Jumat, 31 Juli 2009

Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Pasar Modern

Sekitar dua dekade lampau jumlah supermarket atau hypermarket maupun mini market di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari. Di Bandung saja seingat saya keberadaan pasar modern waktu itu masih sangat jarang. Kalau pun ada paling satu dua, itupun hanya di pusat kota. Coba Anda bandingkan dengan sekarang. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan, tak jauh dari pemukiman kita pasti ada minimarket. Jumlahnya juga mungkin lebih dari satu. Jika akan berbelanja dalam skala besar, sebagian orang kini lebih cenderung mendatangi hypermarket ataupun pusat grosir. Selain tempatnya lebih nyaman, harganya bersaing, jenis barangnya pun sangat beragam.

pasar1.jpg

“Tawar menawar penjual dan pembeli di los ikan pasar tradisional (indrakh)”

Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional. Berbagai alasan mungkin akan dilontarkan orang jika ditanya:” Mengapa tidak memilih pasar tradisional?.” Dari mulai kondisi pasar yang becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Padahal pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Diantaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok.

Bagaimanapun juga pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak.

Sudah banyak kios di pasar tradisional yang harus tutup karena sulit bersaing dengan pasar modern. Data dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) pada tahun 2005 seperti dikutip website Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional harus tutup usaha setiap tahunnya. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah seiring kehadiran pasar modern yang kian marak. Kondisi semacam ini tentu sungguh memprihatinkan. Semoga saja pengalaman kota Bangkok, Thailand yang awalnya memiliki puluhan pasar tradisional, namun kini hanya tersisa dua pasar karena terdesak oleh kehadiran puluhan hypermarket tidak terjadi di Indonesia.

pasar2.jpg

“Salah satu sudut pasar Bambu Kuning, Lampung (indrakh)”

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaaan pasar modern. Sudah menjadi sifat konsumen dimana akan lebih senang memilih tempat yang lebih nyaman, barang lebih lengkap dan harga lebih murah, di mana hal tersebut bisa diakomodasi pasar modern.

***

Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Harus ada aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.

Hal lain yang mungkin perlu dilakukan adalah merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.

Semoga saja pasar tradisional masih bisa bertahan di tengah kepungan pasar modern. Apakah di antara Anda masih ada yang menyempatkan berbelanja ke pasar tradisional dalam setiap pekan atau bulannya?

Jumat, 24 Juli 2009

INDUSTTRI Penjualan Sepeda Motor Mencapai 5,3 Juta Unit


Jumat, 24 Juli 2009 | 03:51 WIB

Jakarta, Kompas - Penjualan sepeda motor yang tahun lalu bisa mencapai sekitar 6,2 juta unit, diperkirakan tahun 2009 hanya akan mencapai 5,3 juta unit. Hingga semester pertama tahun 2009, angka penjualan baru mencapai 2,54 juta unit. Dibandingkan periode yang sama tahun 2008, penjualan selama semester pertama bisa mencapai 3,05 juta unit.

Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata di sela-sela Indonesia International Motor Show (IIMS) ke-17 di Jakarta, Kamis (23/7), mengatakan, ”Secara keseluruhan, penjualan sampai akhir tahun 2009 sudah diproyeksi mengalami penurunan. Bahkan, AISI semula memproyeksikan penjualan hanya mencapai 4,6 juta unit. Kalau akhirnya bisa mencapai 5,3 juta unit, itu berarti merupakan sinyal positif bagi perekonomian Indonesia.”

IIMS digelar pada 24 Juli-2 Agustus 2009 di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran. Rencananya, pameran berskala internasional ini akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Jumat ini.

Pameran akan diikuti oleh 21 merek mobil dan sekitar enam merek sepeda motor. Pameran juga akan didukung 120 perusahaan industri pendukung otomotif.

Gunadi menjelaskan, penurunan penjualan sepeda motor dipastikan terjadi akibat krisis finansial global. Dari aspek keuangan domestik, perbankan sangat berhati-hati dalam mengucurkan kredit. Akibatnya, konsumen yang ingin mengakses kredit harus sungguh mempertimbangkan dalam membeli sepeda motor karena tingginya beban bunga kredit. Padahal, sebagian besar pembelian sepeda motor dan mobil di Indonesia dilakukan dengan kredit.

Menurut Gunadi, kebijakan Bank Indonesia yang menurunkan suku bunga acuan BI (BI Rate) menjadi 6,75 persen merupakan sinyal positif. Kondisi ini memungkinkan beban bunga kredit yang ditanggung konsumen tentunya akan semakin menurun di level 12-13 persen.

Senior General Manajer Divisi Penjualan PT Astra Honda Motor (AHM) Sigit Komala sewaktu meluncurkan tiga model terbaru skuter matik mengatakan, tahun 2009 Honda mendorong penjualan sepeda motor dengan memperkenalkan Honda Vario dan Beat yang sudah di-refresh berbagai komponen dan penampilannya, serta Honda Vario Techno.

Berdasarkan data AISI, pada semester pertama tahun 2008 penjualan jenis sepeda motor ini memberikan kontribusi sebanyak 728.171 unit, sedangkan periode yang sama tahun 2009 naik menjadi 929.413 unit.

”Kami ingin menjawab kebutuhan konsumen. Tren sepeda motor matik semakin diminati karena konsumen merasa mudah mengendarai, cocok bagi segala usia, modelnya semakin menarik, nyaman dan kini menjadi trend setter,” kata Sigit.

Perekonomian Pascabom


Rabu, 22 Juli 2009 | 04:50 WIB

A Tony Prasetiantono

Agak di luar dugaan, ternyata sejauh ini belum terdeteksi dampak negatif signifikan sebagai respons bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, terhadap perekonomian Indonesia.

Berdasar pengalaman, dampak terhadap perekonomian Indonesia bisa dipilah dua bagian. Pertama, jangka pendek menyangkut respons sektor finansial (pasar uang dan modal). Kedua, jangka panjang terkait respons di sektor riil (pariwisata dan investasi).

Dalam jangka pendek, yang paling ditakuti adalah dampak seketika, yaitu respons yang muncul secara serta-merta, yang biasanya terjadi di pasar uang dan pasar modal. Kedua pasar ini paling sensitif terhadap aneka kejadian sporadis dan mendadak. Reaksi amat standar bila terjadi teror bom adalah kurs rupiah dan harga saham merosot. Namun, ternyata rupiah dan harga saham baik-baik saja. Memang sempat gamang, tetapi segera kembali terbentuk kepercayaan pasar (market confidence).

Selasa (21/7) lalu, rupiah bahkan menunjukkan gejala anomali, menguat hingga pernah menyentuh Rp 10.025. Sementara indeks harga saham gabungan (IHSG) terus bertengger tinggi, ditutup di level 2.146, berarti masih jauh di atas batas psikologis. Pertanyaannya, mengapa timbul respons semacam ini? Apakah pasar uang dan modal ”tidak takut” teror bom?

”High expectations”

Sebelum bom meledak (17/7/2009), sebenarnya pasar sedang bersiap-siap ”merayakan” kemenangan demokrasi pemilu presiden (pilpres). Perkiraan saya sejak awal—menyusul sukses pilpres—rupiah berpotensi mengalami rally hingga di bawah Rp 10.000, bahkan masih ada ruang hingga Rp 9.500 per dollar AS.

Ternyata, hal ini tidak mudah diwujudkan karena usai pilpres timbul perdebatan terkait dugaan kecurangan, DPT, dan lainnya. Pasar terpaksa mengalami jeda dan harus menunggu bagaimana akhir pertikaian. Jika proses bertele-tele dan kontraproduktif, bisa jadi mood pasar hilang, rupiah tidak jadi menguat.

Meski di sana-sini masih diliputi ganjalan, sebagian pasar tampaknya berkesimpulan, secara umum pilpres sukses dan Indonesia boleh mencatatkan diri sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dunia. Respons seperti ini tergambar jelas di pasar dan terekspresikan dengan cover story majalah Newsweek (edisi 20 Juli 2009), yang menampilkan foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan judul Can He Change Indonesia?

Berbagai artikel di majalah itu mendeskripsikan kisah sukses perekonomian Indonesia justru pada saat krisis ekonomi global menerpa. Menurut mereka, hal itu terutama disokong reformasi ekonomi yang levelnya mereka sebut moderat, memperkuat perdagangan internasional, menyambut baik kehadiran investor asing, dan di atas semua itu, adalah fokus untuk menciptakan stabilitas sektor finansial.

Selanjutnya, meski memuji Indonesia memiliki potensi besar karena dukungan jumlah tenaga kerja yang banyak dan murah, serta melimpahnya sumber daya alam, mereka juga mencatat, Indonesia belum menunjukkan kinerja sehebat potensinya. Mengapa? Jawabannya sederhana: jika pemerintah menangkap dan memenjarakan satu juta koruptor, di luar penjara masih ada dua juta lainnya yang juga terlibat korupsi.

Dengan kata lain, Newsweek berpendapat, agenda lima tahun ke depan bagi Presiden Yudhoyono masih amat berat. Meski demikian, sukses Pemilu 2009 akan menjadi fondasi bagi Indonesia meningkatkan kinerja ekonominya. Pasar tampaknya menangkap isu ini dengan baik. Ekspektasi mereka tinggi (high expectations) terhadap perekonomian Indonesia.

Barangkali faktor inilah yang paling bisa menjelaskan, mengapa dampak bom Mega Kuningan dapat dinetralisasi. Adanya jeda libur panjang yang terjadi sesudah bom meledak juga amat membantu pasar untuk tidak terlalu panik. Para pelaku pasar memiliki cukup waktu untuk mendinginkan suasana, merenung, berpikir jernih dan rasional sebelum merespons kejadian itu. Itu sebabnya otoritas bursa New York sempat meliburkan pasar sepekan agar cooling down pada peristiwa 9/11.

Faktor lain adalah fakta tidak ada negara emerging markets lain yang bebas dari persoalan pelik. Perekonomian Indonesia yang mampu tumbuh 4,4 persen (triwulan I-2009), dan sekitar 4,0 persen (triwulan II), faktanya bukan satu-satunya negara yang mempunyai problem dan beban politik. Dua negara yang pertumbuhannya lebih tinggi adalah China dan India. Namun, keduanya memiliki problem konflik etnis dan ancaman pemisahan wilayah, yang sering berujung kekerasan.

Di kawasan Asia Tenggara, para kompetitor kita, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, juga bernasib sama. Thailand belum aman dari konflik politik, Malaysia meski tampak stabil memendam masalah, apalagi Filipina. Jadi, jika dihitung-hitung, akhirnya investor asing tetap saja mau kembali masuk ke Indonesia.

Meski demikian, kita tidak boleh lengah. Investasi asing memang masuk Indonesia, tetapi harus ”disubsidi” pengorbanan suku bunga tinggi. Mereka mau membeli surat berharga Indonesia karena menjanjikan imbal hasil (yield) lebih tinggi. Padahal, dengan bunga obligasi tinggi menyebabkan industri perbankan kita kesulitan menurunkan suku bunga kendati BI Rate sudah gencar diturunkan.

Suku bunga ”terperangkap”

Masalah suku bunga yang ”terperangkap” bakal kian runyam saat Pemerintah AS mengumumkan defisit anggarannya yang fantastis, 1 triliun dollar AS. Selanjutnya, Pemerintah AS memiliki dua opsi, yang bisa jadi keduanya dilakukan. Pertama, menerbitkan obligasi pemerintah, baik jangka pendek (T-bills) maupun jangka panjang (T-bonds). Implikasinya, karena jumlahnya besar, hal ini akan menyebabkan yield yang ditawarkan naik. Hal ini akan memberi konsekuensi kenaikan suku bunga di seluruh dunia. Bagi Indonesia, jelas akan membawa kesulitan menurunkan suku bunga sebagaimana sudah lama dikeluhkan dunia usaha.

Tanda-tanda suku bunga global akan naik lagi mulai tampak saat Bank Sentral AS (The Fed) dalam Laporan Tengah Tahun 2009 mengisyaratkan untuk mengakhiri periode likuiditas longgar, dengan kemungkinan segera menaikkan suku bunga Fed Rate yang kini hanya 0,25 persen.

Kedua, ada kemungkinan Pemerintah AS terpaksa mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan belanja dan stimulus fiskal. Meski saya skeptis opsi ini bakal dipilih, dalam situasi terpaksa, apa yang tak mungkin terjadi? Namun, dampaknya bisa buruk, inflasi membubung, kurs dollar AS jatuh. Ini bisa memicu resesi global berikut. Diyakini Pemerintah AS akan berhati-hati soal opsi ini.

Sikap optimis harus dipegang kendati bom telah merampas ketenangan kita. Jika orang asing masih percaya dan mengalirkan dana ke Indonesia, apalagi kita orang Indonesia.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

Bank Indonesia Masa Depan


Rabu, 22 Juli 2009 | 04:49 WIB

Insukindro

Saat ini, Bank Indonesia sedang dalam masa transisi penting. Selain transisi kepemimpinan dengan cara mencari sosok Gubernur BI yang tepat, juga sedang dalam transisi organisasional menuju pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 2010. Kedua ”pekerjaan rumah” ini cukup pelik dan sensitif. Bagaimana sosok BI di masa depan?

Menurut UU No 3/2004, BI adalah otoritas moneter, otoritas sistem pembayaran, dan otoritas sistem perbankan. Bahkan bisa dikatakan BI tidak saja sebagai lembaga negara yang independen, tetapi juga monopolis dalam perekonomian berdasarkan UU.

Misalnya dalam penerbitan, pencetakan, dan peredaran uang rupiah (Pasal 20), BI merupakan monopolis. Secara ekonomika, efek negatif ”kekuasaan” yang terlalu besar ini adalah dalam penentuan harga pecahan mata uang rupiah (seperti pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, dan Rp 5.000), tanpa masyarakat mengetahui berapa biaya marjinal untuk memproduksi pecahan-pecahan itu. Apakah BI bisa ”untung” atau ”rugi” dalam mencetak pecahan tertentu rupiah?

Uang kartal berupa rupiah adalah kewajiban atau pasiva moneter BI kepada masyarakat. Jika kita memegang atau memiliki uang rupiah BI sebesar Rp 200.000, berarti BI mempunyai kewajiban atau utang moneter kepada kita sebesar Rp 200.000 tanpa bunga, karena kita telah mendapat kemudahan dalam bertransaksi. Dengan demikian, jika BI melaporkan bahwa jumlah uang kartal pada April 2009 sebesar Rp 190,33 triliun, berarti BI mempunyai kewajiban moneter atau utang kepada masyarakat sebesar Rp 190,33 triliun.

Sayang, telah terjadi informasi yang tidak simetrik (asymmetric information) antara BI dan masyarakat, karena yang dilaporkan secara terbuka hanya kewajiban moneternya. Yakni, bagaimana dengan biaya dan perolehan yang didapat BI dengan peredaran uang kartal itu.

Kelak, jumlah uang rupiah RI yang dicetak atau diedarkan perlu dikaitkan dengan APBN. Sebagai pemilik otoritas mencetak uang, pemerintah mengetahui tidak saja biayanya, tetapi juga perolehannya, yang dalam ekonomika dikenal sebagai seignorage, yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan negara.

Mengingat seignorage ini merupakan bagian dari APBN, maka masyarakat melalui DPR dapat mengetahui jumlah dan manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu, penerbitan uang RI oleh pemerintah juga dimaksudkan agar yang mempunyai kewajiban moneter kepada masyarakat adalah negara, melalui pemerintah dan persetujuan DPR. Bukan lagi oleh BI sebagai lembaga negara independen.

Jika uang rupiah RI kelak diterbitkan dan dicetak pemerintah, BI bisa bertugas mengedarkan dan menjaga stabilitasnya sebagai otoritas sistem pembayaran dan otoritas moneter.

Apa itu LPJK dan OJK?

Sementara itu, dalam hal pengawasan sistem perbankan, apakah tidak lebih efektif jika dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen?

Di seluruh dunia, otoritas moneter sangat lumrah dimiliki oleh bank sentral, meski di beberapa negara tidak menyebutnya sebagai bank sentral, tetapi disebut sebagai otoritas moneter.

Dalam kasus Indonesia, BI telah diberi kekuasaan sebagai otoritas moneter yang independen, meski ada keterbatasan. Misalnya dalam hal penetapan target inflasi, kini dilakukan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI. Ini bagus karena pemerintah ikut mengawasi dan menilai kinerja BI dalam pencapaian sasaran tersebut. Jika kelak BI berperan sebagai bank sentral, otoritas semacam ini masih layak diberikan kepadanya.

Berdasarkan UU No 3/2004, tugas mengawasi bank akan dilakukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK), bukan oleh OJK.

Perdebatan mengenai isu ini (LPJK versus OJK) sebenarnya sudah dimulai sejak 6-7 tahun silam, tetapi mentah dan hanya menjadi catatan dalam Pasal 34 Ayat 2 yang mengatakan bahwa pembentukan LPJK akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Bagaimanakah jika yang disiapkan pemerintah bukan LPJK tetapi OJK? Tidakkah ini menyimpang karena OJK tidak dikenal dalam UU No 3/2004? Apakah perbedaan ini hanya sekadar nama atau juga mencakup tugas dan kewenangan berbeda?

Jika hanya sekadar nama, mungkin tidak terlalu masalah bagi BI karena mereka ”hanya” akan kehilangan kekuasaan sebagai otoritas pengawas sektor jasa keuangan. Namun, mereka tetap sebagai pengatur sistem perbankan.

Tampaknya OJK akan mempunyai ”kekuasaan” tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga mengatur sektor jasa keuangan. Jika demikian, salah satu otoritas yang dimiliki BI akan hilang dan menjadi milik OJK.

Di satu sisi, munculnya OJK diharapkan akan dapat mengatur dan mengawasi sistem perbankan dengan lebih efektif karena OJK akan lebih berkonsentrasi hanya pada tugas ekonomika mikro perbankan, sedangkan BI lebih pada tugas ekonomika makro, melalui otoritas moneter dan sistem pembayaran.

Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pemisahan otoritas moneter dan otoritas sistem perbankan dapat mengganggu atau mengurangi efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Sebenarnya kekhawatiran ini dapat diminimalkan jika BI masih berperan sebagai otoritas moneter dan otoritas sistem pembayaran.

Keniscayaan dewan baru

Apa pun kelembagaan yang kelak akan lahir dalam UU yang baru, tampaknya pembagian ”kekuasaan” di sektor keuangan—cepat atau lambat—akan menjadi suatu kenicayaan, karena sudah diamanatkan UU.

Karena itu, koordinasi atau hubungan antarlembaga merupakan barang ekonomi yang harus diadakan agar terjadi keseimbangan neraca internal dan eksternal.

Karena itu, institusi seperti Dewan Stabilisasi Ekonomi atau Dewan Stabilisasi Sistem Keuangan—atau apa pun namanya—yang melibatkan pimpinan pemerintahan, BI, OJK, atau LPJK dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), dan mungkin diketuai sendiri oleh Presiden, merupakan kebutuhan dan keniscayaan.

Insukindro Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta

Senin, 13 Juli 2009

PEMBIAYAAN UMKM Bunga KUR Sulit Diturunkan



Jakarta, Kompas - Pemerintah seolah tak berdaya menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat yang kini 24 persen per tahun. Pemerintah menyerahkan kebijakan suku bunga KUR kepada perbankan.

”Kami serahkan kepada perbankan yang memang harus mengelola ini secara administratif. Ini memang proyek yang kami (pemerintah) jaminkan, tetapi uangnya dari bank. Mereka harus mengelola secara komersial juga. Walaupun ada faktor membantu UMKM,” ujar Ketua Dewan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Erlangga Mantik yang juga Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kantor Menko Perekonomian di Jakarta, Jumat (10/7).

Dijelaskan, meski suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) terus turun, hal itu tidak otomatis menurunkan suku bunga KUR. KUR dimaksudkan untuk membina UMKM yang selama ini belum layak dibiayai bank agar menjadi layak (bankable).

Biaya distribusi dan administrasi KUR harus ditanggung bank penyalur. Biaya ini relatif tinggi.

”Bayangkan, untuk kredit di bawah Rp 5 juta dan bunganya 24 persen per tahun, biaya administrasinya sama dengan kredit besar, biaya per unitnya tetap sama. Akibatnya, bank mencari bunga tinggi,” tutur Erlangga.

Namun, bila dibandingkan dengan suku bunga yang ditetapkan oleh rentenir, suku bunga KUR relatif rendah. Untuk meminjam Rp 1 juta dari rentenir, misalnya, pengusaha UKM harus mencicil Rp 40.000 per hari selama 30 hari. Ini berarti, suku bunga yang ditetapkan 20 persen per bulan atau 240 persen per tahun.

”Atas dasar itu kami upayakan agar usaha kecil menjadi bankable sehingga tidak perlu mencari pembiayaan dari rentenir, tetapi ke bank,” ujar Erlangga.

Pada 2008, pemerintah mengalokasikan anggaran KUR Rp 1,5 triliun dengan gearing ratio (rasio antara modal dan nilai kredit yang bisa disalurkan) 10 kali. Dana KUR tersebut bisa menjamin kredit dari perbankan maksimal Rp 15 triliun.

Hingga Mei 2009, KUR 2008 yang sudah terealisasi Rp 14,5 triliun. Tahun 2009, pemerintah menyalurkan anggaran Rp 500 miliar dengan rasio antara modal dan kredit yang bisa disalurkan yang sama sehingga diharapkan nilai kredit yang bisa dikucurkan Rp 5 triliun.

”Bank terbesar yang menyalurkan KUR adalah BRI. Untuk KUR 2008, BRI telah menyalurkan hampir Rp 10 triliun kepada 1,9 juta UMKM. Tahun 2009, BRI juga menjadi penyalur terbesar karena mempunyai jaringan di mana-mana. Persyaratan KUR tetap ada karena ada faktor penjaminan dari pemerintah. Kami harus tetap memiliki faktor kehati-hatian,” ujar Erlangga.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan Kantor Menko Perekonomian Edy Putra Irawady, terdapat sekitar 40 juta lembaga keuangan mikro yang melayani kredit mikro. Lembaga keuangan mikro ini hidup di masyarakat meski suku bunga yang dikenakan relatif tinggi dibandingkan dengan suku bunga kredit bank.

”Itu menandakan masyarakat tidak peduli suku bunga. Mereka hanya butuh ketersediaan pembiayaan,” katanya. (OIN)

Analisis Danareksa Utang RI Sudah Membahayakan?

Oleh Purbaya Yudhi Sadewa

Masalah utang pemerintah kembali mengemuka akhir-akhir ini. Isu ini bahkan menjadi topik yang cukup hangat dalam perdebatan calon presiden yang lalu. Apakah kita perlu terus berutang dan apakah utang kita saat ini sudah pada level yang membahayakan kesinambungan fiskal kita?

Menurut Departemen Keuangan, total utang Pemerintah Indonesia (domestik dan asing) pada tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp 1.700 triliun. Tahun 2004 total utang kita baru Rp 1.299 triliun. Jadi, dalam lima tahun terakhir total utang Pemerintah Indonesia naik sekitar Rp 401 triliun.

Angka pertumbuhan utang yang ”besar” ini menjadi sasaran empuk pada masa kampanye lalu. Sering disebutkan bahwa keadaan utang kita sudah membahayakan. Anggapan ini membuat sebagian kalangan menjadi kreatif menawarkan alternatif pemecahan masalah utang tersebut. Salah satu alternatif yang ekstrem adalah penjadwalan kembali utang kita.

Alasan berutang

Berutang bukanlah hal yang tabu bagi suatu negara. Hampir semua negara saat ini mempunyai utang. Utang kadang kala diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara ketika ekonomi melambat, saat negara itu mengalami resesi, atau untuk menutup kekurangan pembiayaan anggaran ketika sumber pendapatan dari dalam negeri bermasalah akibat keadaan ekonomi yang buruk.

Selain itu, banyak negara di dunia menerbitkan utang untuk membangun proyek infrastruktur besar di mana swasta sulit diharapkan terlibat. Sering kali keuntungan secara komersial dari investasi semacam ini kecil. Namun, dampak realisasi investasi ini terhadap kesejahteraan masyarakat, keuntungan pelaku bisnis secara tidak langsung, maupun keadaan perekonomian secara keseluruhan cukup besar.

Beberapa negara bahkan menerbitkan surat utang untuk membiayai kegiatan perangnya. Pemerintah AS, misalnya, menerbitkan surat utang dalam jumlah cukup besar untuk membiayai pasukannya dalam Perang Dunia II. Utang Pemerintah AS naik dari 59 miliar dollar AS tahun 1940 menjadi sekitar 260 miliar dollar AS setelah perang. Pemerintah Australia pun menerbitkan utang untuk membiayai keterlibatannya pada Perang Dunia I dan II.

Untuk Indonesia, kenaikan utang yang signifikan terjadi setelah krisis 1997-1998. Kenaikan ini guna membiayai BLBI untuk menyelamatkan perbankan maupun untuk merekapitalisasi dunia perbankan kita. Pada saat yang bersamaan, pelemahan rupiah juga membuat utang luar negeri kita dalam rupiah menjadi berlipat-lipat dalam waktu singkat. Akibat krisis tadi, utang pemerintah naik dari Rp 129 triliun tahun 1996 menjadi Rp 1.234 triliun tahun 2000. Naik hampir 10 kali lipat.

Level utang kita sempat relatif stabil pada periode 2000-2006. Namun, mulai tahun 2007, level utang mulai beranjak naik lagi. Kenaikan ini berkaitan dengan ekspansi kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maupun untuk membiayai subsidi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri tahun 2008.

Dan, untuk tahun 2009, kenaikan lebih disebabkan stimulus fiskal yang diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Walaupun mahal, langkah ini memang diperlukan untuk mencegah perekonomian kita tidak terpuruk terlalu dalam seperti negara-negara tetangga kita.

Masih berkesinambungan

Dengan utang yang tinggi ini, timbul pertanyaan mengenai kesinambungan kebijakan fiskal kita. Bila investor (domestik maupun asing) menganggap utang sudah membahayakan keadaan fiskal kita, tentunya mereka akan segera melepas surat-surat utang dan segera hengkang dari pasar utang pemerintah kita. Sebagian akan melarikan uangnya ke luar negeri dan rupiah pun akan terpuruk. Dampak yang lebih buruk lagi adalah baik pemerintah maupun swasta menjadi kesulitan melakukan pinjaman, baik dalam negeri maupun luar negeri. Akibatnya, pembiayaan APBN menjadi sulit dan pembangunan perekonomian pun akan terganggu.

Indikator apakah yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menentukan aman tidaknya berinvestasi di surat utang suatu negara?

Pada dasarnya, hal yang paling utama dilihat investor adalah kemampuan dan kemauan negara untuk membayar utang.

Kemampuan maupun kemauan sering kali dilihat dari beberapa variabel makroekonomi. Salah satu ukuran ekonomi yang sering digunakan adalah rasio utang terhadap PDB. Semakin kecil rasio ini, semakin mampu suatu negara membayar utangnya dan semakin aman berinvestasi di negara tersebut.

Secara teoretis, tidak ada batasan yang pasti untuk mengatakan rasio utang suatu negara sudah mencapai level yang membahayakan atau tidak. Akan tetapi, negara-negara Eropa bersepakat bahwa rasio utang maksimal yang dapat diterima adalah 60 persen dari PDB.

Dilihat dari ukuran ini, keadaan utang Indonesia untuk saat ini cukup baik. Rasio utang terhadap PDB untuk Indonesia cenderung menurun. Tahun 2004, rasio ini masih pada level 56,6 persen. Tahun 2005 turun ke level 47,3 persen. Adapun tahun 2009, rasio utang kita terhadap PDB diperkirakan turun menjadi sekitar 31 persen.

Dibandingkan dengan negara tetangga pun, keadaan utang kita lebih baik. Rasio utang terhadap PDB Malaysia, misalnya, diperkirakan 41,6 persen. Untuk Thailand rasio ini diperkirakan 39,9 persen untuk tahun 2009 ini.

Jadi, dari ukuran rasio ini utang Indonesia masih dalam keadaan yang amat aman.

Ukuran lain yang sering digunakan menilai kesinambungan fiskal suatu negara (sekaligus kemampuan membayar utang) adalah rasio defisit terhadap PDB. Sekali lagi, secara teoretis tidak ada patokan jangka pendek yang pasti untuk menentukan fiskal (anggaran) yang aman suatu negara. Namun, negara-negara di Eropa membatasi rasio defisit anggaran maksimum 3 persen terhadap PDB.

Keadaan fiskal Indonesia dilihat dari ukuran ini pun cukup baik. Rasio utang terhadap PDB Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini berada di bawah 3 persen. Tahun 2009, dengan stimulus fiskal yang besar, rasio defisit terhadap PDB Indonesia masih sekitar 2,5 persen.

Indikator lain yang sering diperhatikan untuk mengukur kemampuan membayar utang adalah keseimbangan primer. Ini adalah surplus atau defisit yang terjadi pada anggaran sebelum pembayaran bunga utang. Rasio yang positif menunjukkan adanya kemampuan membayar utang. Dalam ukuran ini pun keadaan anggaran kita masih cukup baik, seperti yang terlihat dari kesetimbangan primer yang selalu positif dalam beberapa tahun terakhir ini (tabel 2).

Sebaliknya, keadaan utang negara-negara maju saat ini banyak yang melewati batas prinsip kehati-hatian. Rasio utang terhadap PDB Jepang, misalnya, diprediksi 217,2 persen pada tahun 2009 ini. Adapun AS mencapai 87,0 persen.

Lalu, mengapa negara-negara tersebut masih dipercaya oleh investor surat utang?

Seperti disebutkan di atas, investor melihat rasio-rasio utang untuk menentukan apakah suatu negara mampu atau mau membayar utangnya. Kredibilitas negara-negara maju dianggap berbeda dengan negara kita. Walaupun keadaan utangnya lebih buruk dari kita, mereka dianggap pasti mau membayar utangnya. Keadaan yang membuat mereka mendapat perlakuan yang lebih istimewa dari investor surat utang. Sayangnya, keistimewaan seperti ini belum dapat dirasakan oleh Pemerintah Indonesia untuk saat ini.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa berutang bukanlah hal tabu. Banyak negara melakukan hal tersebut untuk menunjang pertumbuhan ekonominya. Dilihat dari rasio-rasio yang digunakan oleh ekonom dunia, saat ini utang Indonesia pada level yang cukup aman. Namun, bila kita menunjukkan indikasi tidak membayar utang, rasio-rasio tersebut menjadi tidak berguna. Jadi, perlu pendekatan ekstra hati-hati soal isu utang.

Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute

Ekonomi dengan Kekuatan Tata Nilai

Oleh RHENALD KASALI

Saat mencontreng pada Rabu (8/7) lalu, kita semua punya harapan, yaitu perekonomian yang lebih baik. Namun, harus diakui, pemilu telah lebih mempersoalkan ”ke mana pemimpin akan membawa kita” (begitulah inti dari sebuah visi-misi) daripada dengan bijak memahami ”siapa kita yang sebenarnya” di tengah-tengah perubahan ini.

Tak banyak yang menyadari ke mana kita pergi hampir selalu berubah, dan semakin sulit dicapai manakala budaya ekonomi tidak mendukung. Kita berubah menjadi komplainer, lebih mengedepankan konflik daripada kerja sama, mencela daripada mendukung, saling curiga ketimbang percaya, foto-foto daripada beradaptasi, dan seterusnya.

Padahal, dulu, Bung Karno membangun Negara Kesatuan RI dengan semangat tata nilai. Ia sadar betul, tanpa nilai-nilai persatuan dan gotong royong, Indonesia tak akan menikmati kemakmuran. Konon, semakin banyak manajer (bukan pemimpin) suatu negara, makin terperangkaplah negara itu dalam teknik dan strategi, dan melupakan tata nilai.

Lewat tulisan ini, saya mengajak presiden terpilih, pemimpin partai, dan pemimpin lembaga negara agar jangan melupakan budaya ekonomi. Kedepankanlah tata nilai.

Budaya ekonomi

Berbagai studi menyebutkan, ekonom hebat sekelas Boediono dan Sri Mulyani Indrawati hanya bisa mengembangkan konsepnya di atas tanah dan iklim dengan budaya ekonomi yang kuat. Budaya ekonomi merupakan hasil interaksi berbagai elemen yang membentuk belief untuk meraih kemenangan.

Bagi Indonesia, budaya ekonomi penting karena selain diterjang berbagai krisis, perekonomian, politik, teknologi, dan pandangan-pandangan masyarakat terhadap kehidupan telah berubah. Suka atau tidak suka, negeri ini telah beralih dari perekonomian berbasiskan rencana (Bappenas-based economy) menjadi ekonomi pasar.

Spirit kompetisi yang lebih mengedepankan kinerja, demokrasi, dan penerimaan pasar telah terjadi di mana-mana. Pemilu presiden kali ini menunjukkan bahwa tak ada lagi orang yang mampu mewakili suara anak buah atau anggota keluarganya.

Masalahnya, struktur, proses, nilai-nilai, dan perilaku yang dianut belum berubah. Bukankah dalam penataran P4 dulu kita diajarkan bahwa free fight liberalism adalah musuh Pancasila? Bukankah struktur penggajian dan penilaian pegawai negeri (metode BP3) dan perburuhan kita lebih mengedepankan solidaritas daripada kompetisi? Bukankah hierarki kita masih berlapis-lapis, hubungan personal lebih penting daripada tujuan, dan prosedur lebih penting daripada hasil/kinerja?

Menurut Mariano Grondona (2000), ada dua cara pandang terhadap kompetisi.

Yang satu hidup dalam bangsa yang favorable to development dan satunya lagi dalam resistant societies.

Dalam favorable to development, kompetisi diterima untuk memacu kinerja, sedangkan dalam resistant societies, kompetisi adalah agresi. Karena itulah orang-orang yang kompetitif dalam resistant societies sulit berkembang. Ia selalu dicela dan disebarkan fitnah untuk dijatuhkan.

Masyarakatnya justru mempertahankan tata cara yang mendorong solidaritas dan kesetiaan. Kompetisi di antara sesama pelaku usaha berubah menjadi kartel, politik dikuasai caudillo (diktator), dan cendekiawan berhamba pada dogma. Hanya dalam olahraga, kompetisi diterima..

Nilai-nilai transisi

Tak dapat dimungkiri bahwa semua bangsa tengah mengalami transisi, tetapi yang terberat sebenarnya terjadi di sini. Perubahan itu terjadi begitu cepat, sangat terbuka, sementara benteng nilai-nilai mengendur. Tak seorang pemimpin pun yang menyentuh tata nilai.

Tidak jelas betul apakah mereka tidak menganggap penting, tidak paham, terlalu rumit dan makan waktu, atau terlalu percaya diri dengan kinerja yang telah dicapai. Namun, kita perlu mengingatkan, kinerja yang dibangun tanpa fondasi tata nilai adalah kinerja yang rapuh dan bisa memutarbalikkan kinerja.

Harus diakui bahwa terlalu banyak benteng resistensi yang dibangun para elite untuk menghadapi masa depan baru yang penuh tantangan ini. Seperti dicatat Deal dan Kennedy, perubahan ini ditandai oleh hadirnya budaya ketakutan, penyangkalan, sinisme, self-interest, dan budaya salah tempat.

Namun, dalam transisi Indonesia saat ini, saya mencatat sepuluh nilai-nilai budaya negatif yang perlu segera dibersihkan, yaitu nilai-nilai jalan pintas, konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, mengedepankan otot, tidak tahu malu, populerisme, prosedur, dan menunda.

Karena bersifat transisi, sebenarnya nilai-nilai itu berpotensi dihapuskan asalkan antibodinya, yaitu nilai-nilai kebalikan yang lebih positif, tersedia dalam gudang amunisi kerja para pemimpin. Ini berarti catatan itu harus berada dalam blue print strategy pembangunan jangka menengah, atau minimal ada dalam catatan kepemimpinan kepala negara.

Saya kira inilah saatnya presiden terpilih membangun dan bekerja dengan tata nilai. Membangun tata nilai artinya menanam nilai-nilai budaya baru dalam masyarakat. Bekerja dengan tata nilai berarti tidak langsung masuk ke dalam program, melainkan menanam nilai-nilai dalam kabinet dan setiap lembaga negara. Setiap anggota tim pemimpin negara dinilai dari dua hal sekaligus, yaitu kepatuhan pada pelaksanaan nilai-nilai dan hasil atau kinerja yang ia berikan.

Namun, lebih dari itu, pekerjaan berat yang utama adalah merumuskan nilai-nilai, baik nilai-nilai inti yang tidak boleh berubah maupun nilai-nilai non-inti yang diperlukan dalam menghadapi perubahan ini.

Akhirnya saya ucapkan selamat kepada presiden baru, tetaplah positif dan santun.

Dekopin Sudah Babak Belur


Rohman (21) menjemur hasil kerajinan dari eceng gondok di Desa Bugel, Kabupaten Kulonprogo, Jawa Tengah, Senin (24/11). Hasil kerajinan itu selanjutnya disetorkan kepada pengekspor seharga Rp 40.000- Rp 70.000 per buah. Rohman termasuk salah satu yang bergiat di usaha mikro, kecil, dan menengah yang seharusnya bisa dibina dan diberdayakan. Namun, usaha seperti dilakukan Rohman adakalanya hanya dijadikan sasaran proyek sesaat dari instansi pemerintah yang mengurus koperasi dan UKM.
Selasa, 7 Juli 2009 | 10:02 WIB

Oleh Stefanus Osa Triyatna

Tanggal 12 merupakan Hari Koperasi. Tahun 2009 adalah tahun ke-62 bangsa ini memperingati Hari Koperasi. Peringatan Hari Koperasi tahun ini diwarnai dengan ”perseteruan” di kalangan pembina koperasi yang masing-masing mengklaim dirinya yang paling sah menjadi ”punggawa” Dewan Koperasi Indonesia.

Dekopin sebagai wadah bernaungnya koperasi di seluruh penjuru Tanah Air beberapa tahun terakhir diperebutkan oleh dua ”nakhoda”.

Masing-masing bersikukuh menegaskan dirinya yang paling layak memimpin Dekopin dan punya legalitas sesuai anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) Dekopin.

Perseteruan yang terekspos di media massa itu rupanya tidak juga menyurutkan perebutan kursi kepemimpinan Dekopin. Adi Sasono merasa sah sebagai Ketua Umum Dekopin Indonesia. Di sisi lain, Sri Edi Swasono juga merasa sah sebagai pejabat Ketua Umum Dekopin, menggantikan Nurdin Halid.

Saling klaim terhadap tampuk pimpinan Dekopin itu kini mulai dimanfaatkan pihak di luar Dekopin, yang membuat situasi semakin ruwet.

Namun, kekisruhan di tubuh Dekopin itu dibantah oleh Ketua Bidang Organisasi dan Kelembagaan Dekopin Soeryo Bawono. ”Tidak benar terjadi kepemimpinan ganda dalam tubuh Dekopin. Yang benar adalah sekelompok orang dalam komunitas koperasi berupaya merebut kepemimpinan Dekopin yang sah dan diakui pemerintah,” kata dia.

Awal kekisruhan

Karut-marut konflik Dekopin ini berawal dari kevakuman kepemimpinan Dekopin sepeninggal Nurdin Halid sebagai Ketua Umum Dekopin periode 2004-2009. Tahun 2005 Nurdin Halid harus mendekam di penjara karena kasus korupsi.

Pada 2005 diadakan Rapat Anggota Sewaktu-waktu (RAS) Dekopin. Di forum itu Adi Sasono terpilih sebagai Ketua Umum Dekopin.

Penyelenggaraan RAS Dekopin ini sempat diajukan ke meja hijau oleh Sri Edi Swasono yang masuk dalam jajaran Dewan Penasihat Dekopin periode 2004-2009.

Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali pun masuk dalam pusaran perseteruan itu. Surat keputusan Menneg Koperasi dan UKM 176/Kep/M.KUKM/XII/2005 dinilai menjadi katebelece diselenggarakannya RAS Dekopin.

Putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) tentang pencabutan SK Menneg Koperasi dan UKM serta berbagai konsekuensi hukumnya tidak menyelesaikan masalah karena keputusan itu secara hukum dinilai tidak tegas. Menimbulkan berbagai persepsi.

Tindakan Menneg Koperasi dan UKM mengeluarkan SK 30/Kep/M.KUKM/III/2007 tentang Pencabutan Keputusan Menneg Koperasi dan UKM tentang Penyelenggaraan RAS Dekopin tidak menjernihkan keadaan.

Ini antara lain dapat disimak dari pendapat Soeryo yang menyatakan, SK tersebut bukan syarat wajib bagi penyelenggaraan RAS. ”Pencabutan SK pada 20 Maret 2007 tidak memengaruhi keabsahan dan keputusan RAS pada 17 Desember 2005 karena keputusan RAS sesuai AD/ART Dekopin,” kata dia.

Adapun kubu Nurdin Halid justru mempermasalahkan putusan PTUN yang menyatakan, SK Menneg Koperasi dan UKM yang tidak sah semestinya membuat segala produk hasil RAS juga tidak sah secara hukum.

Togar M Nero, kuasa hukum Nurdin Halid, di Jakarta, Senin (6/7), menegaskan, ”Konsekuensi yuridis dari pencabutan kedua SK Menneg Koperasi dan UKM adalah pengembalian keadaan Dekopin ke keadaan semula sebelum dikeluarkan SK tersebut.”

Jadi, kata Togar, semua produk RAS harus dianggap tidak ada, termasuk kepemimpinan Adi Sasono. Padahal, dalam Musyawarah Nasional Dekopin, 17 April 2009, Adi Sasono secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Dekopin periode 2009-2014.

Nurdin Halid bersama Sri Edi Swasono tak tinggal diam. Pada 19 Juni 2009 mereka menggelar Musyawarah Nasional Koperasi XVII di Jakarta yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebagian pengikut Adi Sasono yang hadir ikut mendukung Nurdin Halid sebagai Ketua Umum Dekopin periode 2009-2014.

Namun, Suryadharma Ali dengan tegas menyatakan, ”Pemerintah hanya mengakui Dekopin di bawah kepemimpinan Adi Sasono.”

Melihat situasi yang menyelimuti Dekopin, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, menyatakan, Dekopin sudah babak belur. ”Secara legal, Nurdin Halid boleh mengklaim sebagai pimpinan Dekopin. Ironis, bagaimana mungkin pimpinan Dekopin waktu itu tidak memberikan sanksi tegas. Kini, setelah tersangkut kasus hukum, nama Nurdin Halid seakan dipulihkan lagi begitu saja,” kata dia.

Kubu Adi Sasono, kata Revrisond, mungkin secara mendasar tidak memiliki kekuatan legalitas, tetapi secara moral memiliki kekuatan untuk menjaga eksistensi Dekopin.

Masalah kepemimpinan Dekopin, kata Revrisond, sudah babak belur sejak 1967. ”Institusi Dekopin sudah korup dalam artian konsepsional,” ujarnya. Memang susah kalau koperasi sudah masuk dalam lingkaran setan politisasi! Jika begini, masih bisakah koperasi jadi saka guru perekonomian?

Koperasi dan Ekonomi Rakyat

Najamuddin Muhammad
Pemerhati Sosial pada CDIE UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Pada tanggal 12 kemarin, kita memperingati hari koperasi. Peringatan ini berlangsung usai bangsa ini mengadakan hajatan besar pesta demokrasi. Siapa pun presiden yang terpilih berdasarkan hasil KPU nanti, peringatan hari koperasi tetap menjadi momentum bagi kita bersama untuk merefleksikan nilai-nilai keutamaan dari spirit perekonomian sistem koperasi yang telah menjadi bagian dari sejarah perekonomian bangsa Indonesia.

Koperasi dalam perjalanan sejarah bangsa-bangsa lain berdiri untuk memerangi kemiskinan dan kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan oleh sistem perekonomian kapitalis. Tak terkecuali juga koperasi Indonesia yang dipelopori oleh R Aria Wirioatmajda, patih di Purwokerto (1896), dan dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pergerakan lain. Mereka berdiri untuk kepentingan bersama yang berasaskan pada kekeluargaan dan keadilan.

Koperasi di bangsa kita kerap kali menjadi sistem gerakan ekonomi alternatif untuk menyelamatkan stabilitas kehidupan rakyat. Pada masa penjajahan Belanda, kita mengenal sistem perekonomian monopoli, tanam kerja paksa, dan sistem perekonomian kapitalisme liberal. Lingkaran sistem itu berjalan hanya untuk menghisap kekayaan alam kita dan memeras rakyat untuk kepentingan golongan penjajah.

Koperasi hadir di tengah-tengah lingkaran sistem yang tidak sehat itu untuk menyatu bersama rakyat kecil. Hal ini tampak sekali saat kapitalisme liberal menyusup yang ditandai dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870 sehingga perusahaan-perusahaan swasta diperbolehkan untuk menyewa lahan para petani. Perusahaan-perusahaan swasta mulai mengelola lahan dengan tanah yang luas dan kecanggihan ilmu pengetahuan yang tinggi, sedangkan rakyat mengelola lahan pertanian dengan alat seadanya.

Pada saat inilah, perekonomian rakyat mulai terancam dengan masuknya perusahaan-perusahaan swasta. Tokoh-tokoh pergerakan, seperti Hatta, Shahrir, dan Soekarno, berusaha membantu dan mengimbau rakyat untuk bersatu dalam wadah koperasi sebagai sistem perekonomian yang lebih megandalkan asas kekeluargaan. Mereka berupaya menjadikan koperasi sebagai basis perekonomian yang sesuai dengan realitas kehidupan rakyat Indonesia.

Pada saat itu, rakyat bisa berdiri sendiri di bawah sistem koperasi. Mubyarto (2002) menegaskan bahwa ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi tahun 1920-an dan 30-an dan ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjloknya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.

Namun, dalam perjalanan bangsa kita, koperasi kalah pamor dengan merebaknya sistem perekonomian kapitalisme liberal. Koperasi yang dulu pernah menjadi penyelamat rakyat dari sistem perekonomian kapitalis kini dianggap tidak relevan lagi oleh pemerintah. Kapitalisme liberal hingga berubah bentuk menjadi neoliberalisme yang mempunyai spirit kekejaman yang sama untuk menghisap kekayaan bangsa kita dengan cara memutus intervensi pemerintah terhadap pasar menjadi lebih populer.

Bangsa kita benar-benar telah menenggelamkan sistem perekonomian koperasi ke tong sampah. Jubah koperasi telah berganti dengan spirit perekonomian neoliberalisme. Tanda-tanda pupusnya spirit perekonomian koperasi itu telah tampak di hadapan kita, mulai dari kian timpangnya jurang pemisah antara orang kaya dan miskin, lenyapnya sumber daya alam kita dengan dimonopoli oleh satu golongan serta mandulnya peran negara untuk mengatur sistem perekonomian.

Patahnya kekuatan perekonomian rakyat dan menangnya perusahaan-perusahaan asing sudah menjadi tradisi harian di bangsa kita. Carrefour, minimarket, dan mal-mal lainnya berdiri di mana-mana. Di saat yang bersamaan, warung-warung kecil yang menjadi tumpuan utama bagi rakyat kelas menengah ke bawah untuk menghidupi keluarga dan anaknya mati suri dan bahkan kadang disimpulkan dengan gulung tikar.

Ironisnya, negara yang sejatinya berpihak terhadap rakyat nyata-nyata tidak mampu berperan apa-apa. Negara sudah tak bisa lagi menampakkan perannya sebagai pengayom, pendamping, dan perangkul rakyat. Negara telah kehilangan nyali untuk membela dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Negara hanya menjadi tukang stempel yang senantiasa didikte oleh kepentingan-kepentingan asing. Negara telah kehilangan peran substantifnya.

Dengan demikian, pada momentum peringatan hari koperasi dan usai pemilu kali ini, sangat penting untuk membaca ulang sistem perekonomian kita yang telah berjalan, memikirkan ulang sistem perekonomian sekarang, dan merefleksikan kembali spirit perekonomian ala koperasi yang telah menjadi tulang punggung perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Siapa pun presiden kita, spirit perekonomian koperasi adalah roh perjalanan perekonomian bangsa kita yang harus digalakkan.

Menumbuhkembangkan spirit koperasi yang berasaskan pada kekeluargaan butuh keberanian dari para pemimpin kita untuk mengintervensi lebih jauh sirkulasi pasar yang selama ini masih banyak dikuasai oleh pemodal-pemodal asing. Pemerintah harus bisa mengontrol dan membatasi liarnya perusahaan asing yang menghisap kekayaan kita dan mematikan perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah. Pemerintah harus berani berhenti berkongkalikong dengan perusahaan asing dan beralih pada kepentingan rakyat bersama.

Kekayaan sumber daya alam yang selama ini masih terasa aneh bagi kita untuk menikmatinya karena dipegang oleh perusahaan asing harus kembali kepada rakyat lagi. Pemerintah sejatinya memerhatikan potensi yang terkandung di tiap-tiap daerah dan mampu memberikan pelayanan yang maksimal terhadap perekonomian rakyat kecil yang berbentuk koperasi atau yang senyawa untuk terwujudnya masyarakat yang mampu berdiri sendiri dan mampu mengatur harga sendiri.

Dengan dekungan yang kuat dari pemerintah dan semangat yang membara dari rakyat kecil, koperasi yang menjadi roh sistem perekonomian kita akan bisa mengantarkan kita menuju kemandirian. Kita berharap, sistem ekonomi kerakyatan yang mulai kemarin diperdebatkan sampai berbusa-busa agar tidak hanya berhenti pada retorika dan ajang kampanya an sich, tapi yang terpenting adalah keberanian para pemimpin bangsa ini untuk merealisasikannya di lapangan.

(-)

Kita Butuh Ekonomi Kerakyatan


Arif Budimanta
(Direktur Megawati Institute)

Di hari-hari terakhir ini, kita menyaksikan betapa tema ‘ekonomi kerakyatan’ kembali menjadi pembicaraan dan topik diskusi yang hangat di berbagai media audio dan audio visual serta diperdebatkan dalam polemik di koran-koran. Meski tidak sepanas polemik soal ekonomi Pancasila pada akhir 1980-an, kita menyaksikan gelora dan hangat yang sama pada diskursus ekonomi kerakyatan saat ini.

Namun, yang terasa membedakannya dari polemik ekonomi Pancasila, yakni diskursus kali ini benar-benar lebih merakyat. Selain itu, pada polemik ekonomi Pancasila yang terlibat hanyalah kalangan intelektual, terutama almarhum Prof Mubyarto, Arief Budiman, dan lain-lain. Sedangkan, perdebatan saat ini lebih bersifat populis dan melibatkan semua kalangan. Hal ini barangkali disebabkan oleh perkembangan media komunikasi dan internet. Misalnya, situs Yahoo! Indonesia, detik.com, serta Okezone yang pernah membuka ruang untuk debat seputar hal ini dengan melibatkan siapa saja untuk bergabung dan mengaksesnya. Kelemahannya, tentu saja, bobot diskursus memang harus direlakan jatuh akibat terlalu banyaknya posting yang mengesankan ketidakseriusan atau menunjukkan kekurangan pada sisi intelektualitas.

Satu hal yang tidak terbantahkan, diskursus ekonomi kerakyatan kembali hadir seiring tema kampanye yang diusung pasangan capres-cawapres Megawati Sukarnoputri-Prabowo Subianto. Bahkan, sebelum menentukan untuk berpasangan dengan Prabowo pun, dalam guliran kampanye calon anggota legislatif, kubu Megawati telah menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai ide besar dalam kampanye mereka. Namun, dalam perkembangannya, barangkali untuk menunjukkan sisi populis mereka, semua calon presiden-wakil presiden pun rata-rata mengusung ide besar tersebut meski kadang terasa ganjil ketika titik tekan dan makna ekonomi kerakyatan itu berbeda diametral satu dengan lainnya.

