Jumat, 30 Oktober 2009

Menggerakkan Sektor Riil



Iman Sugema (InterCAFE IPB)

Kabinet baru telah terbentuk, dan mayoritas di tim ekonomi adalah muka baru serta politisi. Mereka punya 100 hari untuk segera membuktikan bisa berbuat lebih baik dibanding tim sebelumnya. Persepsi pelaku pasar keuangan dan sejumlah komponen masyarakat yang sedikit meragukan kemampuan mereka, harus segera dijawab dengan kerja nyata. Pencitraan memang bisa sedikit menolong, tetapi rakyat lebih membutuhkan karya nyata.

Adalah penting bagi tim yang baru untuk mengambil arah kebijakan yang relatif berbeda dengan tim yang lama, agar bisa mengatasi berbagai persoalan secara lebih kreatif dan cepat. Ada beberapa kebijakan dasar yang memerlukan perubahan, yakni sebagai berikut.

Pertama, terlalu banyak kebijakan yang bersifat antidomestik. Dikatakan demikian, karena sejumlah kebijakan bersifat merugikan pelaku domestik, menguntungkan pihak asing, bahkan mematikan para pengusaha kecil. Mungkin hanya di Indonesia saja yang memiliki kebijakan yang secara sistematis pelaku domestik terkerdilkan, sementara pihak asing banyak diberi kemudahan. Ke depan, kita lebih menginginkan perlakuan yang lebih adil dan lebih berpihak pada pengusaha domestik. Contoh yang paling nyata adalah di sektor energi dan perdagangan.

Pabrik pupuk seringkali kesulitan mendapatkan gas alam dan terpaksa beberapa pabrik harus ditutup. PLN beberapa kali mengalami kesulitan mendapatkan gas dan batu bara. Di lain pihak, kita jor-joran melakukan ekspor gas dan batu bara. Bahkan, lapangan minyak blok Cepu yang tadinya 100 persen merupakan milik Pertamina, kini diserahkan pengelolanya kepada asing. Lebih parah lagi, eksploitasi blok tersebut sangat lamban dan sebagai akibatnya menjadi sulit bagi kita untuk meningkatkan produksi minyak. Alhasil, impor minyak terus membengkak dan setiap ada kenaikan harga minyak dunia, kita menjadi sangat repot dalam menyesuaikan APBN karena pembengkakan anggaran subsidi. Kita dibikin repot oleh kebijakan kita sendiri.

Liberalisasi perdagangan juga seringkali tidak memikirkan dampaknya bagi pengusaha sektor riil. Contohnya, liberalisasi ekspor rotan mentah yang mengakibatkan para pengrajin rotan di Cirebon gulung tikar karena kesulitan bahan baku. Pengrajin kuningan juga kesulitan bahan baku karena kuningan bekas diperbolehkan untuk diekspor. Padahal, pasokan logam kuningan sangat terbatas.

Celakanya, kebijakan-kebijakan tersebut lebih menguntungkan pengrajin di luar negeri dan pedagang serta eksportir. Pedagang dan eksportir notabene kebanyakan adalah saudara kita yang berketurunan Tionghoa. Susahnya lagi menterinya adalah keturunan Tionghoa. Pejabat daerah dan di Departemen Perdagangan menjadi kurang berani untuk memprotes kebijakan seperti ini, karena takut dituduh menjegal kebijakan dengan isu rasial. Kita memang tidak boleh mencampuradukkan isu rasial dengan kebijakan ekonomi yang sehat. Kita harus melihatnya secara objektif, apakah kebijakan liberalisasi menguntungkan rakyat atau tidak, dan menggerakkan sektor riil atau tidak.

Kedua, berbagai kebijakan di sektor finansial telah sampai pada tahap di mana sektor finansial justru menjadi penghambat sektor riil. Uang menjadi semakin menumpuk tanpa bisa dimanfaatkan oleh sektor riil karena hanya berputar-putar di sektor finansial. Teorinya, sektor finansial menambah kemampuan sektor riil untuk berkembang. Teori ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.

Karena Menteri Keuangan menerbitkan surat utang dengan tingkat imbal hasil atau yield sampai 13 persen, suku bunga kredit sulit sekali turun. Walaupun Bank Indonesia telah berkali-kali menurunkan BI rate, pengucuran kredit perbankan masih juga lambat. Kebijakan suku bunga rendah yang diupayakan BI menjadi mandul karena bertubrukan dengan kebijakan Menteri Keuangan.

Derasnya aliran dana asing telah mendongkrak harga saham dan akumulasi SBI yang dikuasai asing. Tumpukan SBI mencerminkan besarnya dana nganggur yang tidak bisa dimanfaatkan secara produktif. Peningkatan harga saham yang terlalu fantastik, dapat menarik dana-dana dari pelaku usaha sehingga investasi di sektor riil justru ditinggalkan. Uang hanya berputar dari satu instrumen finansial ke instrumen lainnya tanpa pernah bersinggungan dengan aktivitas produktif.

Ketiga, keterlambatan dalam penyediaan infrastruktur dapat mengakibatkan lemahnya daya saing. Lambannya pembangunan pembangkit dan jaringan listrik tidak hanya telah menghambat investasi swasta, tetapi juga telah merugikan masyarakat dan pengusaha. Listrik yang byar-pet menyebabkan aktivitas usaha di sejumlah daerah menjadi terhambat. Bahkan, daerah yang menjadi lumbung energi, seperti Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Riau masih belum menikmati kecukupan energi listrik. Kita tidak pernah melihat Singapura, Korea, dan Jepang yang gelap gulita karena pasokan energinya selalu kita cukupi. Ironis bukan?

Pembangunan dan perbaikan jaringan transportasi juga terkesan sangat lamban sehingga tidak mampu mengimbangi perkembangan aktivitas masyarakat. Jalan lintas di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi masih kurang memadai untuk memungkinkan pergerakan barang secara cepat dan murah. Pembangunan jalan tol dan kereta api di Jawa dan Sumatra tak kunjung terselesaikan. Perdagangan antarpulau juga menjadi mahal karena infrastruktur transportasi laut kurang berkembang. Lebih murah mengimpor jagung dari Amerika ketimbang mendatangkannya dari Gorontalo ke Surabaya.

Kalau seandainya tiga masalah tersebut bisa diselesaikan dalam satu tahun pertama, pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen di tahun-tahun berikutnya menjadi lebih mudah untuk dicapai. Tapi, itu hanya bisa terjadi kalau para menteri di tim ekonomi mampu mengubah haluan kebijakannya. Selamat mencoba.

Tidak ada komentar: