Sabtu, 31 Oktober 2009

TAJUK RENCANA

Sabtu, 31 Oktober 2009 | 04:31 WIB

Jiwa Kewirausahaan

Bukan sekali ini Presiden mengemukakan pentingnya jiwa kewirausahaan ikut mengurangi jumlah penganggur dan menurunkan ukan sekali ini Presiden mengemukakan pentingnya jiwa kewirausahaan ikut mengurangi jumlah penganggur dan menurunkantingkat kemiskinan.tingkat kemiskinan.

Akan tetapi, ketika pernyataan itu ditegaskan sebagai arahan awal kerja kabinet, maknanya lain. Dia menjadi simpul pengikat bagaimana proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan diselenggarakan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Kewirausahaan menjadi kata kunci mengatasi persoalan besar kita: pengangguran dan kemiskinan.

Ciputra termasuk satu dari beberapa orang yang gencar menjual ide kewirausahaan. Jiwa kewirausahaan bangsa Indonesia rendah sekali. Wirausaha bukan berarti pedagang, melainkan yang bernaluri dan yang punya perhitungan kreatif dan inovatif melakukan terobosan di segala bidang. Mengubah sesuatu dari yang tidak berguna menjadi berguna, sampah menjadi pupuk, dan memanfaatkan peluang untuk kemajuan.

Agar terlaksana, jiwa itu dikembangkan lewat tiga ranah. Pertama, lewat ranah kurikulum dan praksis pendidikan (belajar-mengajar) di sekolah. Kedua, lewat ranah pendidikan tinggi didirikan

pusat-pusat kewirausahaan. Ketiga, lewat ranah masyarakat dikembangkan gerakan nasional budaya dan pelatihan kewirausahaan.

Dunia kerja dan dunia pendidikan tidak ketemu. Praksis pendidikan di lembaga pendidikan tinggi kurang mengembangkan jiwa kewirausahaan. Padahal, kewirausahaan merupakan kunci kemajuan atau meminjam istilah Huntington dan Lawrence Harrison (Culture Matters: 2000), berbudaya progresif.

Praksis pendidikan dasar dan menengah terus diperbaiki. Presiden meminta Mendiknas Mohammad Nuh mengubah metodologi belajar-mengajar. Mendiknas berjanji mereformasi sistem pendidikan, khususnya metode belajar-mengajar. Semua masih ”akan”, dengan catatan perlu dijaga agar tidak mengulang trauma ”ganti menteri ganti kebijakan”.

Angka pengangguran per Februari 2008 sebesar 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah total penduduk, tidak secara langsung merupakan akibat praksis pendidikan yang kurang mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Mendorong jiwa kewirausahaan perlu diimplementasikan dalam target, inisiatif-inisiatif yang perlu dilakukan plus biaya yang diperlukan. Pembentukan pusat kewirausahaan dengan target 20 persen lulusan perguruan tinggi menjadi usahawan di tahun 2014, misalnya, tentu menyangkut bagaimana dilaksanakan dan berapa besar biayanya.

Kita akhiri keluhan rendahnya jiwa kewirausahaan. Kita implementasikan target jumlah ideal usahawan dua persen dari total jumlah penduduk Indonesia—saat ini baru 0,18 persen—yang dibutuhkan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, di antaranya mengurangi jumlah penganggur dan menurunkan tingkat kemiskinan.


***

Iran dan Kerja Sama Nuklir

Menarik kabar bahwa sekarang ini Iran sudah siap bekerja sama dalam bidang nuklir. Ini terdengar tidak biasa mengingat sikap Iran selama ini.

selama ini yang banyak terdengar adalah Iran matimatian membela program nuklirnya. Menurut berita dalam koran ini kemarin, menyusul pertemuan tiga hari antara perunding Iran dan perunding Barat di Vienna, yang juga menjadi pusat Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Iran kini siap membangun kerja sama di bidang bahan bakar nuklir, pembangkit listrik, dan teknologi.

Sebagai sikap, ini jelas satu kemajuan. Dengan itu, setidaknya selalu terbuka kanal komunikasi antara Iran dan negara-negara Barat, yang selama ini mencurigai bahwa program nuklir Iran ditujukan tidak saja untuk maksud damai, tapi juga untuk pembuatan senjata nuklir.

Manakala saluran komunikasi ada, tidak perlu lagi mestinya ancaman dan sanksi seperti yang selama ini banyak menjadi landasan kebijakan Barat. Masih segar dalam ingatan, salah satu pokok pembicaraan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Rusia beberapa pekan silam adalah mencari dukungan Rusia untuk menekan Iran lebih jauh, tetapi Rusia menolak permintaan tersebut.

Lebih buruk, cukup banyak pula diwacanakan kemungkinan serangan ke Iran, baik oleh AS sendiri maupun oleh Israel. Israel sangat risau dengan program nuklir Iran. Bukan saja karena supremasi nuklir di Timteng akan ditandingi, tetapi juga karena kepemilikan senjata nuklir oleh pihak lain di Timteng sangat membahayakan eksistensinya. Jadi, masuk akal kalau pilihan menyerang Iran sebelum bom nuklir menjadi kenyataan sebetulnya merupakan opsi yang punya bobot tinggi di Israel.

Akan tetapi, kita juga tahu, melancarkan serangan ke Iran akan menjadi hal yang berbeda dibandingkan dengan menyerang fasilitas nuklir Irak, yang dilakukan Israel pada Juni 1981. Pasti akan ada api yang berkobar hebat di Timur Tengah, mungkin juga akan melibatkan Rusia.

Dalam perspektif itu, terbukanya peluang kerja sama nuklir antara Iran dan IAEA, juga dengan negara Barat, memancarkan sinyal positif. Beberapa hari lalu IAEA juga mengumumkan, pihaknya tidak menemukan hal yang mencurigakan setelah memeriksa fasilitas nuklir Iran.

Pada sisi lain, disebutkan pula seperti dikemukakan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, pihaknya tetap punya hak nasional. Jelas itu pernyataan bak bermata dua: satu mengarah ke Barat, satu lagi mengarah ke oposisi yang mencurigai kerja sama dengan Barat akan menjadi konsesi yang memubazirkan jerih payah ribuan ilmuwan Iran.

Ke pihak Barat, pernyataan Ahmadinejad juga berarti bahwa Iran tetap punya ruang untuk mengembangkan program nuklir yang dinilai esensial bagi eksistensi dan kejayaan nasionalnya. Dengan kacamata itu, kita tidak akan naif membaca perkembangan terakhir ini.

Skandal Terbesar sejak Reformasi

Sabtu, 31 Oktober 2009 | 03:15 WIB

Jakarta, Kompas - Kasus Bank Century merupakan skandal terbesar sejak reformasi. Apabila kasus Bank Bali merugikan uang negara di bawah Rp 1 triliun, kasus Bank Century menyedot uang negara sampai Rp 6,7 triliun.

Calon presiden di Konvensi Dewan Integritas Bangsa, Yuddy Chrisnandi, mengingatkan hal itu saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Jumat (30/10). ”Ini jelas sebuah kejahatan pemerintah,” kata Yuddy.

Sebuah bank kecil, tetapi diberikan fasilitas mendapatkan dana penyehatan Rp 6,7 triliun, menurut Yuddy, jelas menunjukkan kejanggalan. Apalagi pemberian dana yang sangat besar itu pun dilakukan tanpa melalui sepengetahuan publik, yaitu melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.

Uang negara yang merupakan jerih payah seluruh rakyat tidak bisa serta-merta diserahkan pemerintah dengan cara seperti itu. Pemerintah berarti telah mengingkari adanya otoritas rakyat dan seolah-olah tidak ada rakyat.

Sejauh ini pemerintah tidak menunjukkan adanya itikad yang kuat untuk mengusut siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, bahkan cenderung menutup-nutupi.

”Ini sebuah skandal terbesar di era reformasi,” ujar Yuddy yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009.

