tsunami' perdagangan bebas.

Daya saing dan pengaruhnya

Daya saing menjadi jargon populer di era globalisasi. Negara dengan daya saing tinggilah yang akan memenangkan persaingan bebas. Model penilaian daya saing suatu negara secara relatif terhadap negara lain diwujudkan dalam berbagai model, antara lain, Human Development Indexes (HDI), Global Competitiveness Indexes (GCI), dan sebagainya. Salah satu komponen daya saing merujuk pada model GCI berhubungan dengan kualitas pendidikan tinggi dan pelatihan (training). Kualitas pendidikan tinggi dan training dalam model GCI dikelompokkan sebagai faktor stimulus bagi penggerak efisiensi ekonomi suatu negara. Selain hal tersebut, maka kemampuan berinovasi dianggap sebagai faktor stimulus bagi penggerak ekonomi inovatif.

Dari model GCI tersebut, maka spirit dari faktor efisiensi dan inovasi tersebut sebenarnya adalah penerjemahan dari konsep Knowledge Based Economic (KBE). Sebagai negara dengan kapasitas sumber daya alam yang berlimpah, maka kita akan memperoleh hasil yang optimal apabila KBE mampu diaplikasikan dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Kemampuan untuk mensinergikan KBE untuk mengelola sumber daya alam melimpah, atau Resources Based Economic (RBE) akan meningkatkan daya saing. Efek domino dari peningkatan daya saing adalah penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa, dan penguatan pilar ekonomi maupun iptek yang inovatif sebagai komponen penting daya saing.

Spirit entrepreneur

Model daya saing tentunya membutuhkan keterpaduan strategi serta keselarasan program antar-stakeholder. Keterpaduan strategi bisa diperoleh bila road map nasional pengembangan antardepartemen fungsional saling connected dan alligned. Tentunya hal ini membutuhkan visi, kepemimpinan, dan good will dari ketiga komponen stakeholder Bussiness, Intelectual, Government (BIG) (Bisnis, Intelektual, dan Government). Selain itu, faktor kondusif yang harus ditumbuhkan di seluruh stakeholder adalah spirit entrepreneur.

Spirit entrepreneur tidaklah mutlak hanya untuk kalangan pebisnis, tetapi spirit entrepreneur yang basis utamanya adalah kreativitas dan inovasi sekarang ini telah diaplikasikan secara luas di segala bidang. Kita kenal istilah intrapreneur sebagai entrepreneur dari para profesional di perusahaan, sociopreneur adalah entrepreneur di bidang pemberdayaan masyarakat, hingga birokat entrepreneur adalah entrepreneur yang mengubah sistem kerja birokrasi menjadi automatikrasi.

Dalam rangka meningkatkan daya saing, maka baik pemerintah, bisnis, maupun intelektual (selanjutnya disingkat BIG : Bussiness, Intelectual, Government) perlu berbagi tugas. Pemerintah sebagai mediator kebijakan seharusnya menciptakan kebijakan yang secara socioengineering telah dikaji dampak positifnya bagi analisis persaingan bisnis nasional maupun tujuan strategis nasional. Sebagai contoh yang bisa dikemukakan adalah pilihan strategis Cina apakah mendukung industri padat karya atau industri teknologi tinggi. Menperindag Cina, Zhong San, mengatakan bahwa mengekspor satu unit pesawat Boeing 747 yang diproduksi Cina adalah lebih rendah manfaat ekonomisnya dibandingkan nilai ekspor yang sama dengan cara mengekspor 30 juta potong kaus buatan Cina.

Dari sisi bisnis, maka dibutuhkan pebisnis andal yang berjiwa 'nasionalis' dengan kultur agresif, pantang menyerah, serta jujur. Adapun dari sisi intelektual, maka pendidikan tinggi sebagai sumber utama penciptaan intelektual harus mampu membentuk karakter mahasiswanya sebagai manusia unggul dan berbudi luhur.

Mengingat bahwa daya saing berbasis pendidikan tinggi yang inovatif hanya bisa diperoleh dengan menggabungkan strategi bersaing dan disesuaikan dengan tujuan strategis nasional, maka pendidikan tinggi, baik yang berbasis iptek maupun sosial, sudah seharusnya membuka perspektifnya dengan cara mengajarkan ilmu manajemen, ilmu manajemen strategis, dan ilmu entrepreneurship sebagai bagian dari penciptaan suasana akademis 'berdaya saing'. Selain itu, ilmu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat perlu diberikan sebagai pelengkap dalam memahami tujuan strategis nasional yang berbasis kebutuhan lokal.