Pemaknaan atas ekonomi kerakyatan tentu saja tidak boleh membingungkan rakyat itu sendiri. Bagaimana mungkin, misalnya, kita menyatakan konsen (concern) dengan ekonomi kerakyatan, sementara publik dengan gampang melihat bahwa dalam realitas keseharian lebih sering perekonomian kaum marjinal yang bertahan hanya untuk hidup subsistem pun justru menjadi prioritas pembasmian? Bagaimana valid dan dapat percaya klaim tentang kepedulian untuk menegakkan ekonomi kerakyatan, sementara rakyatlah yang dikorbankan?

Oleh karena itu, alih-alih berkonsentrasi pada pencarian definisi yang hanya akan memakan waktu, sejak awal ide besar ekonomi kerakyatan itu diusung, konsennya memang kepada rakyat. Sehingga, ekonomi kerakyatan bisa dengan sederhana diterjemahkan sebagai ekonomi yang mengedepankan kepentingan rakyat sebagai tujuan dan pedoman aktivitas perekonomian. Ekonomi kerakyatan adalah perekonomian yang mengedepankan kedaulatan rakyat serta menjadikan rakyat sebagai titik pusat perubahan, motor penggerak aktivitas perekonomian,dan inti dari perubahan ekonomi.

Sejajar dengan ide demokrasi itu, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai pusat aktivitas ekonomi dan kemakmuran mereka sebagai tujuan. Ekonomi kerakyatan dalam visi Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto telah melampaui debat panjang dan nyaris tak pernah selesai. Mana yang harus menjadi prioritas: pertumbuhan atau pemerataan? Mereka yang menganut paham neoliberal kadang dengan gampang menuding ekonomi kerakyatan adalah perekonomian etatis yang mengedepankan distribusi ala komunis. Tapi, tidak demikian sesungguhnya. Benar bahwa ekonomi kerakyatan menjadikan rakyat sebagai pusat dan kemakmuran mereka sebagai tujuan. Tetapi, kami pun sangat mengerti, sebagaimana Mancur Olson mengatakan, manakala kebijakan yang pro pertumbuhan menciptakan iklim yang merangsang peningkatan tabungan nasional, investasi, dan inovasi serta pengembangan teknologi, kebijakan pro pemerataan membimbing negara untuk melakukan distribusi pencapaian hasil-hasil ekonomi.

Oleh karena itulah, tak ada lagi perdebatan tentang prioritas pertumbuhankah atau pemerataan yang harus dikedepankan. Semua bisa berjalan seiring dengan pengaturan yang tepat dari pemerintah. Pasalnya, manakala prioritas berada pada pertumbuhan sambil melupakan pemerataan, yang terjadi adalah sebagaimana kondisi di AS. Jangan lupa bahwa dengan distribusi kekayaan yang timpang, menurut John Bellamy Foster dan Fred Magdoff dalam buku terbaru mereka The Great Financial Crisis Causes and Consequences (2009), kelompok yang paling terpukul akibat krisis ekonomi di AS saat ini adalah mereka yang termasuk dalam kelompok 90 persen warga yang berada di anak tangga paling bawah. Sementara itu, hanya satu persen teratas populasi yang memperoleh 28 persen dari pertumbuhan pendapatan nasional. Ironisnya, saat muncul kebijakan untuk melakukan bailout, mereka yang hanya satu persen itu yang justru diselamatkan talangan dana pemerintah lebih dari 700 miliar dolar AS itu. Sementara itu, mengedepankan pemerataan tanpa senantiasa berkonsentrasi kepada pertumbuhan, tak lain dari sebuah zero sum game. Artinya, peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan sekelompok masyarakat itu hanya dapat dicapai dengan menurunkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan kelompok masyarakat lain. Tentu saja, bukan redistribusi seperti itu yang kita harapkan.

Keyakinan bahwa ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang tidak mempertentangkan pertumbuhan dan distribusi, maka peningkatan kesejahteraan bersama dengan itu bisa dicapai. Sebab, kebijakan pro pertumbuhan hanya menjadi konflik dengan kebijakan pro pemerataan, bila dan hanya bila pertumbuhan ekonomi yang terjadi itu hanya menguntungkan segolongan kalangan masyarakat tertentu dan merugikan anggota masyarakat lainnya.

Untuk itu, karena 80 persen rakyat Indonesia masih terkait dengan pertanian, perekonomian petani-lah yang saat ini harus mendapatkan perhatian lebih. Dalam komitmen ini, krisis yang terjadi saat ini bisa saja dianggap sebuah blessing karena ia bisa memaksa kita menoleh sumber daya terbesar yang selama ini kerap kita abaikan. Selain itu, adanya krisis memaksa semua negara untuk melihat ke dalam (inward looking) dan menggerakkan semua potensi ekonomi dalam rangka mencukupi kebutuhan sendiri, sementara begitu banyak sumber daya yang menganggur, maka peran dan arahan pemerintah sangatlah menentukan.

Pada titik inilah, pemerintah harus bisa memberikan, tidak hanya penyadaran dan sosialisasi, melainkan juga program-program terarah untuk meningkatkan ekonomi pertanian. Rakyat harus disadarkan bahwa ekonomi pertanian bukanlah semata menanam padi dan menjual hasilnya. Bukankah paradigma yang berkembang puluhan tahun seperti itu hanya mampu mendudukkan posisi Indonesia sebagai pasar komoditas pertanian negara-negara lain, sementara lahan-lahan kosong dalam negeri terbengkalai tanpa peduli. Paradigma itu pula yang akhirnya memojokkan profesi petani sebagai posisi paria, sementara kebutuhan manusia akan pangan seharusnya menjadikan posisi itu sebuah kebanggaan dan jalan untuk menjadi kaya raya.

Namun, tentu salah jika mengidentikkan ekonomi kerakyatan sebagai ekonomi pertanian an sich. Bahwa, petani merupakan 80 persen dari komposisi rakyat Indonesia, tidaklah harus membuat negara ini menjadi negara pertanian dan melupakan industri.

Masalahnya, dengan besarnya sumber daya penduduk (petani), bukankah sebaiknya ada barang-barang industri hasil impor yang dicukupi sendiri? Di sinilah kebijakan untuk menumbuhkan industri pengganti impor (industrialisasi subtitusi impor) menjadi hal yang masih sangat relevan. Sebanyak mungkin barang-barang konsumsi dan industri yang bisa terjangkau harus diproduksi di dalam negeri. Dengan cara itu, dua persoalan besar, yakni pengangguran para petani yang sebagian besar telah tersalur ke sektor pertanian modern serta kurangnya investasi dan tabungan nasional karena devisa yang terus mengalir ke luar negeri, pun bisa memperoleh solusi.

Namun, yang nanti akan membedakannya dengan kebijakan industrialisasi subtitusi impor (ISI) gaya Orde Baru adalah pada alokasi dana untuk pengembangan industri pengganti impor itu. Jika pada masa lalu alokasi itu dilakukan tertutup dan diskriminatif karena penunjukan pemerintah, saat ini alokasi ‘nonpasar’ seperti itu harus dicegah. Pemerintah harus membuka peluang agar dana-dana yang disediakan untuk berkembangnya program itu bisa diakses siapa pun dan perusahaan mana pun yang peduli dan mampu. Tentu, untuk itu, perlu proses yang transparan, yang bisa mewadahi persaingan yang sehat, serta akuntabel.

Hanya dengan cara itu, ekonomi kerakyatan, yakni perekonomian dari, oleh, dan akhirnya untuk rakyat, bisa menjadi jembatan emas pengantar rakyat Indonesia kepada kesejahteraan.

(-)

Sabtu, 11 Juli 2009

Keberpihakan (Koperasi)

Susidarto

Hingga usia 62 tahun (12 Juli 2009), gerakan koperasi masih berjalan tertatih-tatih. Hampir tak terlihat kemajuan yang diraih.

Sebaliknya, yang sering didengar justru sederet stigma negatif, seperti koperasi jadi-jadian, koperasi merpati, koperasi yang tidak profesional, koperasi yang terpaksa ditutup karena tidak ada kegiatan, amatiran, dan tidak becus bisnis. Ibarat kendaraan, hingga kini koperasi Indonesia jalan di tempat.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, khususnya Pasal 63, menyebutkan, dalam rangka pemberian perlindungan kepada koperasi, pemerintah dapat, pertama, menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh dilakukan (dikerjakan) koperasi.

Kedua, menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang berhasil diusahakan oleh koperasi untuk tidak diusahakan badan usaha/pebisnis lain.

Ketentuan ini tegas mencerminkan komitmen pemerintah dalam memperkuat pertumbuhan dan perkembangan koperasi sebagai suatu bangun perusahaan yang diamanatkan UUD 1945. Bidang yang dilindungi adalah yang terkait erat kegiatan ekonomi rakyat. Pelaksanaannya dinamis dengan mempertimbangkan aspek keseimbangan terhadap keadaan dan kepentingan ekonomi nasional serta aspek pemerataan berusaha.

Keberpihakan

Studi perbandingan di beberapa negara memperlihatkan keberpihakan semacam itu. Keberpihakan kepada koperasi dan pengusaha kecil sudah dilakukan banyak negara. Di India, misalnya, ada 1.400 produk barang dan jasa (sejak 1992) yang hanya boleh diusahakan oleh usaha kecil dan koperasi (commodity reservation scheme).

Di Jepang dan negara-negara Eropa juga ada perlindungan terhadap nelayan. Pantai-pantai di Jepang, misalnya, dikapling-kapling untuk koperasi sekaligus dipercaya dapat melindungi kelestarian alam lingkungan.

Sebab, memang ada sumber daya tertentu yang harus diberikan kepada masyarakat setempat dan tidak dapat dibebaskan untuk usaha bisnis dari luar daerah. Bahkan, reklamasi kawasan pantai oleh pihak-pihak tertentu harus mendapat izin dari induk koperasi setempat. Ternyata upaya ini membuahkan hasil. Koperasi setempat berkembang luar biasa.

Sementara itu, di sektor pertanian, untuk menghitung efisiensi usaha pertanian, koperasi setempat diminta melakukan perhitungan dan menentukan kelayakan/efisiensi serta efektivitas lahan pertanian. Tujuannya adalah untuk menjaga optimalisasi hasil pertanian.

Di AS, koperasi juga mendapat perhatian khusus. Di sana ada semacam peraturan yang diberlakukan guna melindungi usaha kecil (termasuk koperasi), yaitu Small Business Act (SBA). Tujuannya adalah mewujudkan tata perekonomian yang baik dan untuk menjamin stabilitas nasional yang dinamis. Kedua tujuan itu dapat dicapai dengan baik apabila kompetisi terjamin dan berkembang. Makna yang dapat ditarik dari kebijakan SBA adalah perlunya mengembangkan potensi koperasi sehingga mampu berpartisipasi dalam sistem perekonomian AS yang notabene amat liberal itu.

Indonesia

Hal yang kontras justru terjadi di Indonesia. Di negeri ini, koperasi dianaktirikan dan sengaja ”dibonsai”. Dalam masalah pembinaan, misalnya, yang selama ini berkiprah hanya Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Pembinaan yang dilakukan kementerian ini juga tidak full heart dengan intensitas tinggi, tetapi cenderung sporadis dan serba tanggung. Gerakan koperasi seolah dibiarkan berjalan sendiri. Ada kesan, gerakan ini mulai kembali diperhatikan bersamaan Hari Koperasi, 12 Juli. Selebihnya, sama sekali tidak ada gaung, sepi, sunyi, senyap.

Padahal, kalau ingin maju seperti negara lain, koperasi harus dibina departemen teknis terkait. Koperasi yang bergerak di bidang pertanian selayaknya dibina Departemen Pertanian, koperasi di bidang perdagangan dibina Deperindag, koperasi simpan pinjam dibina Depkeu (atau bahkan BI), koperasi lainnya juga dibina oleh departemen teknis terkait.

Di sini, hal seperti itu langka, bahkan belum pernah dilakukan. Padahal, pembinaan lintas sektoral, antardepartemen dengan kementerian negara semacam ini penting dilakukan, tentu dilandasi bentuk kerja sama yang win-win dan semangat memajukan perekonomian rakyat.

Memang, sudah ada beberapa keberpihakan dari pemerintah, seperti kebijakan di bidang penyaluran pupuk, pengadaan pangan, pembelian cengkeh, dan sebagainya. Namun, bentuk perlindungan usaha semacam itu tidaklah utuh sebab sektor lain di luar koperasi masih dominan dalam kegiatan usaha yang dilindungi itu, misalnya masalah cengkeh, tata niaga jeruk, pengadaan pupuk, pengadaan susu, dan lainnya. Sektor usaha swastalah yang cenderung memiliki akses dari hulu ke hilir (dari industri manufaktur hingga akses pemasaran) sehingga koperasi berperan kecil dalam bisnis besar.

Setengah hati

Dalam pengembangan koperasi, keberpihakan pemerintah memang masih setengah hati. Fenomena semacam inilah yang justru sering menghancurkan koperasi. Karena itu, keberpihakan kepada koperasi harus diperluas, didahului kebijakan yang bersifat struktural. Namun, kebijakan itu sebaiknya diikuti kebijakan pendukung sehingga akan mendorong kemajuan koperasi. Kebijakan pendukung itu antara lain kebijakan di bidang perkreditan, perpajakan, tata niaga, investasi, perizinan, dan kebijakan lain, yang bertujuan mengonsolidasikan, mengembangkan potensi dan kehidupan koperasi, sekaligus mampu memajukan koperasi itu sendiri.

Dirgahayu koperasi.

Susidarto Mantan Pengurus Koperasi

Jumat, 10 Juli 2009

KOMPAS/ANTONY LEE
Sejumlah rumah masih belum dibongkar di jalur yang dilintasi Jalan Tol Semarang-Solo Seksi I Semarang-Ungaran di Kelurahan Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, seperti terlihat hari Rabu (8/7). Pemkab Semarang segera mengosongkan lahan itu karena warga sudah diberi konsinyasi. Pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa sejauh ini baru 19 persen.
Trans-Jawa Tersendat

Kamis, 9 Juli 2009 | 04:16 WIB

Jakarta, Kompas - Pembebasan lahan untuk Jalan Tol Trans-Jawa, yang akan menghubungkan Jakarta dan Surabaya, realisasinya baru 19 persen. Dari kebutuhan lahan seluas 4.658 hektar, yang dibebaskan baru 885 hektar. Oleh karena itu, pemerintah harus mencari cara terbaik jika ingin jalan tol tersebut segera dibangun.

Menurut Kepala Subdirektorat Pengadaan Lahan Departemen Pekerjaan Umum Wijaya Seta, terdapat beberapa kendala pembebasan lahan, antara lain, adalah masyarakat mematok harga terlalu tinggi.

”Lalu, ada investor yang lambat menyerahkan uang untuk lahan sehingga kerja Panitia Pembebasan Lahan terhambat,” kata Wijaya di Jakarta, Rabu (8/7).

Dalam catatan Kompas, hingga November 2007, lahan untuk Tol Trans-Jawa baru dibebaskan 75 hektar. Memang ada kemajuan hingga Juli ini, tetapi masih relatif lambat. Padahal, pemerintah menjanjikan tol dari Jakarta hingga Surabaya terhubung tahun 2010.

Proyek tol yang pembebasan lahannya lancar, kata Wijaya, adalah Solo-Ngawi, Cikampek- Palimanan, dan Semarang-Solo.

Perlakuan khusus diberikan pada Tol Solo-Mantingan-Ngawi (90,10 kilometer) dan Ngawi-Kertosono (87,02 kilometer). Karena dinilai tak layak finansial, pembebasan lahan untuk jalan tol tersebut menggunakan dana APBN.

”Dari dana yang dialokasikan pemerintah di Solo-Mantingan- Ngawi Rp 260 miliar, malah terserap seluruhnya,” kata Wijaya.

Oleh karena itu, Wijaya menyatakan lebih setuju bila seluruh biaya pembebasan lahan tol diambil dari APBN.

Lebih murah

Berdasarkan penghitungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), untuk membangun Tol Trans-Jawa dibutuhkan dana Rp 40 triliun. Dana itu termasuk Rp 4 triliun untuk pembebasan lahan.

”Kami terus mendekati pemerintah supaya pemerintah yang membebaskan lahan,” kata Direktur Operasional PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) Hudaya Arryanto dalam Rapat Umum Pemegang Saham CMNP, pekan lalu.

Akhir Juni lalu, di hadapan Direktur Jenderal Bina Marga, Departemen PU, Lembaga Penelitian Korea Transport Institute (Koti) menyarankan agar Pemerintah Indonesia membangun sendiri jaringan jalan tol di Sumatera. Alasannya, biaya membangun bisa lebih murah dan cepat selesai.

”Kami telah berpengalaman membangun 3.000 jalan tol di Korea. Dan, ternyata lebih baik dibangun oleh pemerintah,” kata Jo Junhaeng, Project Manajer Research Associate of Koti.

Sementara itu, kantor berita Antara mewartakan, PT Nusantara Infrastruktur Tbk (META) sedang merampungkan rencana akuisisi satu ruas tol di Jawa Barat. Namun, tak disebutkan lokasinya.

Sebelumnya, META mengakuisisi jalan tol Jakarta-Bumi Serpong Damai Tangerang, Bosowa-Makassar, dan Tol Bandara Makassar Seksi IV. (RYO)

Selasa, 07 Juli 2009

Membedah Utang Pemerintah



Oleh Sunarsip

Utang pemerintah kini menjadi isu politik yang ramai diperdebatkan. Satu pihak mengklaim bahwa pemerintah saat ini dinilai gemar berutang. Indikasinya, dalam lima tahun terakhir ini utang pemerintah telah bertambah Rp 400 triliun dari posisi 2004. Pemerintah pun membantah klaim itu. Pemerintah menilai bahwa pengelolaan utang pemerintah saat ini sudah semakin baik. Pemerintah mengakui bahwa utang nominal memang bertambah. Namun, Produk Domestik Bruto (PDB) naik tajam, sehingga rasio utang terhadap PDB turun drastis.

Bagaimana sesungguhnya posisi utang pemerintah kita? Apakah memang utang pemerintah sudah sangat mengkhawatirkan atau kita tak perlu mengkhawatirkan posisi utang pemerintah?Penulis berpendapat kedua klaim tersebut adalah benar. Dari sisi nominal, utang pemerintah memang meningkat cukup besar. Berdasarkan data Departemen Keuangan (Depkeu) disebutkan bahwa bila pada akhir 2004 posisi utang pemerintah Rp 1.300 triliun, pada Maret 2009 sudah mencapai Rp 1.700 triliun.

Itu artinya, dalam lima tahun terakhir utang pemerintah bertambah Rp 400 triliun. Apakah situasi ini lantas dapat disimpulkan bahwa pemerintah sekarang gemar berutang?Inilah bedanya bahasa politik dengan bahasa ekonomi. Seringkali, bahasa politik memang tidak seirama dengan bahasa ekonomi. Padahal, keputusan utang pemerintah adalah keputusan politik antara pemerintah dan DPR.

Klaim pemerintah bahwa rasio utang pemerintah terus menurun juga benar. Data Depkeu memperlihatkan bahwa pada akhir 2004, rasio utang terhadap PDB sebesar 56 persen, maka pada akhir 2008 tinggal 33 persen.Bahkan, pemerintah mengklaim bahwa rasio utang kita jauh lebih baik dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) sebesar 81 persen dan Jepang sebesar 217 persen.

Meski kedua klaim tersebut benar, namun publik perlu mendapat informasi yang lebih utuh terhadap isu utang pemerintah ini. Bahwa, bertambahnya utang pemerintah bukanlah sesuatu yang haram.Menggunakan analogi di swasta, semakin tinggi skala usaha perusahaan, utangnya pun biasanya bertambah besar. Dalam dunia bisnis sekarang, hampir mustahil, pengusaha menggunakan modalnya sendiri untuk membiayai seluruh kebutuhan ekspansi usaha. Maka, di sinilah kemudian muncul peran perbankan dan pasar modal untuk membiayai kegiatan ekspansi usaha swasta.

Analog dengan swasta, kalau kita ingin mengembangkan ekonomi kita, utang sesungguhnya sebuah keniscayaan. Tak mungkin pemerintah hanya mengandalkan pajak untuk membiayai pembangunannya. Hampir tak ada negara di dunia ini yang tidak melakukan utang.Sesungguhnya, masalah utang bukan terletak pada berapa besarnya tambahan utang secara nominal. Terdapat sejumlah isu yang perlu lebih dicermati dari isu utang pemerintah ini.

Pertama, apakah utang telah dikelola dengan baik? Kedua, apakah utang kita telah mampu meningkatkan skala ekonomi? Ketiga, apakah peningkatan skala ekonomi tersebut telah dioptimalkan untuk peningkatan kemampuan membayar utang? Keempat, bagaimana kita memperoleh utang tersebut?Penulis melihat bahwa utang pemerintah kini telah dikelola dengan manajemen yang lebih baik. Komposisi utang pemerintah kini dinilai lebih aman karena strukturnya yang lebih banyak ke utang domestik.

Pada 2004, rasio utang luar negeri (ULN) terhadap PDB sebesar 28 persen dan rasio utang domestik sebesar 28 persen terhadap PDB. Pada 2008, rasio ULN terhadap PDB sebesar 12 persen dan rasio utang domestik sebesar 21 persen terhadap PDB. Kinerja pengelolaan utang pemerintah ini juga telah mendapat pengakuan sejumlah lembaga internasional. Pada 11 Juni 2009, Moody's menaikkan prospek utang Indonesia dari stabil ke positif, meski peringkat utang kita tidak mengalami perubahan, yaitu tetap di posisi Ba3.

Skala ekonomi kita juga telah mengalami peningkatan yang signifikan, sebagaimana terlihat dari PDB kita. Pada 2008, PDB kita mencapai Rp 4.954 triliun atau meningkat 116 persen dibandingkan akhir 2004 yang sebesar Rp 2.296 triliun.Peningkatan PDB ini kemudian menurunkan rasio utang kita. Namun demikian, menggunakan ukuran PDB untuk menentukan rasio utang pemerintah sesungguhnya memiliki sejumlah kelemahan.

PDB adalah ukuran ekonomi yang dihitung berdasarkan produk yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi yang berada di Indonesia, baik itu domestik maupun asing. Sementara, utang pemerintah digunakan untuk kegiatan ekonomi domestik dan menjadi beban penduduk Indonesia.Struktur PDB kita sangat berbeda dengan negara-negara lain. AS dan Jepang, misalnya, pertumbuhan ekonominya sebagian besar ditopang oleh investasi domestik.

Dengan demikian, PDB mereka lebih merupakan cerminan dari kemampuan pelaku ekonomi domestiknya, termasuk kemampuan membayar utang pemerintahnya. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia yang masih menggantungkan investasi asing yang cukup tinggi. Oleh karenanya, membandingkan rasio utang kita dengan rasio utang negara lain adalah sesuatu yang tidak apple to apple.

Atas kelemahan ini, kini muncul wacana agar kita tidak menggunakan ukuran PDB dalam menilai posisi utang pemerintah, tetapi menggunakan ukuran pendapatan nasional (national income), yaitu PDB dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri (swasta dan pemerintah), keuntungan yang direpatriasi investor asing ke luar negeri, dan penyusutan.

Meskipun PDB kita telah mengalami peningkatan, namun optimalisasi manfaat PDB bagi kepentingan pemerintah sesungguhnya masih rendah. Setidaknya, ini bisa dilihat dari rasio perpajakan (tax ratio) kita terhadap PDB. Pada 2008,tax ratio kita mencapai 13,6 persen. Bandingkan dengan tax ratio -nya AS sebesar 28,2 persen dan Jepang sebesar 27,4 persen pada 2005. Semestinya, pada 2009 ini tax ratio kita bisa mencapai 16 persen. Dengan kata lain, sesungguhnya bila kita dapat meningkatkan tax ratio , peran utang pemerintah dapat dikurangi.

Komposisi utang pemerintah memang telah membaik, karena utang yang bertambah adalah dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) rupiah yang diterbitkan di dalam negeri agar dapat mengurangi ULN. Namun, biaya untuk menerbitkan SUN cukup mahal. Setidaknya, ini bisa dibaca dari tingkat kupon SUN yang jauh di atas suku bunga deposito. Situasi inilah yang justru telah menyebabkan tekanan likuiditas perbankan di pasar finansial domestik, seperti yang terjadi pada pertengahan 2008.

Kesimpulannya, penambahan utang pemerintah sesungguhnya tak perlu dianggap sebagai suatu yang menakutkan apalagi diharamkan. Namun, penambahan utang pemerintah juga perlu memerhatikan bagaimana upaya pengembaliannya.Dengan kata lain, sekalipun utang pemerintah telah memberikan dampak multiplier terhadap perekonomian, hal itu harus diikuti dengan optimalisasinya, yaitu dengan memperkuat tax ratio kita. Tentunya, ini menjadi tantangan Depkeu bagaimana upayanya meningkatkan pajak, khususnya pajak bagi korporasi besar.

Senin, 06 Juli 2009

Analisis Danareksa Perang Tarif Telekomunikasi

Oleh Chandra Pasaribu

Masih ingat pada 2008 hampir semua operator telekomunikasi berlomba menawarkan tarif dengan banyak nol atau dengan kata lain menawarkan tarif yang sangat murah. Ini menunjukkan bahwa kompetisi sesungguhnya ada dan menguntungkan masyarakat yang menikmati tarif yang lebih murah. 

Bahkan, terjadi pergeseran moda komunikasi dari mengirim pesan layanan singkat (SMS) menjadi lebih baik menelepon karena murahnya tarif untuk melakukan panggilan telepon daripada mengirim SMS. Sebagai akibatnya, tarif SMS juga menjadi murah.