Kumpulkan data

Sampai kemarin Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR terus mengumpulkan data-data untuk memperkuat usulan penggunaan hak angket atau penyelidikan.

”Bahan-bahan sudah begitu banyak. Data di Komisi XI juga sudah lengkap. Banyak juga faksimile yang sudah masuk. Kami juga sudah bertemu dengan ahli perbankan, ahli ekonomi, hukum, dan lainnya. Minggu depan kami juga akan menerima para nasabah Century yang meminta bertemu,” papar Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo.

Dengan terkumpulnya banyak data tersebut, Tjahjo berkeyakinan sebelum masa sidang DPR berakhir, yaitu 5 Desember 2009, usulan hak angket sudah dapat disampaikan ke pimpinan DPR.

Disebabkan syarat pengajuan angket adalah diusulkan 25 anggota DPR yang berasal lebih dari satu fraksi, Tjahjo berharap fraksi lain turut mendukung. Dia berkeyakinan fraksi lain akan mendukung karena rakyat menghendaki kasus ini diusut tuntas.

”Semua anggota DPR itu, kan, dari fraksi mana pun, pasti punya rakyat yang diwakilinya di daerah pemilihan masing-masing,” paparnya.

Penggunaan hak angket juga bukan berarti mencari-cari siapa yang salah, tetapi justru untuk mengusut persoalan ini dengan jelas, tidak mengambang.

Rapat gabungan Century

Rapat internal Komisi III DPR, pekan lalu, mengusulkan diadakan rapat gabungan dengan Komisi XI untuk membahas persoalan kasus Century. Namun, dalam Rapat Badan Musyawarah, Kamis, hal itu belum diagendakan.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, yang terus mendorong agar kasus Century diselidiki secara tuntas pun merasa heran karena itu. ”Ini aneh karena Komisi III sudah mengusulkan,” ucapnya. (sut)

Jumat, 30 Oktober 2009

Menggerakkan Sektor Riil



Iman Sugema (InterCAFE IPB)

Kabinet baru telah terbentuk, dan mayoritas di tim ekonomi adalah muka baru serta politisi. Mereka punya 100 hari untuk segera membuktikan bisa berbuat lebih baik dibanding tim sebelumnya. Persepsi pelaku pasar keuangan dan sejumlah komponen masyarakat yang sedikit meragukan kemampuan mereka, harus segera dijawab dengan kerja nyata. Pencitraan memang bisa sedikit menolong, tetapi rakyat lebih membutuhkan karya nyata.

Adalah penting bagi tim yang baru untuk mengambil arah kebijakan yang relatif berbeda dengan tim yang lama, agar bisa mengatasi berbagai persoalan secara lebih kreatif dan cepat. Ada beberapa kebijakan dasar yang memerlukan perubahan, yakni sebagai berikut.

Pertama, terlalu banyak kebijakan yang bersifat antidomestik. Dikatakan demikian, karena sejumlah kebijakan bersifat merugikan pelaku domestik, menguntungkan pihak asing, bahkan mematikan para pengusaha kecil. Mungkin hanya di Indonesia saja yang memiliki kebijakan yang secara sistematis pelaku domestik terkerdilkan, sementara pihak asing banyak diberi kemudahan. Ke depan, kita lebih menginginkan perlakuan yang lebih adil dan lebih berpihak pada pengusaha domestik. Contoh yang paling nyata adalah di sektor energi dan perdagangan.

Pabrik pupuk seringkali kesulitan mendapatkan gas alam dan terpaksa beberapa pabrik harus ditutup. PLN beberapa kali mengalami kesulitan mendapatkan gas dan batu bara. Di lain pihak, kita jor-joran melakukan ekspor gas dan batu bara. Bahkan, lapangan minyak blok Cepu yang tadinya 100 persen merupakan milik Pertamina, kini diserahkan pengelolanya kepada asing. Lebih parah lagi, eksploitasi blok tersebut sangat lamban dan sebagai akibatnya menjadi sulit bagi kita untuk meningkatkan produksi minyak. Alhasil, impor minyak terus membengkak dan setiap ada kenaikan harga minyak dunia, kita menjadi sangat repot dalam menyesuaikan APBN karena pembengkakan anggaran subsidi. Kita dibikin repot oleh kebijakan kita sendiri.

Liberalisasi perdagangan juga seringkali tidak memikirkan dampaknya bagi pengusaha sektor riil. Contohnya, liberalisasi ekspor rotan mentah yang mengakibatkan para pengrajin rotan di Cirebon gulung tikar karena kesulitan bahan baku. Pengrajin kuningan juga kesulitan bahan baku karena kuningan bekas diperbolehkan untuk diekspor. Padahal, pasokan logam kuningan sangat terbatas.

Celakanya, kebijakan-kebijakan tersebut lebih menguntungkan pengrajin di luar negeri dan pedagang serta eksportir. Pedagang dan eksportir notabene kebanyakan adalah saudara kita yang berketurunan Tionghoa. Susahnya lagi menterinya adalah keturunan Tionghoa. Pejabat daerah dan di Departemen Perdagangan menjadi kurang berani untuk memprotes kebijakan seperti ini, karena takut dituduh menjegal kebijakan dengan isu rasial. Kita memang tidak boleh mencampuradukkan isu rasial dengan kebijakan ekonomi yang sehat. Kita harus melihatnya secara objektif, apakah kebijakan liberalisasi menguntungkan rakyat atau tidak, dan menggerakkan sektor riil atau tidak.

Kedua, berbagai kebijakan di sektor finansial telah sampai pada tahap di mana sektor finansial justru menjadi penghambat sektor riil. Uang menjadi semakin menumpuk tanpa bisa dimanfaatkan oleh sektor riil karena hanya berputar-putar di sektor finansial. Teorinya, sektor finansial menambah kemampuan sektor riil untuk berkembang. Teori ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.

Karena Menteri Keuangan menerbitkan surat utang dengan tingkat imbal hasil atau yield sampai 13 persen, suku bunga kredit sulit sekali turun. Walaupun Bank Indonesia telah berkali-kali menurunkan BI rate, pengucuran kredit perbankan masih juga lambat. Kebijakan suku bunga rendah yang diupayakan BI menjadi mandul karena bertubrukan dengan kebijakan Menteri Keuangan.

Derasnya aliran dana asing telah mendongkrak harga saham dan akumulasi SBI yang dikuasai asing. Tumpukan SBI mencerminkan besarnya dana nganggur yang tidak bisa dimanfaatkan secara produktif. Peningkatan harga saham yang terlalu fantastik, dapat menarik dana-dana dari pelaku usaha sehingga investasi di sektor riil justru ditinggalkan. Uang hanya berputar dari satu instrumen finansial ke instrumen lainnya tanpa pernah bersinggungan dengan aktivitas produktif.

Ketiga, keterlambatan dalam penyediaan infrastruktur dapat mengakibatkan lemahnya daya saing. Lambannya pembangunan pembangkit dan jaringan listrik tidak hanya telah menghambat investasi swasta, tetapi juga telah merugikan masyarakat dan pengusaha. Listrik yang byar-pet menyebabkan aktivitas usaha di sejumlah daerah menjadi terhambat. Bahkan, daerah yang menjadi lumbung energi, seperti Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Riau masih belum menikmati kecukupan energi listrik. Kita tidak pernah melihat Singapura, Korea, dan Jepang yang gelap gulita karena pasokan energinya selalu kita cukupi. Ironis bukan?

Pembangunan dan perbaikan jaringan transportasi juga terkesan sangat lamban sehingga tidak mampu mengimbangi perkembangan aktivitas masyarakat. Jalan lintas di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi masih kurang memadai untuk memungkinkan pergerakan barang secara cepat dan murah. Pembangunan jalan tol dan kereta api di Jawa dan Sumatra tak kunjung terselesaikan. Perdagangan antarpulau juga menjadi mahal karena infrastruktur transportasi laut kurang berkembang. Lebih murah mengimpor jagung dari Amerika ketimbang mendatangkannya dari Gorontalo ke Surabaya.

Kalau seandainya tiga masalah tersebut bisa diselesaikan dalam satu tahun pertama, pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen di tahun-tahun berikutnya menjadi lebih mudah untuk dicapai. Tapi, itu hanya bisa terjadi kalau para menteri di tim ekonomi mampu mengubah haluan kebijakannya. Selamat mencoba.

Kamis, 29 Oktober 2009

Minggu, 04 Oktober 2009

Bencana dan Quran


Oleh Moch Syarif Hidayatullah

(Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta)

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan Islam ihwal bencana alam. Pandangan itu diambil dari Alquran dan hadis sebagai rujukan utama idiom, istilah, konsep, dan tema pokok dalam Islam.Ini terkait dengan sembilan kata yang diketahui berisi pandangan Islam soal bencana: zhulumat, al-kubar, al-karb, su', nailan, 'adzab, sayyi'ah, da'irah, dan mushIbah. Ada enam bencana alam yang disinggung Alquran, seperti banjir, gempa, angin topan, hujan batu, kemarau, dan kelaparan. Dari keenam bencana alam itu, diskusi mengenai bencana apakah sebagai ujian atau siksa, diketahui lebih banyak sebagai siksa. Meski demikian, bencana tidak bisa dicegah, hanya bisa diantisipasi saja. Cara orang melalui bencana juga ada beraneka, yang berbanding lurus dengan misteri bencana, yang kemudian dianggap sebagai hikmah. Ada delapan hikmah yang bisa didapat saat bencana. Semua data yang berkaitan dengan bencana diunduh untuk menghasilkan pandangan Islam secara utuh.

Kata kunci : bencana alam, Islam, ujian, siksa

PENDAHULUAN

Yang disebut bencana alam itu--sesuai definisi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 131)--adalah sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan yang disebabkan oleh alam. Biasanya bencana ini menyangkut segala kejadian yang menimpa dalam skala yang besar dan efek yang luar biasa. Ada banyak bencana alam yang mengitari kehidupan ini, seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan. Selain bencana alam, ada bencana lain yang juga bisa berakibat fatal, yaitu bencana akibat ulah tangan manusia, seperti pengeboman, peperangan, kecelakaan beruntun, kecelakaan pesawat, dan kebakaran.Tulisan ini disajikan ketika bencana dalam skala besar datang silih berganti seperti hela nafas. Tsunami, gempa bumi, banjir, lumpur Porong, dan kekeringan, susul-menyusul menghabiskan air mata kita sebagai bangsa. Ini tidak memasukkan bencana ekonomi, politik, budaya, keamanan, pertahanan, dan moral, yang tak akan pernah bisa dibincangkan dalam tulisan sederhana ini. Indonesia benar-benar tak berdaya di tengah keterpurukan di berbagai bidang. Kejatuhan yang bertubi-tubi melanda bumi pertiwi persis seperti pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga�. Lalu, apa sebetulnya yang terjadi dengan bencana yang tak juga menampakkan tanda-tanda akan berhenti? Ada apa dengan negeri ini? Adakah bencana itu ada kaitannya dengan ulah sebagian kita yang mengabaikan merawat dan menjaga anugerah Ilahi, sehingga yang semula anugerah berubah menjadi nestapa? Atau, bencana itu menjadi penanda negeri ini akan diangkat derajatnya? Pandangan Islam yang tercermin dalam Alquran dan sabda Nabi Muhammad (hadis) terkait dengan banyaknya bencana, akan disajikan di tulisan ini, yang diharapkan sebisa mungkin melengkapi beberapa tinjauan Islam sebelumnya terkait dengan masalah ini yang terlihat belum utuh dan sistematis.

METODOLOGI

Dalam tulisan ini, ragam bahasa tulis yang dipergunakan sebagai data dengan pertimbangan bahwa ragam tulis lebih mantap dan terencana. Bahasa Arab tulis yang dipergunakan sebagai data tulisan ini adalah bahasa Arab baku (fusha), terutama yang diperoleh dari Alquran dan hadis. Pemilihan Alquran dan hadis sebagai sumber data didasarkan pada pandangan bahwa ragam bahasa tulis Alquran dan hadis adalah ragam bahasa baku yang dipahami oleh semua penutur Arab dan kegramatikalannya pun tidak diragukan (Holes 1995). Alasan lain dipilihnya Alquran dan hadis adalah karena keduanya menjadi sumber utama semua idiom, istilah, dan tema pokok Islam. Data yang menjadi objek tulisan saya adalah semua kata yang berkaitan dengan bencana alam yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Untuk melihat masing-masing kata dalam konstruksi kalimat, tulisan ini memanfaatkan sumber data utama dari Al Quran Digital Versi 2.0 (CD-ROM).2004. Pengumpulan data dilakukan dengan menginventariskan data yang diambil dari sumber data di atas dengan teknik sadap dan catat (Mahsun 2000: 66-67). Ayat dan hadis yang memuat data dikumpulkan untuk memudahkan pengamatan terhadap konteks masing-masing kata di atas. Data yang dikumpulkan berperan sebagai percontoh untuk menemukan kaidah yang pada akhirnya diharapkan juga menjangkau data yang pada saat diteliti tidak ditemukan.Tulisan ini merupakan studi kasus yang bersifat kualitatif (Merriam 1988: 16 dalam Nunan 1992: 77). Dengan kata lain, tulisan ini akan mengamati, mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan pandangan Islam, terutama dalam Alquran (dalam beberapa kasus melibatkan hadis), terkait dengan bencana alam. Secara umum, metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kajian lapangan. Namun, tulisan ini juga memanfaatkan kajian pustaka, yaitu pada saat menjelaskan makna kata dalam konstruksi kalimat. Dengan pertimbangan untuk menghasilkan konteks makna yang akurat berdasarkan intuisi penutur asli bahasa Arab, tulisan ini memanfaatkan pendapat para ahli tafsir Alquran, seperti Al-Qurthubi (1997) dan Ibn Katsir (1997). Tulisan ini juga memanfaatkan terjemahan Alquran yang dipergunakan untuk memperbandingkan makna kata yang diteliti dengan buku tafsir di atas. Terjemahan Alquran yang dipergunakan berasal dari Tim Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI. Langkah pemerolehan data kata pada konstruksi kalimat, secara kronologis dapat dirinci sebagai berikut: (1) menemukan kata yang termasuk dalam kategori musibah dan bencana alam, melalui fasilitas mesin pencari yang tersedia pada CD-ROM; (2) mengamati makna yang terdapat pada kata itu berdasarkan konteks dan koteksnya; (3) mengklasifikan data yang sudah teridentifikasi berdasarkan ciri semantis untuk memperoleh klasifikasi jenis bencana alam.Untuk analisis pada saat kata itu berada dalam konstruksi kalimat, tulisan ini memanfaatkan teori Cruse (1986) dan (2000). Cruse (2000: 105) menyebut sebuah kata bisa saja tidak hanya mempunyai satu makna. Kasus seperti itu bisa saja terjadi bila sebuah kata merujuk pada acuan yang berbeda sesuai dengan konteks pemakaian kata itu.Interpretasi yang diberikan pada kata tertentu akan sangat beragam dari satu konteks ke konteks yang lain. Sebagai contoh kalimat (a) They moored the boat to the bank dan (b) He is the manager of a local bank. Berdasarkan konteksnya, kata bank pada kalimat (a) harus bermakna ‘sloping side of river’ dan pada kalimat (b) harus bermakna ‘financial institution’. Cruse (1986: 8) menyebut dua sumber utama pada data primer dalam kasus seperti itu: (1) keluaran yang produktif dari seorang penutur asli suatu bahasa baik yang tertulis maupun yang terucap; (2) keputusan makna intuitif yang dikemukakan oleh penutur asli pada materi bahasa dalam satu jenis atau yang lain. Jadi, secara intuitif penutur asli pada umumnya bisa membedakan perbedaan makna yang terjadi pada kata itu.

HASIL DAN DISKUSI

Kata Bencana dalam AlquranDalam bahasa Arab, segala hal yang tidak disukai yang menimpa seseorang disebut mushIbah (lih. Al-Ayid, 2003: 754). Kata ini diserap dalama bahasa Indonesia menjadi musibah yang mempunyai dua makna: pertama, ‘kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa’; kedua, ‘malapetaka’ (lih. Alwi dkk., 2002: 766). Alquran juga menggunakan kata ini di antaranya untuk memaknai apa yang kita kenal sebagai bencana. Ini paling tidak terlihat dalam bentuk verba perfektif pada QS 3: 146 (ashaba); dalam bentuk verba imperfektif pada QS 13: 31 (y[t]ushIbu); dan dalam bentuk nomina pada QS 9: 50 (mushIbah).

Selain kata ini, Alquran--sesuai terjemahan yang dilakukan oleh tim ahli Departemen Agama (Al Quran Digital 2.0, CD-ROM 2004)—menggunakan kata lain yang berkonsep bencana. Sedikitnya ada delapan kata yang kemudian dipadankan dengan bencana.Pertama, kata zhulumat (bentuk plural dari zhulmah), seperti terdapat pada QS 6: 23. Kedua, kata al-kubar, seperti terdapat pada QS 74: 35. Ketiga, kata al-karb, seperti terdapat pada QS 37: 115, 37: 76, 21: 76, 6: 64. Keempat, kata su', seperti terdapat pada QS 33: 17. Kelima, kata nailan, seperti terdapat pada QS 9: 120. Keenam, kata 'adzab, seperti terdapat pada QS 9: 26. Ketujuh, kata sayyi'ah (bentuk tunggal), seperti terdapat pada QS 3: 120, 4: 78—79; kata sayyi'at (bentuk jamak), seperti terdapat pada QS 7: 168. Kedelapan, kata da'irah, seperti terdapat pada QS 5: 52.

Namun demikian, kata mushIbah-lah yang paling banyak dipergunakan sebagai pengganti konsep bencana dalam bahasa Indonesia. Kata ini sendiri sedikitnya terdapat pada 50 ayat di Alquran. Kelima puluh ayat itu dikelompokkan oleh al-Zuhayli (2002: 762) menjadi 16 tema. Keenam belas tema itu masing-masing: (1) ketika musibah datang, seperti pada QS 2: 214, 38: 25; (2) meramalkan musibah, seperti pada QS 7: 131; (3) musibah itu takdir dari Allah, seperti pada QS 3: 166, 4: 78, 9: 51, 57: 22, 64: 11; (4) Allah saja yang bisa menyirnakan musibah, seperti pada QS 6: 17, 10: 12, 10: 107, 16: 53—54, 3: 33; (5) sabar dalam menghadapi musibah, seperti pada QS 2: 155—156, 3: 165, 3: 172, 22: 35, 31: 17; (6) siksa berupa musibah, seperti pada QS 3: 165, 4: 62, 7: 100, 16: 34, 24: 63, 28: 47, 30: 36, 39: 51, 42: 30, 42: 48; (7) musibah mengenai siapa saja, seperti pada QS 8: 25; (8) putus asa saat musibah datang, seperti pada QS 17: 83, 30: 36; (9) kufur ketika musibah datang, seperti pada QS 22: 11, 42: 48; (10) kepanikan menghadapi musibah, seperti pada QS 7: 95; 22: 11; 14: 49; 41: 51; 70: 19—20; (11) musibah yang menjadi siksa, seperti pada QS 7: 156; 9: 52; 11: 81; 13: 31; (12) musibah di jalan Allah, seperti pada QS 3: 146; (13) musibah akibat kelalaian manusia, seperti pada QS 3: 165; 4: 106; (14) musibah berupa kematian, seperti pada QS 5: 106; (15) musibah yang disukai musuh, seperti pada QS 3: 120; 4: 72; 9: 50; (16) musibah akibat kezaliman, seperti pada QS 3: 117.

Hanya saja kata mushIbah berikut derivasi dan infleksinya yang terdapat di Alquran itu tidak selalu mengacu pada konsep bencana alam yang menjadi bahasan tulisan ini. Kata mushIbah dalam Alquran itu mengacu pada definisi kata ini dalam bahasa Arab. Konsepnya lebih luas daripada kata bencana alam, karena musibah apa pun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja bisa disebut mushIbah, yang tentu saja dalam bahasa Indonesia tidak bisa disebut bencana alam.

Ujian atau Siksa? Pertanyaan ini selalu saja menarik peneliti yang mengkaji tema bencana alam dalam tinjauan agama apa pun. Dalam Islam pun, pertanyaan ini juga banyak muncul. Kesan ini pun tercermin dalam beberapa ayat Alquran. Sejauh pengamatan saya, Alquran mengelompokkan bencana menjadi dua kelompok ini.

Kelompok bencana yang menjadi ujian terdapat setidaknya pada ayat berikut: "Mengapa ketika ditimpa bencana (pada Perang Uhud), padahal kalian telah mengalahkan dua kali lipat musuh-musuhmu (pada Perang Badar), kalian berkata, 'Darimana datangnya (bencana berupa kekalahan) ini?' Katakanlah, 'Itu (berasal) dari (kesalahan) dirimu sendiri.' Allah Mahakuasa atas segala sesuatu," (QS Ali Imran [3]: 165). Kelompok bencana yang menjadi siksa yang diakibatkan perilaku zalim terdapat pada ayat berikut: "Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, seperti angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menyapu tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri," (QS Ali Imran [3]: 117). Bencana akibat perilaku maksiat terdapat pada ayat berikut: "Ketika mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami (Allah) menyelamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat maksiat," (QS Al-A'raf [7]: 165). Bencana yang menjadi siksa terdapat pada ayat berikut: "Orang yang tidak beriman senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga janji Allah itu terbukti. Allah tidak menyalahi janji," (QS Al-Ra'd [13]: 31).

Pada ayat-ayat di atas parameternya sangat jelas, mana bencana yang menjadi ujian dan mana bencana yang menjadi siksa. Bila bencana itu diakibatkan karena kesalahan yang tidak disengaja, maka bencana itu menjadi ujian bagi pelakunya, untuk kemudian mengukur seberapa besar kadar keimanannya. Sebaliknya, bila bencana itu diakibatkan oleh perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman yang disengaja, maka bencana itu menjadi siksa.

Namun, bila yang dimaksudkan bencana alam, maka Alquran selalu mengelompokkannya ke dalam bencana yang menjadi siksa dan berkait dengan perilaku tidak beriman. Ada lima bencana alam yang disinggung dalam Alquran: gempa, banjir, angin topan, petir, hujan batu, dan paceklik. Terkait dengan gempa, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:

No. Ayat

(1)

"Katakanlah, 'Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan siksa kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu," (QS Al-An'am [6]: 65).

(2)

"Karena itu mereka ditimpa gempa, lalu mereka menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka," (QS. Al-A'raf [7]: 78).

(3)

"Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan tobat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Lalu, ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata, 'Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya,"(QS Al-A'raf [7]: 155).

(4)

"Mereka tidak mengimani Syuaib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka,"(QS Al-Ankabut [29]: 37).

Data (1) memang tidak secara eksplisit menyebut gempa, tetapi yang dimaksud siksa yang dari bawah kakimu adalah gempa bumi. Ayat ini berkaitan dengan orang yang tidak beriman atas Alquran sebagai kitab suci. Data (2) juga berkaitan dengan sekelompok orang yang tidak mengimani kenabian Shaleh. Sementara itu, data (3) terkait dengan perbuatan sekelompok orang yang membuat patung anak lembu untuk dijadikan sesembahan selain Allah. Data (4) dengan tegas menyebut sekelopok orang yang tidak mengimani kenabian Syuaib.Keempat data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa gempa bumi itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan banjir, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:

(5)

"Tetapi mereka berpaling, Kami pun datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr," (QS Saba' [34]: 16).

(6)

"Lalu Kami wahyukan kepadanya, 'Buatlah bahtera di bawah pantauan dan petunjuk Kami. Lalu, apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan," (QS Al-Mukminun [23]: 27).

(7)

"Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun, lalu mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim," (QS Al-Ankabut [29]: 14).

Menurut Al-Qurthubi (1997), data (5) terkait dengan kaum Saba' yang mengingkari nikmat Tuhan. Banjir itu sebagai akibat atas ketidakberiman mereka pada Zat yang memberi nikmat. Banjir besar itu sendiridisebabkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib. Tanur yang disebutkan pada data (6) adalah semacam alat pemasak roti yang diletakkan di dalam tanah terbuat dari tanah liat. Biasanya, tidak ada air di dalamnya. Terpancarnya air di dalam tanur itu menjadi tanda bahwa banjir besar akan melanda negeri itu. Informasi pada data (6) itu dilengkapi oleh data (7) bahwa banjir itu diakibatkan perilaku tidak beriman kaum Nuh terhadap kenabian Nuh (Noah).Ketiga data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa banjir itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan angin topan, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:

(8)

"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Kepunyaan Allahlah tentara langit dan bumi. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,"(QS Al-Fath [48]: 4).

(9)

"Tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.' (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera, (yaitu) angin (topan) yang mengandung azab yang pedih,"(QS Al-Ahqaf [46]: 24).

(10)

"Kami meniupkan angin (topan) yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksa yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal, siksa akhirat lebih menghinakan, sementara mereka tidak diberi pertolongan,"(QS Fushshilat [41]: 16).

(11)

"Atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu Dia meniupkan atas kamu angin topan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu.Kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun dalam hal ini terhadap (siksaan) Kami," (QS Al-Isra [17]: 69).

(12)

"Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan,"(QS Al-Ahzab [33]: 9).

(13)

"Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus," (QS [54]: 19).

(14)

"Apakah kamu merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindungpun bagi kamu,"(QS Al-Isra [17]: 68).

(15)

"Kaum 'Ad telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang," (QS Al-Haqqah [69]: 6).

(16)

"Angin itu tidak membiarkan satu pun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk," (QS Al-Dzariyat [51]: 42).

(17)

"Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus. Kamu lihat kaum 'Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk),"(QS Al-Haqqah [69]: 7).

(18)

"Pada (kisah) 'Ad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan," (QS Al-Dzariyat [51]: 41).

(19)

"Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing,"(QS Al-Qamar [54]: 34).

Data (8) memang tidak disebutkan soal angin topan. Namun, menurut Ibn Katsir (1997), tentara langit dan bumi yang ada di ayat itu ialah penolong yang dijadikan Allah untuk orang-orang mukmin seperti malaikat-malaikat, binatang-binatang, angin topan, dan sebagainya. Dengan kata lain, tentara langit dan bumi akan memukul orang yang tidak beriman. Data (9) terkait dengan kaum 'Ad yang tidak beriman atas kenabian Hud. Data (10) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (11) terkait dengan orang yang tidak beriman atas kenikmatan yang diterima. Data (12) terkait dengan sekelompok orang menentang Allah dan Rasul-Nya. Data (13) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (14) terkait dengan orang yang tidak beriman atas kenikmatan yang diterima. Data (15) juga terkait dengan kaum 'Ad.Data (16) pun terkait dengan kaum 'Ad. Data (17) juga terkait dengan kaum 'Ad. Data (18) pun terkait dengan kaum 'Ad. Data (19) terkait dengan kaum Luth yang tidak mengimani ajakan Luth untuk hidup normal dalam kecenderungan seksual. Ketiga ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa banjir itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman. Data di atas sangat jelas menunjukkan bahwa angin topan itu berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku tidak beriman.Terkait dengan hujan batu, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:

(20)

"Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), lalu amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu,"(QS Al-Naml [27]: 58).

(21)

"Mereka (kaum musyrik Mekah) telah melalui sebuah negeri (Sadum) yang (dulu) dihujani dengan hujan terburuk ( hujan batu). Apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu?"(QS Al-Furqan [25]: 40).

(22)

"Kami hujani mereka dengan hujan (batu). Amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu," (QS Al-Syuara [26]: 173).

"Kami turunkan kepada mereka hujan (batu). Perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu," (QS Al-A'raf [7]: 84).

(23)

"Masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri,"(QS Al-Ankabut [29]: 40).

Semua data yang menginformasi siksa berupa hujan batu di atas berkaitan dengan kaum Luth yang tidak mengimani kenabian Luth serta tidak mengindahkan anjuran Luth untuk hidup normal secara seksual. Terkait dengan petir, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:

(24)

"Jika mereka berpaling, maka katakanlah, 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud,'"(QS Al-Syura [41]: 13).

(25)

"Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, 'Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Mereka disambar petir karena kezalimannya. Mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami aafkan (mereka) dari yang demikian. Kami telah berikan kepada Musa keterangan yang nyata," (QS Al-Nisa [4]: 153).

(26)

"(Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan)[377], disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, juga karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, karena membunuh para nabi tanpa (alasan) yang benar, dan karena mengatakan, 'Hati kami tertutup.' Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka,"(QS Al-Nisa [4]: 155).

(27)

"Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini). Mudah-mudahan Dia mengirimkan keputusan (berupa petir) dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin,"(QS Al-Kahf [18]: 40).

(28)

"Kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk. Karenanya mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan,(QS Fushshilat [41]: 17).

(29)

"Mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka disambar petir dan mereka melihatnya," (QS Al-Dzariyat [51]: 44).

(30)

"Kaum Tsamud telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa," (QS Al-Haqqah [69]: 5).

Data (24) menyinggung petir yang telah menyambar kaum 'Ad dan Tsamud. Data (25) menyinggung ihwal orang Yahudi pada zaman Nabi Musa juga tersambar petir karena ingin melihat Allah sebagai buah dari ketidakimanan mereka. Data (26) memang tidak menyebut secara langsung ihwal petir, tetapi pada frasa beberapa tindakan, menurut Al-Qurthubi (1997), salah satu yang dimaksudkan orang Yahudi disambar petir. Data (27) menginformasikan ihwal perilaku sseorang yang syirik sehingga kebunnya disambar petir. Data (28) menyinggung siksa yang diterima kaum Tsamud. Demikian pula dengan data (29). Data (30) pun berkaitan dengan siksa yang diterima kaum Tsamud, meskipun tidak disebutkan kata petir di ayat itu. Hanya yang dimaksud dengan kejadian luar biasa itu, menurut Ibn Katsir (1997), ialah petir yang amat keras yang menyebabkan suara mengguntur yang dapat menghancurkan. Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa bencana alam yang berhubungan dengan petir berkaitan langsung dengan perilaku tidak beriman dan syirik yang berbuah siksa.

Terkait dengan kemarau, paceklik, dan kelaparan, Alquran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:

(31)

"Andaikata mereka Kami belas kasihani, dan Kami lenyapkan kemudaratan yang mereka alami, mereka benar-benar akan terus menerus terombang-ambing dalam keterlaluan mereka,"(QS Al-Mukminun [23]: 75).

(32)

"Kami telah menghukum (Firaun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran," (QS Al-A'raf [7]: 130).

(33)

"Untuk orang-orang yang zalim ada azab selain daripada itu, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui," (QS Al-Thur [52]: 47).

(34)

"Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat,"(QS Al-Nahl [16]: 112).

(35)

"Tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata," (QS Al-Dukhan [44]: 10).