(-)

Perdagangan Bebas

Oleh Umar Juoro

Perdagangan bebas ASEAN-Cina secara penuh mulai dilaksanakan pada Januari 2010. Berbagai pihak menyampaikan kekhawatirannya terhadap akibat yang ditimbulkan dari perdagangan bebas, yaitu terempasnya produk-produk dalam negeri melawan produk-produk Cina yang lebih murah dan banyak jenisnya. Produk-produk yang dihasilkan Indonesia adalah sejenis dengan produk-produk Cina.

Kalangan pengusaha, politisi, dan banyak pengamat meminta ditundanya pelaksanaan perdagangan bebas ini. Dari kalangan pemerintah sendiri, menteri Perindustrian mengusulkan penundaan pelaksanaan perdagangan bebas ini. Sementara itu, menteri Perdagangan menyatakan bahwa perdagangan bebas ini harus tetap dilaksanakan karena sudah menjadi kesepakatan. Penundaan dapat dilakukan pada pos tarif tertentu, itu pun harus dengan persetujuan negara ASEAN lain juga Cina.

Pelaksanaan perdagangan bebas juga akan menurunkan penerimaan dari bea cukai yang diperkirakan mencapai Rp 15 triliun. Sebelum pelaksanaan perdagangan bebas dengan Cina sekalipun, aparat bea cukai cukup kewalahan dalam mengatasi penyelundupan barang-barang dari Cina.

Bagi konsumen, perdagangan bebas memberikan keuntungan yang besar karena harga barang menjadi murah dan lebih banyak pilihan. Sebelum perdagangan bebas dengan Cina, produk-produk Cina telah banyak kita dapatkan baik secara legal maupun ilegal dalam berbagai jenis dan dipasarkan di berbagai tempat. Konsumen pada umumnya menyukai produk Cina ini karena murah harganya. Apalagi, banyak produk Cina yang merupakan pemalsuan dari barang-barang dengan merek terkenal dengan harga yang sangat murah.

Cina mempunyai kemampuan produksi yang sangat besar. Selain upah pekerja yang relatif murah, Pemerintah Cina memberikan fasilitas yang besar baik dalam bentuk dukungan infrastruktur yang memadai maupun bunga kredit yang rendah. Pemerintah Cina membangun infrastruktur besar-besaran yang membuat produksi dan distribusi barang sangat terdukung. Bank-bank yang dimiliki pemerintah juga memberikan kredit dengan bunga yang sangat rendah. Selain itu, mata uang yuan dibuat relatif lemah terhadap dolar sehingga mendorong daya saing produk-produk Cina di pasar luar negeri.

Keadaan di Indonesia hampir merupakan kebalikannya. Para pengusaha di industri manufaktur menghadapi permasalahan serius berupa buruknya infrastruktur. Pasokan listrik tidak memadai. Sarana jalan dan pelabuhan tidak mendukung distribusi yang efisien. Bunga pinjaman bank juga tinggi. Permasalahan ketenagakerjaan terus menghambat kegiatan produksi. Tambahan lagi, masih banyaknya pungutan yang menambah biaya tinggi. Dalam keadaan seperti ini, sangat sulit bagi produk Indonesia untuk bersaing dengan produk Cina bahkan di pasar dalam negeri. Sekarang ini defisit perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai sekitar 3 miliar dolar AS dan kemungkinan akan meningkat lagi.

Namun, kalau kita menganalisis lebih jauh lagi. Adalah tidak mungkin seluruh kegiatan produksi terpusat di Cina. Upah pekerja di Cina terus mengalami peningkatan dan lebih tinggi dari Indonesia. Importir dari banyak negara juga tidak mau sepenuhnya tergantung pada Cina karena risikonya terlalu tinggi. Cina juga belum kompetitif dalam produk-produk dengan kualitas dan teknologi yang lebih tinggi. Tambahan lagi, perusahaan Cina juga berupaya untuk melakukan ekspansi kegiatan produksi di luar negeri.

Investasi di Cina sudah sangat besar dengan PMA melebihi 50 miliar dolar AS. Cadangan devisanya juga demikian besar mencapai lebih dari 2 triliun dolar AS sebagai hasil dari surplus perdagangan yang sangat besar. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, mata uang yuan akan terapresiasi dan harga-harga aset di Cina akan menjadi mahal untuk kemudian menyebabkan besarnya gelembung yang akan membahayakan ekonomi.

Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN dan nomor tiga di Asia setelah Cina dan India. Perekonomian Indonesia juga masuk ke dalam 20 besar dunia. Selain pasar yang besar, Indonesia juga kaya dengan sumber daya alam. Karena itu, minat untuk melakukan investasi di Indonesia sangatlah besar, termasuk dari Cina. Jika kita dapat memfasilitasinya dengan lebih baik, kegiatan produksi dapat dilakukan di Indonesia baik melalui patungan maupun sepenuhnya perusahaan asing. Karena itu, sebaiknya perusahaan Indonesia melakukan sinergi untuk memanfaatkan besarnya pasar ASEAN-Cina. Penundaan perdagangan bebas sifatnya sementara. Cepat atau lambat, legal atau melalui penyelundupan, barang-barang Cina akan masuk ke Indonesia secara besar-besaran.

Tentu saja kita harus melindungi produsen dalam negeri, dengan sedapat mungkin menunda pelaksanaan perdagangan bebas. Kita juga harus meningkatkan daya saing mereka dengan memperbaiki infrastruktur, dan akses pada modal yang lebih murah. Langkah-langkah untuk mencegah tidak fair-nya persaingan juga harus dilakukan. Kriteria nontarif harus ditentukan Indonesia yang menguntungkan produsen dalam negeri. Namun, kita juga harus realistis dengan perkembangan di sekitar kita. Kemunculan Cina yang sekarang ini adalah perekonomian terbesar nomor tiga dan dalam beberapa dekade ke depan, akan menjadi perekonomian terbesar di dunia tidaklah dapat dibendung. Dalam hal tertentu kita kalah dalam persaingan dengan Cina, namun banyak yang dapat kita lakukan bersama untuk saling menguntungkan.

Perkembangan Cina yang diikuti oleh India merupakan fenomena terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Indonesia sebagai negara terbesar ketiga di Asia banyak yang memperkirakan akan mengikuti perkembangan Cina dan India, jika kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan dunia usaha sesuai. Dengan kata lain, perkembangan Cina akan memberikan kesempatan lebih besar bagi Indonesia untuk berkembang. Sejarah memperlihatkan bahwa perkembangan Cina dan India sejalan dengan perkembangan Nusantara.

Asia mengalami keterbelakangan karena kolonialisme Barat. Bahkan, dalam hadis dinyatakan ''tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.'' Perkembangan Cina juga akan membawa perkembangan negara-negara berkembang yang telah membangun kerja sama dengan Cina, termasuk negara-negara Islam, seperti Arab Saudi, UEA, dan

Jumat, 15 Januari 2010

Dilema Perbankan Syariah


Ahmad Ifham Sholihin - suaraPembaca



Jakarta - Semangat kuat tapi tenaga kurang. Inilah sedikit evaluasi tentang kinerja perbankan syariah. Segenap penggiat Bank Syariah harus bekerja lebih keras dan serius lagi jika ingin bersaing memenangkan pasar perbankan.

Berdasarkan Statistik Perbankan dan Perbankan Syariah Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia aset Bank Syariah (termasuk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah - BPRS) pada akhir tahun 2005 mencapai Rp 21,5 triliun, dan saat ini (data September 2009) mencapai Rp 60 triliun sehingga ada kenaikan Rp 38,5 triliun. Bandingkan dengan aset bank konvensional pada akhir tahun 2005 sebesar Rp 1,469,8 triliun, melesat tajam menjadi Rp 2,388,6 triliun sehingga ada kenaikan sekitar Rp 919 triliun. Jelas, bank konvensional mengalami peningkatan aset 24 kali lipat dibandingkan dengan bank syariah.

Di samping itu penerapan manajemen risiko yang kurang optimal menyebabkan prestasi buruk dalam hal Pembiayaan Bermasalah Bank Syariah (kategori Kurang Lancar – Macet) yang mencapai 5,72% (di atas batas maksimal yang ditentukan BI yaitu 5%).

Pembiayaan Bermasalah BPRS lebih parah, yaitu 8,2%. Dalam hal penambahan jaringan kantor Bank Syariah (termasuk BPRS) sebenarnya cukup agresif dengan menambah 594 jaringan (selama tahun 2005 – September 2009). Jumlah ini belum termasuk lebih dari 1.770 jaringan bank konvensional yang dijadikan sebagai Office Channeling serta kantor pos yang juga dilibatkan sebagai jaringan layanan bank syariah. Bandingkan dengan bank konvensional yang hanya menambah 444 jaringan dalam kurun waktu yang sama. Jumlah ATM bank syariah juga cukup memadai karena bank syariah menggunakan jaringan ATM bank konvensional.