Apakah kita masih melihat perang tarif yang berkelanjutan dan menikmati tarif yang lebih murah lagi? Tarif komunikasi yang sangat murah berdampak langsung terhadap teledensitas dan penyebaran jasa telekomunikasi sampai pelosok-pelosok di berbagai daerah di Indonesia.

Sejauh ini diperkirakan terdapat 160 juta pelanggan yang dilayani oleh sembilan operator. Ini berarti di antara setiap 100 penduduk Indonesia, sebanyak 70 penduduk telah memiliki telepon seluler.

Akan tetapi, angka ini relatif overstated karena banyak pengguna telepon seluler, terutama di kota-kota besar, memiliki telepon seluler lebih dari satu. Namun, dengan tingkat penetrasi yang sudah relatif tinggi, peluang pertumbuhan bagi operator menjadi lebih terbatas.

Peningkatan teledensitas juga berdampak positif bagi perekonomian karena meningkatkan efisiensi dari arus informasi yang bertambah lengkap.

Seperti yang sering diiklankan, seorang tukang sayur telah mempunyai telepon seluler sehingga bisa melayani pembelinya dengan lebih baik. Atau seorang tukang ojek bisa ditelepon untuk jasa antar jemput pada waktu tertentu. Ini semua hanya contoh kecil dari bergeraknya roda ekonomi karena membaiknya arus informasi.

Namun, kembali ke pertanyaan utama, apakah mungkin kita melihat tarif telepon jatuh lebih rendah lagi?

Rasanya tidak, semata-mata karena pertimbangan ekonomis. Tarif yang sangat murah memang menguntungkan konsumen. Namun, tarif yang murah tidak memberikan imbal balik yang memadai untuk operator guna menjaga kesinambungan usaha.

Perlu diingat bahwa industri telekomunikasi merupakan industri yang padat modal dan sarat dengan teknologi. Semakin pesat majunya perkembangan teknologi komunikasi, operator perlu melakukan reinvestasi supaya tetap dapat melayani konsumen dengan teknologi yang mutakhir.

Jika tidak, kualitas layanan akan semakin tertinggal dengan negara-negara lain. Iklan promo tarif, baik di media elektronik maupun cetak, merupakan analisis kasatmata mengenai strategi ataupun struktur tarif dari operator.

Pada tahun lalu, kita disuguhkan berbagai macam iklan dengan menawarkan tarif yang sangat murah dan beradu panjang jumlah nol.

Akan tetapi, dari awal tahun 2009, kita sudah sangat jarang melihat penawaran yang supermurah tersebut. Ini berarti bahwa para operator cenderung menahan diri karena perang tarif pada akhirnya berdampak buruk terhadap profitabilitas ataupun arus kas perusahaan.

Padahal, arus kas operasi sangat penting guna membayar utang ataupun untuk melakukan investasi. Penurunan tarif dapat dilakukan apabila memang nilai investasi per pelanggan turun.

Artinya, imbal balik dari investasi bisa tetap menguntungkan meskipun dengan tarif yang lebih murah.

Pada kenyataannya, nilai investasi per pelanggan tidak turun berkisar pada 100 dollar AS per sambungan. Meskipun harga perangkat elektronik mengalami penurunan, gejolak kurs belakangan ini berakibat nilai investasi dalam rupiah tidak turun.

Di samping itu, investasi pada base transceiver station (BTS) menjadi lebih mahal karena semakin sukarnya mendapatkan izin pembangunan BTS. Jadi, secara keseluruhan nilai investasi tidak turun.

Menjadi simalakama

Guna menjaga imbal balik yang wajar, operator tidak mungkin untuk menurunkan tarif lebih jauh jika ingin tetap mengembangkan usahanya.

Pada 2008, operator berlomba-lomba menjadi operator dengan tarif yang paling murah. Pada awalnya, strategi ini dianggap sangat berhasil karena operator berhasil meningkatkan jumlah pelanggan dalam waktu singkat.

Namun, dalam jangka waktu menengah, strategi ini menjadi buah simalakama. Tarif yang murah mengakibatkan volume penggunaan yang sangat tinggi sehingga kadang-kadang melebihi kemampuan kapasitas jaringan.

Untuk menjaga kualitas pelayanan, operator terpaksa melakukan perluasan kapasitas jaringan. Ini membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit.

Jika penurunan tarif tidak diimbangi dengan investasi tambahan, jaringan tidak akan mampu melayani trafik yang demikian besarnya.

Pada tarif dengan banyak nol tidak memberikan imbal balik yang memadai. Berarti, bertambah alasan untuk menghentikan perang tarif.

Berdasarkan teori ekonomi mikro, profitabilitas akan mencapai tingkat optimal apabila marginal revenue (MR) sama dengan marginal cost (MC).

Bila MR lebih besar daripada MC, ekspansi usaha akan menghasilkan tambahan keuntungan. Akan tetapi, bila MR lebih kecil daripada MC, ekspansi usaha justru menimbulkan kerugian.

Dari empat operator yang mencatatkan sahamnya di bursa saham, hanya Bakrie Telecom dan Indosat yang mencatatkan MR lebih besar daripada MC, sedangkan Telkomsel dan XL mencatatkan posisi yang negatif.

Meskipun Bakrie Telecom dan Indosat berada pada jalur yang benar, pertambahan keuntungannya semakin mengecil. Ini berarti bahwa perang harga belum tentu memberikan pertambahan keuntungan bagi perusahaan.

Penurunan tarif guna meningkatkan pendapatan didasari pada prinsip ekonomi mikro elastisitas permintaan. Pada titik harga yang relatif tinggi, seperti tarif di atas Rp 1.000 per menit, menurunkan harga menjadi hal yang benar karena diimbangi dengan meningkatnya volume percakapan.

Sebagai contoh, Telkomsel telah menurunkan tarifnya dari rata-rata Rp 1.000 menjadi kisaran Rp 300 per menit selama tahun 2008. Volume percakapan meningkat drastis menjadi tiga kali lipat.

Jadi, dari penurunan tarif sebesar 70 persen berakibat volume naik hampir tiga kali lipat sehingga total pendapatan masih meningkat.

Akan tetapi, diperkirakan jika tarif dipotong lagi sebesar 70 persen, belum tentu didapat efek kenaikan volume yang sama sehingga penurunan tarif menjadi tidak efektif.

Dewasa ini pasar telekomunikasi Indonesia dilayani oleh 10 operator, di mana lima di antaranya telah mencatatkan sahamnya di pasar modal.

Dari lima perusahaan yang telah tercatat di bursa, Mobile 8 atau yang dikenal dengan merek dagang Fren sedang mengalami kesulitan usaha. Hal itu ditandai dengan macetnya pembayaran bunga obligasi.

Sekarang ini, Mobile 8 sedang dalam restrukturisasi utang guna menjaga kesinambungan usaha. Ini merupakan bukti nyata, di mana Mobile 8 merupakan korban dari sengitnya persaingan usaha.

Diperlukan dukungan modal yang kuat guna menjaga kelangsungan usaha. Operator seperti 3 dan Axis didukung oleh grup usaha asing dengan kekuatan modal yang sangat besar.

Meskipun kinerja operasionalnya buruk, kedua perusahaan ini tetap langgeng berkat dukungan modal dari pemilik saham utama. Jika bantuannya diberhentikan, kelangsungan usahanya menjadi tanda tanya.

Tahun 2008, ditandai dengan maraknya persaingan harga, baik pada tarif percakapan maupun tarif SMS. Penurunan harga tentunya sangat menguntungkan konsumen dan meningkatkan teledensitas.

Deparpostel dan BRTI harusnya bersuka cita bahwa industri telekomunikasi telah berkembang sedemikian jauh.

Akan tetapi, perlu diperhatikan rambu-rambu menuju persaingan yang sehat sehingga kesinambungan usaha terjaga dan pada akhirnya masyarakat merasakan manfaat dari industri telekomunikasi.

Chandra Pasaribu, Equity Analyst PT Danareksa Sekuritas

ANALISIS EKONOMI Koperasi sebagai Gerakan Pembebasan

Oleh FAISAL BASRI

Data terkini yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta jiwa. Namun, jumlah penduduk miskin tahun 2009 tak banyak berubah dibandingkan dengan 13 tahun lalu. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin tercatat 34,5 juta atau 17,7 persen dari jumlah penduduk. Pada tahun 2009 turun menjadi 32,5 juta atau 14,2 persen.

Jika kita menggunakan patokan pengeluaran per kapita sehari sebesar 1 dollar AS atau sekitar Rp 10.200 (versi Bank Dunia), upaya memerangi kemiskinan di Indonesia terbukti paling majal. Selama kurun waktu 1996-2008, jumlah penduduk miskin hanya turun dari 7,8 persen menjadi 5,9 persen atau 190 basis poin (bp).

Bandingkan dengan Vietnam yang turun dari 23,6 persen menjadi 3 persen (2.060 bp), China 1.030 bp, Kamboja 1.550 bp, Laos 2.910 bp, dan Filipina 790 bp. Malaysia dan Thailand tidak dimasukkan dalam perbandingan karena kemiskinan absolut di sana sudah hampir sirna.

Perlu diingat bahwa ukuran kemiskinan Badan Pusat Statistik adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, tak berarti bahwa yang berada di atas garis kemiskinan sudah hidup layak. Mayoritas mereka hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Bung Karno pernah berujar, ”Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia Merdeka.” Hampir 65 tahun merdeka seharusnya waktu yang cukup untuk mengentaskan orang miskin.

Hampir dua pertiga penduduk miskin berada di pedesaan, sementara sebagian besar penduduk desa bertumpu pada sektor pertanian. Oleh karena itu, kita patut menduga bahwa ada masalah struktural di sektor pertanian dan mekanisme ekonomi di pedesaan yang membuat kita gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan. Keadaan ini menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi sehingga menjadi penyumbang utama kemiskinan di perkotaan.

Sudah saatnya kita lebih mengatasi kemiskinan struktural dari akar persoalan.

Tak seperti kaum buruh yang lebih terorganisasi, kaum petani (dan juga) nelayan sangat terfragmentasi. Organisasi petani tak mengakar serta lebih kerap terkooptasi oleh kekuatan politik dan kapitalis kota. Gerakan petani mandiri memang sudah mulai tumbuh, tetapi masih sangat sporadis.

Koperasi adalah wadah untuk mengorganisasikan kekuatan rakyat yang berserakan. Ini barangkali yang hilang dari perjalanan koperasi di Tanah Air. Koperasi bukan sekadar sosok bangun usaha, melainkan suatu gerakan untuk menghimpun kekuatan rakyat, terutama di pedesaan, untuk menghadapi kekuatan kapitalis yang menindas.

Gerakan koperasi ditantang untuk memperkokoh tiga pilar kekuatan ekonomi rakyat.

Pertama, meningkatkan produksi yang mengacu pada peningkatan produktivitas dan kemandirian. Belajar dari gerakan petani di Sumatera Barat, para petani mengembangkan sistem pertanian organik yang bertumpu pada potensi lokal. Dengan sentuhan teknologi tepat guna, produksi lambat laun meningkat dengan kualitas yang lebih baik. Sementara itu, ongkos produksi bisa ditekan. Lebih penting lagi, petani tak bergantung pada sarana produksi yang dihasilkan oleh industri yang berasal dari luar wilayah.

Kedua, membangun ”serikat dagang rakyat”. Petani tak boleh dibiarkan langsung menghadapi kekuatan kapitalis kota. Kekuatan kolektif petani niscaya akan mengangkat harga produksi pertanian sehingga nilai tambah hasil tani lebih banyak dinikmati oleh petani sendiri. Jaringan distribusi yang efisien juga akan menekan selisih harga jual di tingkat konsumen dan harga di tingkat petani.

Penegakan kedua pilar di atas belum tentu menjamin pengembangan dan penguatan sistem perekonomian desa. Jika pendapatan petani meningkat, tetapi tabungan mereka disimpan di bank komersial, dana akan mengalir ke kota. Perbankan nasional lebih suka menyalurkan dana masyarakat untuk kredit konsumsi dan proyek-proyek besar yang tak terkait dengan kepentingan mayoritas rakyat yang berada di pedesaan.

Lebih ironis lagi, perbankan nasional tak memberikan tempat bagi penabung kecil. Para penabung kecil dikenai ongkos administrasi yang lebih besar ketimbang bunga. Tabungan rakyat kecil lambat laun akan tergerus hingga nol dan akhirnya otomatis ditutup.

Kembali ke Sumatera Barat. Di beberapa kabupaten sudah bermunculan banyak ”bank” rakyat berbadan hukum koperasi yang mereka namai Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Para pemegang sahamnya adalah petani sendiri. Setiap petani menyetor penyertaan saham sebesar Rp 100.000. Di daerah-daerah yang lebih makmur, setoran petani bisa mencapai Rp 400.000. Inilah cikal-bakal bank rakyat atau bank petani.

Langkah selanjutnya adalah mendorong LKMA membentuk LKMA-induk, semacam holding company, agar perputaran dana bisa kian meluas, melintasi kecamatan dan kabupaten/kota. Bahkan, suatu ketika nanti, melintasi provinsi.

Alangkah eloknya apabila pemerintah berinisiatif mendirikan bank pertanian sehingga bisa lebih cepat mengangkat nasib ratusan juta warga yang kehidupannya bertumpu pada sektor pertanian.

Bank pertanian ini bisa menyalurkan dana kepada LKMA atau lembaga keuangan sejenis karena lembaga-lembaga keuangan rakyat inilah yang paling tahu kebutuhan petani.

Koperasi kita, dengan semangat sebagaimana diembuskan oleh Bapak Koperasi, Bung Hatta, bisa jauh lebih unggul ketimbang Bank Grameen yang tersohor itu.

Selamat Hari Koperasi (12 Juli).

Sabtu, 04 Juli 2009

BI Tidak Bisa Memaksa Bank Suku Bunga Kredit tetap Tinggi

Jakarta, Kompas - Suku bunga acuan atau BI Rate sudah 6,75 persen, bunga deposito telah dipangkas menjadi 7,44 persen, tetapi suku bunga kredit masih bertengger di level 13-14 persen per tahun. Bahkan, perbankan masih menaikkan suku bunga kredit konsumsi. 

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Jumat (3/7), kembali menurunkan BI Rate 25 basis poin (bp) menjadi 6,75 persen. Dengan demikian, sejak awal 2009, BI Rate telah diturunkan sebanyak 250 bp.

Penurunan BI Rate bertransmisi cukup baik ke suku bunga deposito. Pada periode April-Mei 2009, rata-rata tertimbang suku bunga deposito satu bulan untuk seluruh kelompok bank turun 65 bp, lebih besar daripada penurunan BI Rate yang 50 bp.

Penurunan tersebut khususnya ditopang oleh pelaku bank asing dan bank swasta nasional. Namun, penurunan BI Rate tidak bertransmisi dengan baik pada suku bunga kredit.

Sepanjang April-Mei 2009, suku bunga dasar kredit hanya turun 29 bp. Berdasarkan penggunaannya, suku bunga kredit modal kerja turun 31 bp menjadi 14,68 persen dan suku bunga kredit investasi turun 11 bp menjadi 13,94 persen.

Sementara itu, suku bunga kredit konsumsi justru naik sebesar 11 bp menjadi 16,57 persen.

Pejabat sementara Gubernur BI Miranda S Goeltom mengatakan, suku bunga kredit telah berada dalam tren menurun meskipun penurunannya tidak secepat yang diharapkan.

BI akan terus mendorong penurunan suku bunga kredit. Namun, ujar Miranda, BI tidak bisa lagi memaksa bank untuk menurunkan bunga kreditnya.

Risiko kredit bermasalah

Menurut laporan BI, lambannya penurunan suku bunga kredit antara lain terkait upaya perbankan dalam mengantisipasi risiko peningkatan kredit bermasalah. Selain itu, karena masih tingginya biaya dana dan persaingan antar bank dalam menarik deposan besar.

Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengusulkan agar perbankan, termasuk bank asing, dilarang menawarkan suku bunga deposito di atas bunga penjaminan yang saat ini sebesar 7,5 persen.

Di Bandung, Menteri Negara Perumahan Rakyat M Yusuf Asy’ary mengimbau perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit pemilikan apartemen dan kredit pemilikan rumah.

Direktur Utama BTN Iqbal Latanro mengatakan, pihaknya baru menurunkan suku bunga kredit sebesar 0,5-2 persen pada Juli 2009. Suku bunga KPR BTN saat ini sebesar 13 persen per tahun. (FAJ/BAY)

Anomali pada Bursa Indonesia


Jakarta, Kompas
- Di tengah pelemahan sebagian besar bursa dunia akibat derasnya sentimen negatif, indeks harga saham dalam negeri lagi-lagi masih menguat. Pasar modal Indonesia berpotensi memberikan tingkat keuntungan lebih besar.

Pada penutupan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Jumat (3/7), indeks harga saham gabungan menguat 9,55 poin atau 0,46 persen menjadi 2.075,30.

Adapun Indeks LQ45 naik 2,72 poin atau 0,68 persen ke level 404,83 dan Indeks Kompas100 naik 3,19 poin atau 0,63 persen menjadi 504,71.

Sekalipun tipis, penguatan indeks harga saham dalam negeri ini cukup mencengangkan pelaku pasar modal.

Sebelumnya, sejumlah analis memperkirakan, indeks harga saham dalam negeri akan anjlok menyusul derasnya sentimen negatif yang mengalir beberapa hari terakhir sehingga menekan indeks di bursa global, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.

Pada sesi pertama perdagangan, Jumat kemarin, IHSG sempat anjlok sampai 20 poin atau hampir 1 persen. Namun, di sesi kedua, IHSG berangsur membaik dan akhirnya ditutup positif.

Sementara itu, mayoritas bursa kawasan pada perdagangan kemarin ditutup melemah. Indeks Nikkei-225 di Jepang turun 0,61 persen dan Indeks Straits Times di Singapura turun 0,91 persen, sedangkan Indeks Hang Seng di Hongkong naik 0,14 persen.

Adapun Indeks Dow Jones Industrial Average pada perdagangan saham di New York Stock Exchange, Kamis waktu setempat, anjlok hingga 2,63 persen.

Pelemahan ini terjadi karena adanya sentimen negatif pelaku pasar modal terhadap peningkatan angka pengangguran di AS, dari 322.000 orang pada Mei 2009 jadi 467.000 orang (Juni 2009) atau tertinggi sejak 1983.

Direktur PT CIMB-GK Securities Indonesia William Henley memperkirakan, tingginya angka pengangguran di AS akan mengurangi konsumsi minyak dunia sehingga akan berpengaruh pada harga komoditas dan energi lainnya. Harga minyak yang saat ini berada di kisaran 66 dollar AS per barrel diperkirakan akan diperdagangkan berdasarkan harga fundamentalnya, yaitu 50-55 dollar AS per barrel.

Pengamat pasar modal, Robert Nayoan, mengatakan, penguatan indeks harga saham di BEI termasuk anomali. Penguatan itu dipicu oleh pengumuman Bank Indonesia yang menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen. BI melakukan itu setelah melihat data inflasi Juni 2009 yang turun menjadi 3,65 persen (YoY) dan 0,11 persen (MoM).

Selain didukung fundamental yang kuat, lanjut Robert, turunnya BI Rate kembali memperkuat tesis bahwa Indonesia dan BEI adalah ”firdaus investasi global” atau tempat yang sangat menjanjikan bagi investor.

Dinilai cukup menjanjikan karena pasar modal Indonesia berpotensi memberikan tingkat keuntungan di atas yang disyaratkan oleh investor global.

Selanjutnya, keuntungan yang diperoleh investor di bursa Indonesia dipakai untuk menutup kerugian investasi akibat krisis pada akhir 2008. (REI)

 

 

KOLOM POLITIK EKONOMI Berdemokrasi secara Demokratis


Andi Suruji


Ketika ikut rombongan kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla ke beberapa kota di kawasan timur, awal pekan ini, betapa bahagia hati saya. Sepanjang jalan yang dilalui tampak bertebaran spanduk dan baliho pasangan calon presiden dan calon wakil presiden SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Penempatannya kadang kala sejajar berdampingan berselang-seling, kadang di bawah dan di atas. Sesekali diselingi alat kampanye pasangan Megawati-Prabowo.

Warna-warni, colourfull, menyenangkan. Dalam hati berkata, indah nian keberagaman dan perbedaan di negeri ini. Tim kampanye pasangan peserta pemilu berlomba-lomba menempatkan poster, spanduk, dan baliho jagoannya masing-masing pada tempat-tempat dan posisi strategis. Tujuannya tentu menarik perhatian publik, terutama calon pemilih, agar memilihnya pada hari pemungutan suara 8 Juli nanti. Tertib tanpa saling merecoki satu sama lain.

Semestinya memang begitulah pesta demokrasi. Meriah, menghibur, lalu membuat rakyat senang dalam kedamaian dengan semangat kompetisi yang sehat, jujur, dan adil. Dengan demikian, pesta demokrasi menjadi sesuatu yang mencerahkan, sarana pendidikan politik yang baik bagi rakyat.

Lebih dari itu, pesta demokrasi dengan segala hiruk-pikuknya juga memberi manfaat ekonomi bagi rakyat. Pencetak stiker, penyablon baju kaus, spanduk, baliho, pembuat kotak suara, pencetak surat suara, semuanya kecipratan rezeki selama masa kampanye dan pelaksanaan pemilihan anggota legislatif sampai pemilihan presiden dan wakil presiden nanti.

Pembuat bingkai foto presiden dan wakil presiden pun tentu siap-siap beraksi menangguk rezeki. Tidak mungkin lagi foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang terpasang dalam lima tahun kemudian. Jika Presiden SBY terpilih, foto wakil presidennya digantikan oleh Boediono. Sebaliknya, jika JK terpilih jadi presiden, foto Wiranto harus dipasang. Demikian pula manakala Megawati dan Prabowo memenangi pemilu. Pendeknya, captive market-lah.

Anggaran Komisi Pemilihan Umum saja, yang dibiayai dengan uang rakyat, sudah mencapai puluhan triliun rupiah. Belum lagi anggaran peserta pemilu yang berasal dari kocek sendiri maupun sumbangan yang mengalir dari mana-mana.

Berdemokrasi bagi rakyat Indonesia sebenarnya bukanlah baru 4 atau 10 tahun terakhir saja ketika euforia reformasi bergema di Nusantara. Jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk, demokrasi telah tumbuh subur di berbagai pojok Nusantara. Walaupun sebatas cara-cara primitif karena belum ada sarana pendidikan politik modern yang memadai, demokrasi sudah bersemi di tengah masyarakat dengan ciri khas dan warna-warni daerah masing-masing.

”Maredekai tau wajo’e ade’ na mi napopuang (Merdeka orang Wajo (Bugis) hanya adat (hukum) yang dipertuan)” adalah contoh ungkapan prinsip mulia orang-orang Bugis yang sejak lama menjunjung tinggi nilai-nilai luhur hukum atau adat.

Orang Wajo hanya mempertuan atau mengabdi pada hukum atau adat, bukan pada pribadi pemimpin. Sungguh demokratis. Manakala rakyat mempertuan individu, yang terjadi pengultusan.

Nene Mallomo (tokoh Bugis yang dikenal amat mulia dan terhormat lagi bijaksana) di Sidenreng Rappang pun sudah masyhur sebagai penegak hukum sejati. Ia tidak pandang bulu dalam menegakkan adat. Prinsipnya yang terkenal ialah ade’e temmakkeana temmakkeappo (hukum atau adat tidak mengenal anak maupun cucu). Siapa yang bersalah ia harus menerima hukuman. Maka, dihukumlah anak keturunannya sendiri, hanya gara-gara mengambil sepotong kayu pasak alat bajak sawah milik orang lain. Ia dihukum karena mengambil milik orang lain tanpa permisi, bukan karena nilai barang yang diambilnya.

Substansi cerita ini adalah menghukum perilaku yang salah. Sebab, perilaku merampas milik orang lain itulah yang konon kisahnya menyebabkan alam menghukum rakyat seluruh negeri dengan paceklik bertahun-tahun. Dimensi dari dampak perbuatan salah itulah yang dijadikan pertimbangan dijatuhkannya hukuman. Demokratis juga, bukan?

Tentu hanyalah bangsa

demokratis yang mau menempatkan hukum tanpa pandang bulu pada posisi tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Syukurlah, kita sebagai bangsa tengah membangun demokrasi, menuju masyarakat yang demokratis.

Demokrasi menjunjung kesetaraan hak dan kewajiban setiap individu. Itu juga terjamin dalam konstitusi. Setiap warga negara yang memenuhi syarat, sehat, waras, dijamin hak-hak demokrasinya, seperti memilih dan dipilih. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar bermakna persatuan dalam keberagaman, tetapi juga termasuk kesetaraan hak dan kewajiban.

Jika ada pihak yang menunjuk orang lain, suku dan golongan tertentu belum saatnya, atau hanya golongannyalah yang berhak

memimpin bangsa dan negara, seperti isu panas belakangan ini, tentu itu jauh dari semangat demokrasi. Kita prihatin, sedih, atau mungkin menangis. Sebab, kalau itu benar, kita ternyata masih berada

di bawah level demokrasi primitif sekalipun. Demokrasi ala masyarakat ”primitif” saja sudah mengenal cara elegan dan bermartabat dalam memilih pemimpin.

Masyarakat ”primitif” pun sudah mengenal cara demokrasinya sendiri. Disepakati dan dijalankan secara konsisten dengan komitmen penuh, jujur, adil, dan sportif.

Dalam konteks kekinian, siapa yang diingini dan dipilih rakyat, sejauh itu murni tanpa tekanan, intimidasi, kecurangan, dan manipulasi, dialah yang harus tampil untuk memajukan perikehidupan bangsa. Bukan berkuasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, golongan, dan kroni saja.

Malulah kita yang hidup di era seabad kebangkitan nasional kalau masih ada pihak yang mempersoalkan suku dan

golongan, bukannya kompetensi, dalam memilih pemimpin. Padahal, kebangkitan nasional menuju kesejahteraan umum telah dibangun di atas fondasi pluralisme. Jadi, marilah kita berdemokrasi secara demokratis.