Data (31) terkait dengan kaum musyrikin yang mengalami kelaparan, karena tidak ada bahan makanan yang datang dari Yaman ke Mekah. Padahal, saat ittu Mekah dan sekitarnya dalam keadaan paceklik. Data (32) sangat gamblang menginformasikan hukuman yang diterima Firaun beserta pendukungnya yang tidak mengimani Allah. Data (33) memang tidak secara eksplisit menginformasikan kemarau, tetapi yang dimaksud azab yang lain ialah musim kemarau, kelaparan malapetaka yang menimpa mereka, azab kubur, dan lain-lain. Data (34) terkait dengan penduduk suatu negeri yang mengingkari keneikmatan Tuhan lalu mendapat bencana kelaparan dan ketakutan. Data (35) juga tidak secara gamblang menginformasikan kelaparan, tetapi yang dimaksud kabut yang nyata, menurut Ibn Katsir (1997), ialah bencana kelaparan yang menimpa kaum Quraisy karena mereka menentang Nabi Muhammad Saw.

Data yang terhimpun pada bagian ini membantah pandangan yang menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi murni akibat gejala alam semata. Dari data yang ada, bencana alam selalu berkaitan erat dengan perilaku tidak beriman yang berbuah siksa. Gejala alam memang ada, tetapi itu bukan satu-satunya. Ada kesalahan yang kita buat baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, sehingga Tuhan melalui alam sebagai makhluk-Nya menunjukkan kekuatan-Nya.

Mengantisipasi BencanaDalam Islam, semua yang sudah ditentukan Tuhan pasti akan terlaksana. Rela atau tidak, ketentuan Tuhan tetap berlaku. Allah Swt. berfirman, “Ketika Allah dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain,� (QS Ali Imran [3]: 36). Bila mengikuti logika ayat ini, bencana alam yang memang sudah menjadi keputusan dan skenario Allah, maka siapa pun tidak punya pilihan lain untuk menghindarinya. Lalu, apakah tidak ada celah untuk bisa menghindarinya? Sebetulnya masih ada celah, meski itu hanya meminimalisasi kemungkinan bencana menjadi lebih banyak dampaknya. Caranya dengan mengantisipasi segala kemungkinan sehingga bisa lebih siap dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Meskipun ini tidak bisa menjadi jaminan sepenuhnya, karena setiap bencana punya rahasia dan misterinya tersendiri.

Mengenai mengantisipasi musibah, kisah perahu Nabi Nuh menjadi pelajaran tersendiri. Nabi Nuh memang sudah diperintahkan Allah untuk menyiapkan perahu untuk keselamatannya dan keselamatan orang-orang yang berada di barisannya. Allah memerintahkan membuat perahu itu karena akan ada banjir bandang luar biasa di negeri yang ditinggalinya. “Buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami Jangan bicarakan di hadapan-ku tentang orang-orang yang zalim itu. Mereka itu akan ditenggelamkan,� (QS Hud [11]: 37). Perahu ini adalah bagian dari antisipasi untuk menghindari musibah. Ketika banjir bandang benar-benar terjadi, Nabi Nuh bersama kaumnya yang taat selamat.

Kisah Nabi Nuh ini memberikan pelajaran amat berharga. Upaya antisipasi harus tetap dilakukan, meski upaya itu tidak boleh membuat takabur akan kemampuan yang dimiliki. Ketakaburan akan antisipasi ini pernah ditunjukkan oleh Qan'an, putra Nuh, yang tidak mau mengikuti ajakan Nuh untuk naik ke atas kapal. "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" (QS Hud [11]: 43). Padahal, Nuh sudah melarang. "Nuh berkata, 'Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang,'" (QS Hud [11]: 43). Karena tidak mendengar perintah sang ayah, Qan'an termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. Ini juga memberi pelajaran agar kita mau mendengar orang-orang yang diberikan kemampuan lebih oleh Allah yang memang diyakini kejujuran dan reputasinya. Orang-orang itu bisa berangkat dari kalangan ilmuwan atau bisa juga dari kalangan awam yang memiliki kearifan lokal. Masalah gempa misalnya, seseorang yang berada di daerah rawan gempa mesti mendengar apa nasihat para ahli tentang rumah tahan gempa. Masalah tsunami, seseorabf juga harus mendengar dan mengamalkan nasihat para cerdik pandai untuk membuat bangunan yang bisa menyelamatkannya dari bencana dahsyat bila kita berada di wilayah yang rawan tsunami dan siklus tsunami sudah dekat waktunya. Selain para ilmuwan, patut juga mendengar orang-orang yang memiliki kearifan lokal, yang memang dianugerahi Allah kemampuan membaca penanda situasi dan kemampuan mengakrabi alam. Belakangan negeri ini punya Mbah Maridjan, yang dengan gagah berani menyatakan Gunung Merapi aman. Bangsa ini pun tidak pernah kehabisan orang-orang seperti Mbah Maridjan ini. Dulu ada Ronggowarsito dan tentu saja para wali songo.

Nabi Muhammad semenjak 15 abad lalu sudah menitipkan prinsip penting dalam masalah antisipasi ini. Ketika ada sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lantaran ia bertawakal sepenuhnya pada Allah, Nabi langsung menegur orang itu, “Ikat dulu, baru tawakal,� (HR Al-Tirmidzi). Dari sabda Nabi Muhammad ini pula Islam mengajarkan bahwa manusia tidak bisa mengandalkan usaha, tanpa disertai tawakal. Manusia hanyalah hamba yang dikendalikan skenario Tuhan. Manusia juga tidak boleh hanya mengandalkan tawakal, tanpa disertai usaha, karena Tuhan juga tidak menurunkan hujan emas begitu saja. Lalu, optimalisasi peran usaha dan tawakal hanya bisa mantap apabila diiringi doa. Dengan berdoa, siapa saja menjadi lebih tenang menerima ketentuan Allah, positif atau negatif dalam pandangannya. Doa sekaligus menunjukkan ketidakmampuannya mencapai apa yang diinginkannya dalam berusaha dan bertawakal.

Kerelaan akan ketentuan yang sudah digariskan-Nya juga membuat seseorang mampu menerimanya dengan ikhlas. Terkait dengan ini, Nabi Muhammad pernah mewanti-wanti, "Siapa saja yang rela (akan ketentuan Allah), maka dia akan memperoleh kerelaan Allah. Sebaliknya, siapa saja yang marah (pada ketentuan Allah), maka dia akan mendapat murka Allah," (HR Al-Thabrani). Keyakinan bahwa Dia berlaku adil dan tidak ceroboh dalam menentukan takdir-Nya seperti ini, hanya bisa diperoleh bila seseorang berprasangka baik terhadap-Nya. Dalam salah satu hadis qudsi, Allah Swt. berfirman, “Aku ini bergantung dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku,� (HR Al-Bukhari). Itu berarti bila seseorang berprasangka positif pada Allah, maka positif juga takdir yang akan didapatkan. Namun, bila negatif prasangka negatif, maka takdir yang akan ditetapkan-Nysa juga akan negatif. Sikap berprasangka positif ini ditandai dengan mau bersabar melalui bencana dan rela menerima takdir sembari terus berusaha. Sikap seperti ini pasti akan menghantarkannya pada jalan keluar. Allah berfirman, “Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu. Kamu berada dalam penglihatan-Ku,� (QS Al-Thur [52]: 48). Melalui Bencana dan Sikap PascabencanaSemua orang pasti tidak mengharapkan mendapat bencana, meskipun mereka tahu bencana itu penting dalam proses kemanusiaan, keberagaamaan, dan penghambaan. Namun sesuai sunatullah, tidak jarang sesuatu yang tidak diinginkan justru menjadi sesuatu yang banyak manfaatnya di kemudian hari. Sebaliknya, sesuatu yang menyenangkan justru banyak mendatangkan madarat di belakang hari. Bukankah banyak penyakit yang disebabkan oleh sesuatu yang sangat disukai, seperti daging, yang manis-manis, es, dan lain sebagainya? Sebaliknya, bukankah sebagian besar obat justru rasanya tidak sangat disukai? Inilah sunatullah yang sudah diabadikannya dalam ayat kauniyah di atas dan ayat qauliyah berikut: “Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu sangat baik buat kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu sangat tidak baik buat kalian,� (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Terkait dengan bencana ini, banyak cara orang dalam menyikapinya. Masyah (2007) menyebut beberapa variasi orang dalam menyikapi musibah, seperti reaktif, emosional, arif, kontemplatif, korektif, antisipatif, administratif, informatif, introspektif, inovatif, responsif, produktif, kontraproduktif, traumatis, histeris, koruptif, pasif, aktif, solider, altruistif, bahkan proaktif, atau hanya sekadar rekreatif. Semua sikap ini, menurutnya, berhubungan erat dengan kualitas orang yang bersangkutan.Saat bencana datang di menit-menit pertama, biasanya memang belum disadari dampak yang akan timbul setelahnya. Beberapa saat setelah bencana itu menimpa, barulah terpikirkan banyak hal yang mungkin terjadi di kemudian hari. Saat itulah biasanya seseorang mulai bersedih, menangis, dan berkeluh kesah. Pertanyaannya, apa salah seseorang menangis dan bersedih setelah mendapat bencana dalam pandangan Islam? Jawabnya, tidak, karena kedua hal itu manusiawi. Nabi Muhammad saja saat ditinggal putranya yang bernama Ibrahim pergi menghadap Sang Khalik, beliau juga bersedih dan bahkan menangis. Saat ditinggal istrinya yang pertama, Khadijah, dan pamannya yang selalu membela perjuangannya, Abu Thalib, Nabi Muhammad juga sangat terpukul. Beliau begitu bersedih hingga tahun itu dinamakan dengan ‘am al-huzn (tahun kesedihan).