Data tersebut menunjukkan adanya infrastruktur yang cukup memadai bagi bank syariah untuk menggarap pasar perbankan yang ada. Estimasi market size pasar perbankan menurut KARIM Business Consulting (tahun 2003) adalah Sharia Loyalist (1%), Conventional Loyalist (25%), serta Floating Mass (74%). Jika bank konvensional tidak mungkin menggarap Sharia Loyalist yang mutlak mengharamkan bunga bank justru bank syariah memiliki peluang untuk bisa menggarap semua pasar perbankan termasuk Floating Mass sebagai pasar mengambang dan Conventional Loyalist yang mementingkan return kompetitif serta layanan prima.

Tantangan dan Peluang

Konsep citra dan positioning bank syariah adalah lebih dari sekedar bank dengan prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, serta bebas dari riba, gharar (penipuan), maysir (spekulasi), dan hal-hal lain yang tidak sesuai syariah. Namun, mengapa laju bank syariah seakan tersendat.

Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa bank syariah dan bank konvensional hanya beda istilah dan akad. Sedangkan prakteknya kurang lebih sama saja. Inilah salah satu faktor penyebab masyarakat (yang heterogen dan crowded) menjadi ragu dengan bank syariah. Apalagi masyarakat terbiasa menggunakan sistem perbankan konvensional yang masih unggul dari sisi return, kemudahan, teknologi, akses, jaringan, dan layanan prima.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa terpenuhi jika didukung oleh tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (TI) yang memadai. Muliaman D Hadad, Deputi Gubernur BI dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), menyatakan bahwa di Indonesia sudah ada lebih dari 100 perguruan tinggi yang membuka jurusan atau studi perbankan syariah.

Jumlah ini belum termasuk pesantren dan madrasah. Sebuah potensi besar untuk memenuhi kebutuhan SDM bank syariah yang mencapai 42 ribu orang dalam waktu 5 tahun ke depan. Tentu bukan hanya SDM sekedarnya karena mereka harus paham konsep, praktek, sekaligus patuh terhadap aturan perbankan syariah.

Di samping itu saat ini juga sudah tersedia aplikasi Core Banking System (CBS) bank syariah, baik PC based, platform AS/400, maupun web based yang bisa mengakomodir semua kebutuhan transaksi perbankan syariah dalam jumlah jaringan yang banyak, akses mudah, proses cepat, teknologi canggih, user friendly, serta kemudahan-kemudahan yang lain. Kurangnya dana ditengarai menjadi kendala utama bank syariah dalam menyediakan infrastruktur TI yang canggih.

Belum lagi faktor Marketing Public Relations (PR) bank syariah yang seakan tidak ada aktivitas. Biaya promosi yang dikeluarkan bank syariah juga jauh di bawah bank konvensional. Coba bandingkan biaya promosi total bank syariah tahun 2007 sebesar Rp 91 miliar. Ternyata lebih besar biaya promosi satu produk BRI Britama yang mencapai lebih dari Rp 96 miliar. Dan, ternyata pada periode Januari – September 2009 ini seluruh bank syariah pun hanya mampu mengeluarkan biaya promosi sebesar Rp 92 miliar.

Rasanya memang tidak adil jika head to head membandingkan antara kemampuan promosi bank syariah dengan bank konvensional yang notabene sudah mapan dan memiliki dana cukup untuk promosi. Namun, bank syariah bisa dengan cerdas mengoptimalkan fungsi kotak ajaib (televisi) dengan berbagai strategi efektif namun efisien.

Televisi masih menjadi primadona masyarakat luas untuk menjadi sumber informasi, hiburan, sekaligus "teman hidup" yang bisa masuk ke ruang publik maupun pribadi.Publikasi melalui media televisi ini bisa dilakukan secara efektif, efisien, bahkan gratis jika penggiat bank syariah mampu dengan cermat dan kreatif melihat peluang.

Bank syariah bisa melakukan berbagai kegiatan yang bisa menjadi "konsumsi kamera televisi". Seperti kegiatan-kegiatan yang melibatkan publik figur, hot issue, atau trend. Di sisi lain bank syariah patut merasa beruntung karena memperoleh dukungan dari berbagai komponen.

Presiden, DPR, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, DSN MUI, serta dukungan dari berbagai pihak terus mengalir seiring pertumbuhan dan kebutuhan industri perbankan syariah. Permisivitas terhadap pajak murabahah dan sukuk juga merupakan dukungan yang luar biasa dari pemerintah.

Dukungan-dukungan ini harus diikuti dengan keseriusan seluruh penggiat bank syariah untuk melakukan langkah konkret menyuguhkan sebuah produk atau jasa atau layanan bank yang memihak pada kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank juga merupakan support fenomenal dalam hingar bingar tumbuh kembang bank syariah. Namun, fatwa ini akan menjadi bumerang jika tidak diikuti dengan kekuatan bank syariah dalam menggerakkan segenap public figure panutan masyarakat (yang mayoritas muslim) untuk menggunakannya.

Faktor psiko sosio kultural masyarakat Indonesia yang majemuk ini masih bergantung pada teladan. Bunga bank konvensional diharamkan. Namun, jika berbagai komponen seperti ormas Islam, partai Islam, ulama, dan komponen panutan lain tidak memberikan teladan, masyarakat yang mayoritas muslim ini akan semakin tidak yakin dengan nilai lebih bank syariah. Akhirnya, bank syariah hanya akan dianggap sebagai sekedar alternatif. Bukan solusi.

Ahmad Ifham Sholihin,
Sharia Business Consultant – PT Anabatic Teknologi Indonesia

Hikmah Pembangunan Masa Lalu untuk Masa Kini


Jumat, 15 Januari 2010 | 03:01 WIB

Emil Salim

Hari Kamis (14/1), Penerbit Buku Kompas meluncurkan buku Pengalaman Pembangunan Indonesia- Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro dari tahun 1963 hingga 1996 menggambarkan pengalamannya dalam membangun Indonesia di masa Orde Baru. Jika masa ini sudah lewat, timbul pertanyaan masih relevankah isi buku ini bagi generasi masa kini dan nanti? Hikmah apakah yang bisa ditarik dari buku ini?

Buku ini ditulis oleh seorang profesor ekonomi sehingga segera tampak betapa inner logic ekonomi memengaruhi cara pandang dan berpikir sang penulis. Ilmu ekonomi bertumpu pada logika bahwa harga keseimbangan terbentuk bila penawaran bertemu dengan permintaan. Sifat pasar bisa berbeda, serbaliberal, monopoli, berencana atau lain- lain. Namun, akhirnya yang dituju adalah harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan.

Ketika pada tahun 1972 meledak krisis pangan yang parah dan harga melonjak tinggi, terdapat laporan produksi beras yang cukup tinggi dari pejabat pertanian daerah, sedangkan Biro Pusat Statistik mengungkapkan produksi beras lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Selaku Ketua Bappenas, Widjojo Nitisastro menginstruksikan agar yang dijadikan patokan adalah ”harga beras pada musim panen” dan bukan perkiraan jumlah produksi yang simpang siur. Inner logic ekonomi berkata, pada musim panen pasokan beras naik sehingga harga beras mestinya tidak naik. Bila ada kenaikan, produksi pada musim panen lebih rendah dengan sebelumnya.

Asas efisiensi

Pelajaran kedua yang bisa ditarik adalah penerapan asas efisiensi yang secara sederhana terungkap dalam lima pertanyaan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono ketika berhadapan dengan tuntutan departemen mengajukan anggaran proyek, yakni: pertama ”apakah perlu membangun proyek itu?” Kalau ini dijawab positif, pertanyaan berikut adalah ”apakah perlu sebesar itu ukuran proyeknya?” Kemudian, menyusul pertanyaan ”apa perlu sekarang, apa betul urgen mendesak?” Lalu ”apakah biaya bisa diturunkan?” Akhirnya masih menyusul permintaan untuk mengajukan studi kelayakan untuk dikaji oleh para ahli.

Tersimpul dalam pertanyaan sederhana Sudharmono ini prinsip efisiensi kegunaan, pertimbangan ukuran besar, faktor urgensi waktu dan faktor biaya. Untuk dicek dengan studi kelayakan proyek. Setelah terjawab ini semua barulah proyek ini bisa lolos.