Ketika ada seorang sahabat yang bertanya setelah melihat Nabi menangis atas kematian Ibrahim, putranya, “Apa Anda menangis? Bukankah Anda melarang kita menangis di saat seperti ini?� Apa jawab Nabi? “Aku hanya dilarang berteriak-teriak histeris. Mata ini tak kuasa menahan tetes air mata. Hati pun tak sanggup menahan sedih. Tapi, aku hanya mengatakan apa yang diridai Allah.�

Jawaban Nabi ini sekaligus memberi kunci menyikapi bencana. Karena, memang ternyata banyak yang salah sangka seolah-olah dilarang menangis dan bersedih saat mendapat bencana. Padahal, anggapan seperti itu tidak benar adanya. Memang, ada hadis Nabi yang menyatakan—kalau benar ini hadis—mayat akan disiksa lantaran teriakan histeris keluarganya. Hadis ini yang sering dijadikan alasan orang menyalahkan orang lain yang menangisi dan bersedih saat mendapat bencana seperti kematian. Namun, bila teliti melihat redaksi hadis itu, yang dilarang bukan menangis dan bersedih, tapi berteriak histeris. Tangapan Nabi atas pertanyaan sahabat di atas juga semakin meyakinkan kita semua bahwa menangis dan bersedih bukan suatu yang salah. Mengapa berteriak histeris dilarang? Berteriak histeris itu simbol keputusasaan, seolah-olah semuanya sudah berakhir. Dengan bersikap seperti itu, seolah-olah tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Biasanya ini dilakukan oleh orang yang mengidap sindrom Firaun. Ini juga biasa dilakukan orang-orang yang biasa mendramatisasi persoalan. Berteriak histeris juga merupakan reaksi berlebihan atas bencana yang menimpa. Ini juga melanggar asas proporsionalitas.

Seorang muslim harus menyadari bahwa dirinya milik Allah. Ia bahkan tidak mempunyai kekuatan sedikit pun menolak bencana yang menghampiri, meski itu sekecil titik sariawan yang menghiasi bagian mulutnya. Dengan kata lain, ia sesungguhnya tidak memiliki apa pun, bahkan atas apa yang melekat, apalagi hanya sekadar menempel di tubuhnyaa. Semua yang ada pada dirinya hanya semata-mata titipan ilahi, yang memang dipergunakan-Nya untuk menguji sejauh mana ia memanfaatkannya untuk kepentingan yang memang disukai-Nya. Karena sifatnya merupakan titipan, ia pasti tak sanggup menolak ketika Pemiliknya meminta kembali. Dan, yang mesti ddisadari dari awal bahwa semua ini pasti akan diminta-Nya kembali, bahkan nyawa yang mengalirkan nafas kehidupan ini juga tak akan sanggup ditolak ketika Dia memintanya.

Nah, apakah ketika satu demi satu atau semua yang sudah diberikan-Nya itu diambil, seseorang tidak punya harapan lagi? Tentu saja tidak. Ini sudah menjadi sunatullah (hukum alam) bahwa ketika ada yang datang pasti ada yang pergi. Bila ada yang hilang pasti akan ada ganti. Kesadaran akan sunatullah yang paling mendasar ini sebetulnya akan banyak membantu proses pemulihan pascabencana. Asalkan ini dipahami dengan arif dan sanggup dijalani proses demi proses yang harus dilalui sebagai bagian dari ketentuan Allah, tentu apa pun yang dialami, bahkan seberat apa pun, akan menjadi mudah saja, atau setidaknya tidak terlalu didramatisasi seolah dunia sudah berakhir.

Optimisme seperti ini yang tersembul dalam doa yang biasa dipanjatkan orang-orang saleh setelah mendapat bencana: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahumma ajirni fi mushibati wa akhlifni khairan minhaâ€� (kita semua milik Allah dan kita pasti akan kembali pada-Nya. Ya Allah, selamatkan aku dalam menghadapi musibah ini dan berikan aku ganti yang lebih baik daripada sesuatu yang sudah pergi).

Doa ini memberikan penyadaran luar biasa bahwa yang memiliki semua ini, termasuk hidup ini dan seluruh perangkat pendukungnya, adalah Allah. Sesuai dengan mekanisme dan manajemen ilahi semenjak zaman azali, semua yang menjadi milik-Nya pasti akan kembali pada-Nya, satu demi satu atau sekaligus, perlahan atau langsung mendadak. Seseorang hanya bisa berharap diberi keselamatan dalam menghadapi musibah itu, baik keselamatan ragawi maupun keselamatan rohani, baik kesalamatan imani maupun kesalamatan materi. Harapan ini pun juga dibarengi dengan optimisme bahwa Allah akan mengirimkan ganti yang lebih baik daripada milik-Nya yang sudah diambil-Nya sebelum bencana.

Kunci lain yang bisa mempercepat pemulihan pascamusibah dan pascamasalah ialah menata diri untuk tetap berada di jalan-Nya. Dengan kata lain, seseorang harus tetap konsisten menjalankan apa yang menjadi kewajiban dan menjauhi apa yang bukan menjadi hak sebagai orang yang beragama. Inilah yang dalam bahasa agama biasa disebut takwa. Kata ini memang terlalu populer, tetapi implementasinya tidak mengakar dalam kehidupan keseharian. Padahal, ini sesungguhnya yang mampu menjamin kesempurnaan keberagamaan seseorang. Tidak hanya itu, sikap ini juga mampu mengantarkan seseorang pada kesempurnaan kemanusiaan. Sikap ini pun sangat bermanfaat untuk mengembalikan dan memulihkan sisi kemanusiaan yang terkoyak pada saat mengalami bencana. Dengan memiliki sikap ini, kehambaan dan penghambaan tidak labil. Kalaupun berfluktuasi, bukan fluktuasi yang mengantarkannya pada sisi negatif. Ia stabil meski digoncang apa pun.

Allah telah menjamin akan memberikan jalan keluar atas semua kesulitan hidup bila seseorang memiliki sikap ini. Dia juga berjanji akan selalu memberi rezeki dari pintu yang tak terduga pada orang yang memiliki sikap ini. Apalagi bila mau menambahkan sikap ini dengan kepasrahan yang disertai usaha dan doa, maka yakinlah Dia pula yang akan mencukupi apa pun yang kita butuhkan. “Siapa saja yang bertakwa pada Allah, maka Allah akan memberinya jalan keluar dan membukakan pintu rezeki dari tempat yang tak terduga. Siapa yang pasrah kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupi kebutuhannya,� (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3). “Siapa saja yang bertakwa pada Allah, niscaya Allah memudahkan segala urusannya,� (QS Ath-Thalaq [65]: 4). Dan, yang terpenting, jaminan dan janji Allah tidak pernah diingkari-Nya. Biasanya hanya soal waktu saja.

"Setiap ada kesulitan pasti ada kelapangan," (QS Al-Insyirah [94]: 5). Setiap habis hujan deras pasti mentari bersinar lebih indah. Setiap kemacetan separah apa pun, pasti setelahnya ada kelengangan yang menjadi penghibur bagi pengendara yang melaluinya. Seperti sudah disinggung sebelumnya, manusia memang tidak bisa menolak bencana. Ia hanya bisa meminimalisasinya. Itu pun jika Allah berkehendak. Karena, semua yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Nah, ketika kehendak-Nya itu sudah terlaksana, yakinilah bahwa semua sudah diukurnya. Dia juga pasti adil memperlakukan ketentuan-Nya. Kehendak-Nya pun pasti diiringi kehendak-Nya yang lain, yang meskipun mulanya terlihat menyusahkan, tetapi pada akhirnya akan menyenangkan. Dia tidak akan memberikan bencana melebihi kadar yang sanggup ditanggung. “Allah pasti melaksanakan semua yang dikehendaki-Nya. Allah juga telah menentukan kadar segala sesuatu,� (QS Ath-Thalaq [65]: 2-3-). Hikmah di Balik BencanaKesadaran seperti itu juga harus dibarengi dengan optomisme bahwa Allah yang memberi bencana itu telah menyiapkan hikmah di balik b

Kesempatan Emas



Oleh Azyumardi Azra

Jarang-jarang Indonesia mendapat tempat dalam laporan khusus secara ekstensif dan positif dari media internasional. Memang, seperti dikutip pada paragraf awal laporan khusus majalah The Economist (12-18 September 2009), tentang Indonesia sepanjang 18 halaman, negara-negara tertentu baru bisa menjadi headlines jika ada 'berita jelek' tentang negara-negara tersebut. Dan, Indonesia menjadi berita internasional karena berita-berita jelek tersebut, khususnya dalam 10 tahun terakhir; sejak dari kekerasan antaretnis dan agama, krisis ekonomi sejak akhir 1997 yang memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kekuasaan pada Mei 1998, ancaman disintegrasi Indonesia, pengeboman Bali 2002 dan serangan-serangan bom 'bunuh' lainnya, tsunami Aceh akhir 2004, dan seterusnya.

Namun, sesungguhnya Indonesia tidak sejelek pemberitaan semacam itu. Indonesia yang disebut The Economist pernah berada pada tubir 'kiamat' 10 tahun silam, kini memiliki golden chance (kesempatan emas) untuk menjadi jauh lebih baik. Kesempatan emas itu tentu saja kembali berada di tangan Presiden SBY yang bakal dilantik kembali untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2009. Memang laporan khusus The Economist ini memberikan banyak kredit kepada Presiden SBY yang dalam masa pemerintahan pertamanya berhasil menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Kesempatan emas. Ada empat alasan besar The Economist untuk optimis terhadap masa depan Indonesia lebih baik. Walaupun, hemat saya, alasan-alasan tersebut dapat dipersoalkan. Pertama, menurut The Economist, dalam beberapa tahun ke depan, kombinasi pertumbuhan usia muda dengan menurunnya angka kelahiran, Indonesia bakal mengalami peningkatan rasio penduduk usia kerja. Bahkan, tahun depan lebih dari separuh penduduk Indonesia akan berada di wilayah urban, yang berarti meningkatnya konsumsi--sumber pokok pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Alasan pertama ini, hemat saya, questionable. Alasannya sederhana. Ledakan penduduk usia kerja sampai sekarang belum bisa diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja baru. Karena itu, ledakan usia kerja berarti meningkatnya pengangguran penduduk usia produktif, yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial dan politik. Karena itu, kalau alasan ini dapat diterima, tidak ada alternatif lain kecuali peningkatan lapangan kerja secara besar-besaran. Dan, ini berarti harus ada investasi besar-besaran pula, baik dengan modal dalam negeri sendiri maupun luar negeri. Dan kita tahu, belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bagi investasi besar-besaran tersebut.

Alasan kedua The Economist untuk optimis adalah pengendalian fiskal dalam beberapa tahun terakhir sehingga pemerintah memiliki dana memadai untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas publik yang telantar. Lagi-lagi alasan ini dapat pula dipertanyakan banyak orang. Hingga sekarang ini, pemerintah masih menghadapi berbagai masalah dalam pengembangan infrastruktur. Ketersediaan dana yang memadai tetap menjadi hambatan. Selain itu, tidak mudah merealisasikan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, misalnya, yang menghadapi kesulitan besar dalam pembebasan lahan karena inflasi harga oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, target-target untuk pembangunan jalan raya jauh daripada tercapai sampai sekarang. Karena itu, agar pembangunan infrastruktur yang sangat vital bagi peningkatan investasi dapat terlaksana dengan baik, pemerintah perlu melakukan terobosan-terobosan kebijakan drastis.

Alasan ketiga menurut The Economist adalah terpilihnya SBY kembali sebagai presiden memberikan mandat lebih besar baginya untuk melaksanakan berbagai penataan kembali (reforms) yang dibutuhkan Indonesia. Walaupun terpilihnya dia kembali dalam catatan The Economist terkait banyak dengan reputasinya sebagai pejuang dalam pemberantasan korupsi dan juga karena kebijakannya membagi-bagikan uang kontan [BLT] kepada orang-orang miskin. Hemat saya, alasan ketiga ini juga problematis. Memang Presiden SBY kini memiliki mandat dan bahkan kekuatan politik sangat besar, bukan hanya sebagai eksekutif, tetapi juga di lembaga legislatif; tetapi terdapat peningkatan pesimisme kalangan publik terhadap pemberantasan korupsi, misalnya, karena kini sedang terjadi 'penyunatan' otoritas KPK melalui berbagai cara.

Alasan keempat untuk optimis adalah bakal berlanjutnya stabilitas politik. Tetapi, The Economist juga mencatat masih terdapatnya banyak kelemahan dalam sistem elektoral dan kesenjangan-kesenjangan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif yang bersumber dari Konstitusi [UUD 1945 dengan segala amandemennya]. Bahkan dalam pandangan majalah ini, demokratisasi di Indonesia terlihat kacau, dan karena itu memerlukan pembenahan-pembenahan seperlunya.

Memang terdapat cukup alasan bagi berlanjutnya stabilitas politik Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dan, Presiden SBY sendiri kelihatan berusaha memastikan hal tersebut dengan berupaya membangun koalisi yang 'sempurna' dan 'menyeluruh', baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif. Yang terakhir ini, misalnya, dengan menyertakan berbagai kekuatan politik termasuk yang pernah berseberangan dengan dia ke dalam kabinet. Dengan begitu, keriuhan politik yang dapat mengancam stabilitas politik dapat diminimalisasi.

Optimisme The Economist yang dalam hal-hal tertentu questionable itu, bagaimanapun boleh jadi merupakan pelipur lara bagi Indonesia. Optimisme penting bagi bangsa ini. Bahwa optimisme itu mengandung masalah-masalah tertentu, perlulah antisipasi menyelesaikannya, supaya optimisme itu tidak ilusif; dan kesempatan emas itu lepas dari genggaman.