Hikmah ketiga, diterapkannya dalil ”berpegang teguh pada sasaran yang ditetapkan” dalam bahasa manajemen maintenance of the objectives. Ketika pada Januari 1986 Presiden Soeharto menyatakan tidak akan mendevaluasi rupiah, maka komitmen pemerintah ini harus dilaksanakan. Akan tetapi, harga minyak bumi kemudian jatuh sehingga penerimaan devisa berkurang dengan tajam dan nilai tukar rupiah merosot turun. Dan orang menukar rupiah yang overvalued dengan mata uang asing.

Tujuan kebijakan pembangunan adalah mengusahakan stabilisasi ekonomi dan ini memerlukan nilai tukar yang stabil pada tingkat keseimbangan yang bisa dipikul anggaran. Jika nilai tukar rupiah overvalued, maka devisa akan dikuras sehingga membahayakan stabilitas rupiah. Maka, demi maintenance of the objective mencapai ekonomi stabil, Presiden ”menarik janjinya” dan mendevaluasi rupiah pada tahun 1986.

Kerja ”all-out”

Pelajaran keempat adalah semangat kerja habis-habisan, all out to get things done. Untuk mencapai sasaran swasembada pangan, segala keperluan petani harus sampai ke tangan di lapangan. Bibit unggul PB-5, pupuk, dan saluran irigasi harus tersedia pada waktunya. Dan peranan Bulog membeli padi pada waktu harga turun dan menjual pada waktu harga naik. Jalan kabupaten, jalan provinsi, dan jalan nasional direhabilitasi untuk kelancaran arus pasokan input ke petani dan pembelian output dari petani. Untuk potong lajur birokrasi, jalan pintas diambil untuk menurunkan anggaran langsung dari pusat ke lapangan dengan pola ”Proyek Inpres, Instruksi Presiden”. Irigasi sekunder dan primer perlu semen, maka pabrik semen dibangun. Pupuk dibutuhkan banyak, maka pabrik pupuk dibangun. Tak banyak seminar di masa itu, pertemuan lebih banyak dengan petani di tingkat desa. All out to get things done adalah suasana yang hidup mengejar sasaran swasembada pangan yang dicapai pada tahun 1984.

Pelajaran kelima adalah posisi seorang intelektual yang dibedakan dengan ”pekerja intelek” (intellectual worker). Seorang ”pekerja intelek” adalah seorang ”tukang intelek” yang ”menjual otaknya” kepada pembeli tanpa memedulikan ”untuk apa hasil otaknya dipakai”. Seorang ”pekerja intelek” semata-mata mengembangkan ilmu dan menghasilkan karya hasil otaknya dengan imbalan, titik. Sesudah itu, tanggung jawab pembeli hasil otak.

Berbeda halnya dengan seorang ”intelektual” yang pada asasnya adalah seorang ”pengkritik sosial” (social critic) dan bekerja mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah untuk mencapai masyarakat yang lebih baik, lebih berperikemanusiaan, dan lebih rasional. Dengan demikian, intelektual itu tumbuh menjadi hati nurani masyarakat, the conscience of the society, yang mendambakan perubahan ke arah perbaikan untuk kemaslahatan masyarakat.

Demikianlah lima hikmah yang bisa dipetik dari buku yang ditulis oleh Widjojo Nitisastro yang telah mencurahkan bagian besar hidupnya bagi pembangunan Indonesia.

Semangat zaman telah berubah kini. Tantangan pembangunan masa kini dan nanti telah berbeda. Sungguhpun diperlukan pola pembangunan yang berlainan agar lebih sesuai dengan tuntutan masa, tetapi kelima-lima pokok hikmah di atas tetap bisa digunakan untuk mengisi tuntutan masa baru dan mengisyaratkan tetap perlunya kerja pembangunan dengan inner logic ekonomi, prinsip efisiensi, maintenance of the objectives, all out to get things done, dan sikap jiwa seorang intelektual pembawa hati nurani masyarakat.

Emil Salim Ekonom Senior

Sabtu, 09 Januari 2010

Kredit Harus Tumbuh 22%



Kejar Pertumbuhan Ekonomi 5,5%

SP/YC Kurniantoro - Sigit Pramono

[JAKARTA] Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%-6% dibutuhkan tingkat pertumbuhan kredit 22%-24%. Dengan kondisi perbankan nasional yang sehat, yaitu rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 17% dan rasio kredit terhadap pinjaman (LDR) 73%, ruang untuk perbankan mendukung pertumbuhan kredit cukup luas.

Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menuturkan, permasalahan rendahnya pertumbuhan kredit tahun 2009 tidak sepenuhnya terletak pada tingginya suku bunga.

"Bunga kredit perbankan saat ini terendah sepanjang sejarah Indonesia, bunga kredit bank banyak yang di bawah 10%. Persoalannya, faktor-faktor biaya nonbunga kredit juga tinggi karena inefisiensi di bidang transportasi dan energi, makanya perbankan ditekan untuk menurun-kan suku bunga," katanya di Jakarta, Kamis (7/1).

Menurutnya, kurang tepat bila BI mengeluarkan disinsentif dan insentif mengenai kebijakan giro wajib minimum dikaitkan dengan LDR. "Kalau giro wajib minimum dengan LDR itu berlawanan, yang satu gas dan yang satu lagi rem. Tapi, kita akan coba karena tidak semua bank punya LDR tinggi, bergantung pada porsi bank masing-masing, ada yang diuntungkan, ada juga yang dirugikan," ujarnya.

Ditegaskan, faktor bunga bukan faktor penentu, sebab banyak hal yang harus dibenahi dalam menunbuhkan perekonomian, mulai dari infrastruktur sampai listrik, termasuk politik. Apabila tidak ada keduanya, investor tidak akan melakukan investasi. Akibatnya, kredit tidak akan diambil.


Tidak Manfaatkan

Tahun 2009 jumlah komitmen kredit perbankan yang tidak terserap (undisbursed) berkisar Rp 270 triliun-280 triliun. Jumlah yang cukup besar itu menunjukkan bahwa debitor tidak memanfaatkan dana kredit yang disediakan bank.

Sementara itu, ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan, permintaan kredit tahun 2010 akan naik karena dunia usaha harus memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi dunia dengan melakukan ekspansi lebih besar.

"Kecenderungan suku bunga global naik sebagai respon perbaikan ekonom. Agar aset dalam rupiah tetap menarik dan tidak terjadi capital flight, maka suku bunga domestik juga harus dinaikkan," katanya.

Akan tetapi, kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada triwulan II, BI Rate akan naik menuju 6,25% pada semester I dan 7% pada akhir 2010. Dengan kenaikan BI Rate tersebut, otomatis bunga perbankan akan terdorong naik.

Wadirut BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, perbankan akan berupaya menurunkan suku bunga kredit pada tahun ini, sesuai dengan pergerakan biaya dana, sehingga posisi net interest margin diperkirakan sedikit lebih rendah dibanding tahun 2009.

Dia menilai, margin bunga bersih perbankan akan sedikit turun karena suku bunga kredit yang masih terus ditekan sesuai dengan arah BI Rate yang masih rendah.

Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi net interest margin perbankan pada Oktober 2009 memang turun tipis menjadi 5,55% dari setahun sebelumnya 5,69%. Namun, Jahja menyatakan, perbankan sulit bergerak apabila akan diatur perolehan margin bunga bersihnya, yang seharusnya dapat lebih elastis sesuai dengan perkembangan pasar.

"Justru dalam situasi ekonomi yang belum normal, perbankan membutuhkan sumber pendapatan, yang pada akhirnya bisa menjadi sumber utama untuk menopang penguatan modal," katanya. [D-11]

Indonesia dan Era Chindonesia



THE GLOBAL NEXUS

Bagian Terakhir dari Dua Tulisan

Christianto Wibisono

Restorasi Indonesia memulihkan kejayaan Indonesia sebagai Civilization State dengan daya mampu setara Borobudur abad ke-8 kongruen dengan keseimbangan baru kekuatan dunia abad XXI, era Pax Consortis G20. Restorasi hanya bisa dilakukan melalui rekonsiliasi, memaafkan dan berdamai dengan masa lalu. Serta merubah politik yang berciri zero sum game, kemunafikan dan kekerdilan menuju jiwa negarawan yang magnanimous. Khusus mengenai Bank Century dan kemelut China ASEAN Free Trade Agreement (CA FTA), kami prihatin, jajaran elite kita hanya asyik ingin saling menjatuhkan lawan politik. Tidak menangkap esensi permasalahan yang jauh lebih besar.

Pemerintah membentuk Tim Pemulihan Aset Publik Bank Century yang ibarat spesialis ber pisau laser untuk segera menuntaskan kasus Bank Century serta Tim Pemulihan Assertivenes Publik CA FTA dengan tugas khusus memulihkan rasa percaya diri masyarakat menghadapi pasar terbuka CA FTA. Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum seyogyanya melaksanakan usulan Wantimpres tentang Rekonstruksi Moral dalam melembagakan, mengkoordinasikan dan mensinergikan pemberantasan korupsi secara tuntas, lugas dan lintas institusional.

Pemerintah membentuk Tim Pemulihan Aset Publik (TPAP) Bank Century:

a. Melakukan diplomasi ke pemerintah Arab Saudi , Inggris dan Singapura untuk deportasi, konfiskasi dan repatriasi seluruh asset ex Bank Century yang dijarah oleh pemegang saham warga negara Arab, Hesham Al Waraq, warga negara Inggris kelahiran Pakistan, Rafat Ali Rivki dan Dewi Tantular, WNI yang terpantau berada di Singapura,.

b. Memberdayakan Bank Mutiara (nama baru Bank Century) sebagai domain publik agar berkembang menjadi bank khusus pembiayaan infrastruktur, niaga karbon atau UMKM

TPAP Bank Century menjadi negosiator promotor untuk mengundang investor memenuhi pola divestasi penyertaan modal LPS.

c. menyiapkan draft RUU JPSK menangani kondisi darurat keuangan sistemik untuk memberi kepastian hukum wewenang darurat menghindari isu serupa dimasa datang.

TPAP CA FTA dengan misi mengamankan posisi RI dalam CA FTA bertugas mengidentifikasi mana sektor industri, bisnis dan jasa serta komoditas spesifik yang memerlukan proteksi tarif (5-10%).

Hingga 2007 neraca ekspor RI ke RRT masih positif. Tahun 2005 ekspor US$ 6,7 miliar dan impor US $ 5,84 miliar, 2006: 8,3 vs 6,64 dan 2007 9,7 vs 8,56. Baru tahun 2008 ekspor RI 11,6, impor dari RRT 15,25 dan untuk 8 bulan 2009 ekspor kita hanya US$ 6,9 miliar sedang impor sudah US$ 8,65 miliar. Sebanyak 2400 perusahaan kecil anggota API mengeluh untuk survive, sedang kelompok 300 perusahaan besar harus siap bersaing. Sementara itu, Ketua API Jawa Barat Ade Sudradjad mengatakan, rata-rata harga tekstil RRT 10% lebih murah.


Dilihat Sebagai Peluang

Kita harus melihat CA FTA juga sebagai peluang, bukan melulu ancaman. Menyedihkan dan memprihatinkan jika Indonesia yang sejak 1970-an sudah mendahului Tiongkok membangun kekuatan ekonomi nasional, sekarang kurang percaya diri. Indonesia sedang menghadapi pergolakan internal yang menggerogoti rasa percaya diri karena kultur elite yang tidak ksatria untuk mengakui keunggulan lawan politik sebagai negarawan. Kami mengikuti dengan cermat perkembangan tanah air yang dirundung simptom hypochondria (rasa berpenyakitan, impoten dalam spirit hidup) dan kurang assertive serta tidak ksatria (senang melihat orang susah, susah melihat orang senang).

Kami menyatakan, bangsa Indonesia harus segera mawas diri, bertobat dan mengikrarkan semangat melakukan restorasi setara dengan Meiji. Bangsa Indonesia harus bisa bangkit setara dengan proyeksi pakar sebagai satu dari Troika Asia Chindonesia (China India dan Indonesia). Momentum wafatnya Gus Dur dan Frans Seda, kiranya memulihkan rasa percaya diri, harga diri dan semangat juang para pendiri republik kepada elite yang sekarang dilanda virus (BCGC) Bank Century Gurita Cikeas yang amat ganas bagaikan virus "flu babi" bisa mematikan demokrasi RI ditangan "partai siluman ochlocracy". Para pendiri berseru agar elite melakukan rekonsiliasi, rekonstruksi dan restorasi agar RI bisa bertransformasi sebagai kekuatan setara troika baru Asia Chindonesia. Tidak ada waktu untuk terus menguras energi saling menjatuhkan lawan politik secara vulgar dengan pola Ken Arok satu sama lain. Indonesia harus bangkit.

Global Nexus Institute akan memfasiliasi elite governance dan corporate, yang merupakan ujung tombak dan kekuatan Indonesia Incorporated untuk bersiap diri. Menyongsong era CA FTA dengan assertiveness, rasa percaya diri, bersemangat competitiveness yang tinggi dengan membekali diri dengan informasi dan inspirasi profesional dari sumber yang relevan. The 2010 CEO Summit 26 Januari 2010 merupakan summit terbatas untuk CEO yang peduli dan terkait dengan bisnis kebangkitan Indonesia Inc.

Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional