Rabu, 15 April 2009

Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2010 Lima Persen

Jakarta, Kompas - Seiring dengan rendahnya gelombang krisis ekonomi global, Pemerintah Indonesia memperhitungkan perekonomian nasional tahun 2010 akan tumbuh 5 persen.

Namun, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun depan akan tetap dititikberatkan pada upaya pemulihan ekonomi dari tekanan krisis.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pengantarnya ketika membuka rapat kabinet paripurna di Jakarta, Selasa (14/4), mengatakan, stimulasi pertumbuhan dan pengembangan jaring pengaman sosial tetap menjadi dua pilar utama pada struktur APBN.

Menurut Presiden, pemerintah memilih untuk menetapkan sasaran yang konservatif mengingat masih tingginya ketidakpastian perekonomian global.

”Ini musim kampanye, saya dengar ada yang ingin tahun-tahun depan ekonomi tumbuh 12 persen. Itu saya tidak paham, bagaimana cara menuju ke situ?” ujar Presiden Yudhoyono.

Seusai rapat kabinet paripurna, Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa total penerimaan negara tahun 2010 diperhitungkan Rp 871,9 triliun, sedangkan total belanja Rp 949,1 triliun. Dengan demikian, terdapat defisit anggaran pemerintah sebesar Rp 77,2 triliun atau 1,3 persen.

Sasaran makroekonomi tersebut didesain dengan memperhitungkan penurunan penerimaan pajak, antara lain karena penurunan tarif pajak penghasilan badan.

Terkait dengan kondisi global yang berdampak pada kinerja ekspor dan impor domestik, Sri Mulyani mengingatkan bahwa perekonomian global baru pada tahap awal pemulihan tahun depan.

”Meskipun pertumbuhan global sudah mulai positif 1 hingga 2 persen pada 2010, tetapi tingkat pengangguran di negara-negara yang menjadi pusat krisis masih tinggi. Karena itu, percepatan pertumbuhan ekonomi global belum optimal,” ujar Sri Mulyani Indrawati. (DAY)

Transaksi Saham Masih Semarak


Wijaya Karya Mendapat Kontrak Baru
Rabu, 15 April 2009 | 04:02 WIB

Jakarta, Kompas - Euforia pemilihan umum legislatif di pasar saham dalam negeri terus berlangsung. Investor kembali melakukan aksi beli sehingga semakin mengangkat indeks harga saham. Nilai transaksi juga meningkat cukup tinggi dan melebihi posisi rata-rata transaksi pada tahun 2008.

Pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Selasa (14/4), indeks harga saham gabungan naik 29,858 poin atau 1,94 persen menjadi 1.570,26, sedangkan Indeks LQ-45 naik 5,89 poin atau 1,93 persen menjadi 312,15 dan Indeks Kompas100 naik 7,08 poin atau 1,87 persen menjadi 384,43.

Peningkatan ini semakin memperkuat posisi ketiga indeks utama di BEI tersebut setelah Senin lalu masing-masing melambung 5,09-5,97 persen.

Pada sesi pertama perdagangan kemarin, indeks saham di BEI sempat melemah akibat aksi ambil untung para pedagang saham. Namun, pelemahan itu tidak berlangsung lama karena permintaan beli jauh lebih tinggi daripada permintaan jual.

Selain harga saham yang masih menguat, peningkatan juga terjadi pada nilai transaksi. Sampai penutupan perdagangan, tercatat jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 8,756 miliar saham, senilai Rp 4,668 triliun.

Nilai transaksi sebesar itu termasuk yang tertinggi di tahun 2009, sedangkan rata-rata nilai transaksi di BEI tahun 2008 sebesar Rp 4,45 triliun per hari.

Penguatan indeks kemarin masih didominasi saham-saham sektor pertambangan yang naik sebesar 4,63 persen.

Kepala Riset Recapital Securities Poltak Hotradero sebelumnya memperkirakan, euforia pemilu di pasar modal hanya bersifat sementara.

Setelah euforia ini surut, investor diperkirakan akan kembali memerhatikan perkembangan fundamental makroekonomi Indonesia dan kinerja emiten, sedangkan para pedagang saham diperkirakan akan menyusun analisa teknikal yang baru untuk melihat tren perkembangan harga saham.

Selasa, 07 April 2009

Menurunkan Suku Bunga


Begitu keluhan dunia usaha. Suku bunga acuan atau BI Rate telah turun drastis, kini 7,5 persen, tetapi belum diikuti perbankan secara signifikan.

Masuk akal jika pelaku usaha, seperti diberitakan kemarin, menilai keliru perbankan kalau menjalankan kebijakan suku bunga kredit yang tetap tinggi, sampai 18 persen. Selain memperlambat putaran ekonomi, hal itu berpotensi memperparah kondisi kredit bermasalah.

Kita berpendapat, suku bunga rendah senantiasa menjadi tenaga besar dalam suatu perekonomian. Suku bunga pinjaman perbankan yang rendah pasti

memacu kegairahan pengusaha berekspansi. Setidaknya tetap menggerakkan roda bisnis karena ringannya beban kredit modal kerja dan kredit investasi yang dipikulnya. Sangatlah sedikit pengusaha yang mampu menggerakkan bisnisnya dengan ekuitas atau modal sendiri sepenuhnya.

Memang, suku bunga rendah (simpanan) juga menekan imbal hasil dana deposan, kemudian memicu pengalihan dana dari perbankan ke pasar modal atau pasar uang untuk mencari imbal hasil lebih tinggi. Belum lagi jika pemerintah dan otoritas moneter tidak bisa mengendalikan inflasi.

Di sinilah situasi dilematis yang dihadapi perbankan nasional. Seperti diutarakan Direktur Utama Bank Mandiri, bank terbesar di Tanah Air, Agus Martowardojo, beberapa deposan besar meminta suku bunga

simpanan lebih tinggi dari tawaran umum bank (counter rate).

Perbankan menjadi tersudut oleh deposan besar, seperti dana pensiun dan asuransi, sebab jika permintaan itu tak dipenuhi, dananya ditarik. Sementara di tengah kondisi likuiditas (dana berjangka pendek sekali) di pasar uang antarbank masih cukup ketat, kendati mulai kendur, perbankan membutuhkan dana simpanan pihak ketiga tetap terjaga atau meningkat, walau dengan konsekuensi suku bunga tetap tinggi. Tingginya suku bunga simpanan itulah yang antara lain memaksa perbankan masih menerapkan kebijakan suku bunga kredit tetap tinggi.

Bagi bank-bank besar dengan likuiditas yang memadai, penurunan suku bunga deposito dan kemudian kredit sejatinya bisa dilakukan setiap saat. Akan tetapi, langkah itu belum tentu dapat diikuti seketika oleh bank-bank menengah dan kecil sebab potensi pelarian nasabahnya cukup besar. Pada akhirnya, potensi kesulitan likuiditas secara sistemik, menyeluruh ke perbankan juga menjadi besar.

Akan tetapi, dalam kasus tertentu, sejumlah bank menengah dan kecil, karena bisa beroperasi lebih efisien, dapat menurunkan suku bunga tanpa rasa takut berlebihan. Karena itulah, kita mendorong juga bank-bank besar, terutama yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah, untuk memimpin gerakan penurunan suku bunga secara gradual dan teratur, guna memberi sinyal bagi pelaku usaha, dan tenaga yang lebih kuat bagi perekonomian.

Melihat fakta penyerapan anggaran pemerintah sampai Maret lalu yang masih minim, pengusaha tentu berharap dana perbankan dengan suku bunga yang rasional.

Korea Utara Gagal Luncurkan Rudal


DK PBB Belum Sepakati Respons

AP Photo/Kyodo News
Kapal patroli penjaga perairan Jepang tengah menuju wilayah di lepas Pantai Oga, Jepang, yang diperkirakan sebagai tempat jatuhnya benda melayang, menyusul peluncuran roket Korea Utara, Minggu (5/4). Menurut Kementerian Pertahanan Jepang, benda melayang yang jatuh ke laut itu diperkirakan bagian dari roket yang diluncurkan Korea Utara.
Selasa, 7 April 2009 | 03:19 WIB

Seoul, Senin - Para ahli menilai Korea Utara sebenarnya gagal meluncurkan roket jarak jauh. Amerika Serikat dan Korea Selatan menyatakan, satelit yang diluncurkan Korea Utara gagal mencapai orbit. Sumber militer Rusia juga membenarkan laporan Amerika Serikat dan Korea Selatan iniS

Jika benar gagal, ini merupakan ketiga kalinya sejak tahun 1998 Korea Utara (Korut) gagal membuat rudal jarak jauh yang akurat. ”(Peluncuran) itu gagal. Hal ini mengindikasikan Korea Utara tidak mampu memperlihatkan sistem andal yang bisa menjadi rudal balistik antarbenua atau kendaraan peluncur ke luar angkasa,” kata Joseph Bermudez, pengamat dari Jane’s Information Group, Senin (6/4).

Korut meluncurkan roket jarak jauh bertingkat banyak (multiple stage), Minggu, yang disebut negara itu sebagai satelit komunikasi eksperimental. Empat jam setelah peluncuran, Korut mengklaim sukses meluncurkan satelit itu ke orbit serta tengah mengirim data dan ”lagu-lagu revolusi yang abadi”.

Bermudez mengatakan, tingkat kedua dan ketiga roket itu tidak terpisah sesuai rencana. Itu artinya roket terlalu berat untuk melanjutkan penerbangan menuju ke orbit. Tingkat pertama roket jatuh di perairan sekitar 280 kilometer lepas pantai barat Akita antara Jepang dan Semenanjung Korea.

Daniel Pinkston, analis senior pada International Crisis Group (ICG), juga menilai peluncuran roket Korut gagal berdasarkan laporan yang ada sejauh ini. ”Ada persoalan pemisahan antara tingkat kedua dan ketiga,” katanya. Belum jelas keberadaan dua tingkat roket tersebut.

Sumber militer di Rusia mengonfirmasi laporan AS dan Korsel bahwa Korut gagal menempatkan sebuah satelit di orbit. ”Sistem pemantauan luar angkasa kami tidak menangkap adanya penempatan satelit Korea Utara di orbit. Berdasarkan informasi yang kami terima, satelit itu tidak ada di sana,” sebut sumber itu, seperti dikutip kantor berita Rusia, Interfax, Senin.

Kementerian di Jepang yang memonitor gelombang radio satelit menyatakan tidak mendeteksi sinyal dari pengorbit Korut. ”Sejauh ini, kami belum mendeteksi gelombang radio apa pun dari satelit Korea Utara,” kata Kinya Takano, Wakil Menteri Dalam Negeri Jepang.

Menurut Pinkston, menempatkan satelit ke luar angkasa secara teknis lebih mudah daripada meluncurkan hulu ledak yang harus masuk kembali ke atmosfer dan meledak. AS, Jepang, dan Korea Selatan menilai bahwa peluncuran roket itu sebenarnya hanya uji coba untuk meluncurkan rudal jarak jauh, Taepodong-2, yang secara teori bisa mencapai wilayah AS di Alaska dan Hawaii.

Hanya konsultasi

Di New York, setelah pertemuan tertutup selama tiga jam, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) gagal mencapai kesepakatan tentang bagaimana merespons peluncuran roket jarak jauh Korut.

”Anggota Dewan Keamanan setuju untuk meneruskan konsultasi tentang tindakan yang pantas,” kata Utusan Meksiko untuk PBB Claude Heller, Ketua DK PBB bulan ini.

AS, didukung oleh Inggris dan Perancis, mendorong ”kecaman keras” terhadap Korut. AS dan sekutu-sekutunya memandang tindakan Korut sebagai pelanggaran Resolusi DK PBB Nomor 1718 yang melarang negara itu melakukan uji coba rudal jenis apa pun.

Namun, Rusia, China, Libya, Uganda, dan Vietnam menyerukan agar semua pihak menahan diri dan bertindak proporsional agar tidak membahayakan pembicaraan enam pihak untuk menghadapi isu program nuklir Korut.

”Kita tengah berada dalam masa yang sensitif. Semua negara terkait harus menahan diri dari tindakan yang bisa memicu ketegangan,” kata Utusan China untuk PBB Zhang Yesui.

Utusan Jepang untuk PBB Yukio Takasu menegaskan bahwa Jepang ingin ”respons yang jelas, tegas, dan bersatu” dari DK PBB. Jepang juga menyatakan akan terus mendorong adanya resolusi baru dari DK PBB bagi Korut.

Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak menyatakan bahwa Seoul akan menghadapi provokasi Korut dengan tegas.
(ap/afp/reuters/fro)

Mahathir Kembali Kampanye bagi UMNO


Yakini Kemampuan dan Kepemimpinan Najib


AP Photo/Lai Seng Sin
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak (kedua dari kanan) menerima kedatangan mantan PM Mahathir Mohamad (kedua dari kiri). Pertemuan tersebut dihadiri istri Mahathir, Siti Hasmah (kiri), dan istri Najib, Rosmah Mansor, di Putrajaya, di pinggiran Kuala Lumpur, Sabtu (4/4). Mahathir telah bergabung kembali dengan UMNO.
Selasa, 7 April 2009 | 03:23 WIB

Kuala Lumpur, Senin - Setelah mundur dari Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu setahun lalu, mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad, Senin (6/4), kembali berkampanye untuk UMNO demi suksesnya kampanye Barisan Nasional di Bukit Gantang, Perak.

Pemungutan suara sela untuk memilih satu kursi parlemen nasional dan dua kursi parlemen negara bagian yang kosong diselenggarakan pada Selasa (7/4) ini.

Dalam pidatonya pada sesi pertemuan dengan warga, seperti dilaporkan Bernama, Mahathir mendapat sambutan meriah, khususnya saat menyampaikan keyakinan atas Perdana Menteri Najib Tun abdul Razak. Dia menekankan bahwa pemerintahan di bawah Najib akan merakyat, bertemu dengan rakyat, dan memperjuangkan rakyat tanpa pandang ras dan agama.

Mahathir menambahkan, Najib memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk menggairahkan kembali iklim politik dan ekonomi nasional. Akan tetapi, dia mengakui, mengelola negeri dengan multiras dan multi-agama bukanlah tugas yang mudah. Hal itu hanya bisa dicapai jika si pemimpin siap untuk mendengarkan pandangan dan aspirasi rakyatnya.

Selain perebutan kursi parlemen nasional untuk wakil dari Negara Bagian Perak, dua kursi parlemen negara bagian yang diperebutkan melalui pemilu sela pada Selasa ini adalah Negara Bagian Kedah dan Sarawak.

Mahathir yang turun dari kursi perdana menteri pada 2003 untuk memberikan jalan kepada Abdullah Ahmad Badawi sebagai penggantinya, dalam kampanyenya juga menyerang kubu oposisi yang dipimpin Anwar Ibrahim.

”Saya yakin kita tak akan meletakkan masa depan kita kepada seseorang yang tidak bertanggung jawab. Dia adalah orang (yang kariernya) saya bantu naikkan, tetapi tidak bisa menunggu, dia berusaha menjatuhkan saya. Anda tahu siapa yang saya bicarakan,” papar Mahathir tanpa menyebut nama Anwar seperti dilaporkan The Straits Times kemarin.

Mahathirisme

Ditanya mengenai posisinya di UMNO, Mahathir mengatakan, dia hanya akan menerima posisi sebagai penasihat kabinet ”tidak resmi” karena dia ingin tetap sebagai seorang pensiunan.

Mahathir, seperti diberitakan The New Straits Times (NST) online, kemarin, juga mendesak mereka yang telah keluar dari UMNO untuk bergabung kembali ke partai itu, seperti yang dilakukannya.

Mantan pemimpin Malaysia itu mengungkapkan, ”Mahathirisme” bukanlah sesuatu yang buruk. ”Apa yang salah dengan hal itu, negara menikmati pembangunan selama 22 tahun di bawah Mahathirisme,” ujarnya.

Terkait dengan pembentukan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Najib, harian Malaysia Sin Chew melaporkan, sekitar 10 menteri kabinet dari UMNO kemungkinan besar akan tergusur.

Selain Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Urusan Konsumen Shahrir Abdul Samad, yang siap mundur, beberapa menteri lain yang harus mundur adalah Menteri Keuangan Kedua Datuk Nor Mohamed Yakcop, Menteri Dalam Negeri Syed Hamid Albar, Menteri Pariwisata Azalina Othman, Menteri Energi, Air dan Komunikasi Shaziman Abu Mansor, Menteri Wilayah-wilayah Federal Zulhasnan Rafique, Menteri Pembangunan Perkotaan dan Wilayah Muhammad Muhd Taib, Menteri Luar Negeri Rais Yatim, Menteri Pendidikan Tinggi Mohamed Khalid Nordin, dan Menteri Informasi Ahmad Shabbery Chik.

Selain menteri-menteri dari UMNO itu, Menteri Perumahan dan Pemerintahan Lokal Ong Ka Chuan dari MCA (salah satu partai berpendukung mayoritas warga China dalam koalisi BN) diperkirakan juga akan tergusur.

Sumber menyebutkan, Ketua Umum MIC (Kongres India Malaysia yang juga tergabung dalam koalisi BN) Samy Vellu juga tidak akan masuk kabinet, tetapi Ketua Umum Gerakan (juga partai koalisi dalam BN) Dr Koh Tsu Koon kemungkinan akan masuk dalam kabinet baru Malaysia.

PM Najib diperkirakan akan mengumumkan kabinetnya pada Rabu (8/4), dengan susunan yang lebih ramping. (Reuters/OKI)

"Tax Haven", Tempat Penggelap Pajak Berlindung


Lebih dari 400.000 perusahaan dunia memiliki alamat di sebuah pulau kecil di British Virgin Islands. Namun, jangan membayangkan alamat itu berwujud kantor-kantor mewah. Wujud ”perusahaan” di sana hanya berupa setumpuk dokumen yang berjejalan di gedung kumuh berlantai dua. Perusahaan yang hanya tercantum di atas secarik dokumen ini disebut sebagai perusahaan kertas (paper company).

Sebagian besar perusahaan di pusat finansial di Karibia itu tidak memiliki pegawai. Semua melaksanakan bisnisnya nun jauh dari Lautan Karibia, sebagian besar juga berniat menghindari pajak di tanah air asalnya.

British Virgin Islands (BVI) menerima keberadaan paper company dengan tangan terbuka. Tentu saja karena para pebisnis asing itu menyumbangkan lebih dari setengah pendapatan Pemerintah BVI. Kedatangan para pebisnis asing itu juga menjadikan BVI sebagai salah satu tempat yang paling makmur di kawasan.

Diperkirakan ada aset sekitar 7,3 triliun dollar AS disembunyikan di beberapa pusat finansial di dunia, selain di BVI, oleh perusahaan dan orang kaya. Mereka melakukan itu untuk melindungi operasional mereka. Salah satu tujuan utama adalah mengurangi beban pajak yang seharusnya mereka bayar.

Walau markas nyata dan bisnis utama mereka ada di AS, misalnya, bisnis mereka tercatat bermarkas di tax haven. Ini bertujuan menghindari pajak penghasilan yang bisa mencapai 50 persen di negara maju.

Perusahaan yang beralamat di wilayah tax haven biasanya menjadi alat saja untuk menghindari pajak di negara asalnya. Selain itu, di wilayah tax haven juga dapat dilakukan pengelabuan nilai aset, pencucian uang hasil kejahatan, serta pengalihan aset. Sekarang, tempat-tempat seperti itu mendapat sorotan dan kecaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Definisi

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengidentifikasikan tiga faktor yang membuat sebuah wilayah hukum dapat dikelompokkan menjadi tax haven.

Pertama, pajak yang sangat rendah, bahkan tidak ada pajak, dan menyediakan diri sebagai tempat pelarian bagi warga asing yang menghindari pajak.

Kedua, ada perlindungan ketat terhadap informasi mengenai nasabah. Dengan perlindungan ini, perusahaan atau individu memiliki keuntungan dengan menyembunyikan data sebenarnya dari otoritas pajak di negara asalnya dan hal itu sah menurut perundang-undangan di tax haven.

Faktor ketiga adalah tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven ini.

Ada beberapa alasan mengapa sebuah negara atau wilayah ingin menjadi tax haven. Beberapa negara menyatakan mereka tidak perlu membebankan pajak terlalu tinggi seperti yang dilakukan negara maju untuk memenuhi target penerimaan negara.

Beberapa tax haven menawarkan pajak rendah sebagai penarik bagi konglomerat negara lain untuk datang dan melakukan alih teknologi.

Banyak negara maju menyatakan tax haven bertindak tidak adil dengan mengurangi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka. Beberapa kelompok juga menyatakan bahwa para pencuci uang menggunakan tax haven secara masif.

Para pemimpin G-20 yang pekan lalu bertemu di London memperingatkan negara yang menolak berbagi informasi pajak akan mendapatkan sanksi berat. Sasaran G-20 adalah tax haven, yang melindungi korporasi penghindar pajak. Karena didera krisis finansial yang cukup hebat, negara-negara maju menginginkan agar pajak yang seharusnya menjadi hak mereka tetap jadi hak mereka.

Beberapa angka fantastis terlibat dalam permainan global, terkait tax haven. Antara 30-40 persen dari aktivitas perdagangan global, yang tidak tercatat

pada rekening bank, atau perusahaan transaksi perdagangan, tetapi di tax haven, setidaknya demikian laporan Jaringan Keadilan Pajak yang bermarkas di London.

Hilang setiap tahun

”Di AS saja, 100 miliar dollar AS pendapatan pajak hilang setiap tahun karena penggelapan pajak,” kata Senator Carl Levin yang telah mensponsori dua rancangan undang-undang yang menghancurkan tax haven.

Boston Consulting Group (BCG) memperkirakan ada aliran dana sebesar 7,3 triliun dollar AS ke pusat finansial di luar AS.

Di BVI, perusahaan terdaftar di Komisi Jasa Finansial (FSC) setempat yang berlokasi berseberangan dengan toko pemasok alat tulis kantor. Sebuah plakat di depannya bertuliskan ”Waspada, Integritas dan Terpercaya”.

Pemerintah menyatakan FSC terlibat tindakan pencucian uang, tetapi tidak memiliki kemampuan melakukan investigasi. Laporan keuangan tidak diharuskan disimpan. Dokumen perusahaan tidak melampirkan identitas pemegang saham maupun susunan dewan direksi.

Keadaan yang sangat ”permisif” itu membuat BVI sebagai salah satu tempat pendaftaran perusahaan terbesar di dunia. Demikian pula Delaware di AS, sebagian besar perusahaan menganggapnya tempat yang sangat penting untuk berbisnis.

Menurut OECD, bersama beberapa wilayah lainnya, BVI tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain. Karena itu, BVI dimasukkan ke dalam daftar abu-abu tax haven.

Upaya keluar

Empat wilayah yurisdiksi lainnya masuk daftar hitam OECD, yakni Filipina, Uruguay, Kosta Rika, dan Labuan di Malaysia.

Salah satu cara untuk keluar dari daftar itu adalah menandatangani setidaknya 12 kesepakatan mengenai kewajiban pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.

Beberapa negara atau teritorial tax taven bergegas setelah munculnya ancaman OECD. Maklum, di BVI, misalnya, sebanyak 24.000 orang khawatir kehidupan ekonomi mereka akan berakhir. Pendapatan dari pendaftaran perusahaan asing sudah dapat digunakan untuk membangun universitas dan sebuah rumah sakit di situ.

Perdana Menteri BVI Ralph T O’Neal, mantan guru sekolah berusia 75 tahun yang memimpin kepulauan itu, menyatakan, serangan terhadap tax haven merupakan serangan kolonialisme dari negara maju yang mendiktekan standar untuk operasi finansial, khususnya ketika mereka tidak taat terhadap aturan mereka sendiri.

Beberapa wilayah yang termasuk daftar hitam OECD akan kehilangan dukungan dari Bank Dunia dan IMF. Banyak kepulauan di Karibia yang masuk dalam daftar abu-abu, termasuk Monako, Liechtenstein, Panama, Bermuda dan beberapa kepulauan di Pasifik. Tempat-tempat itu akan diawasi dan dapat memperoleh sanksi jika tidak dapat memenuhi aturan perpajakan.

Wakil Menteri Keuangan Malaysia Kong Cho Ha dan pejabat Kosta Rika akan meminta klarifikasi dari OECD.

Menteri Keuangan Uruguay Alvaro Garcia cepat-cepat mengirim surat yang intinya menyatakan Uruguay bukanlah tax haven. (AFP/OECD/JOE)

Bisnis Mobil Terganggu

Sikap Selektif Perbankan Bisa Melemahkan Penjualan
Selasa, 7 April 2009 | 03:45 WIB

Jakarta, Kompas - Produsen kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda empat, menilai tingginya bunga kredit perbankan turut mengganggu penjualan kendaraan. Lebih dari 60 persen pembeli kendaraan pribadi dan 93 persen pembeli kendaraan niaga membeli kendaraan dengan kredit.

Demikian dikatakan Chief Executive Officer PT Indobuana Autoraya (Ibar) Paulus B Suranto, Senin (6/4) di Jakarta. ”Suku bunga acuan Bank Indonesia sudah turun, tetapi tidak diikuti dengan cepat oleh penurunan suku bunga kredit kepemilikan kendaraan,” ujar Paulus.

Dia menilai perbankan kekurangan likuiditas sehingga malah cenderung mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat, sebaliknya menahan kucuran kredit untuk masyarakat.

Saat ini, kata Paulus, suku bunga kredit mobil mencapai 9 persen (flat), di posisi suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7,5 persen. Padahal, tahun lalu, tatkala suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 8 persen, suku bunga kredit mobil ”hanya” 4-4,5 persen.

Kepala Divisi Perencanaan dan Pemasaran PT Toyota Astra Motor Widyawati mengatakan, ”Apabila penurunan BI Rate diikuti oleh penurunan suku bunga kredit, semestinya bisa menstimulus penjualan otomotif.”

Bahkan, lanjut Widyawati, penurunan penjualan otomotif tahun 2009 dibandingkan tahun 2008 yang diprediksi turun 30 persen bisa terkoreksi. Tahun 2008, total penjualan mencapai 607.640 unit.

Perbankan selektif

Ironisnya, menurut Widyawati, apabila likuiditas dijaga secara ketat, perbankan juga akan mengambil sikap selektif dalam pengajuan aplikasi kredit. Sikap ini juga tidak akan mendorong pembelian otomotif.

Sejak tahun 2007, penjualan mobil nasional sebenarnya berkembang pesat. Mobil yang terjual pada tahun 2007 mencapai 433.341 unit (naik 35,9 persen dibandingkan tahun 2006).

Tren peningkatan terus berlanjut tahun 2008 menjadi 607.640 unit. Angka penjualan mobil pada tahun 2008 bahkan merupakan rekor penjualan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Rekor penjualan tertinggi dicapai pada bulan Juli 2008 yang mencapai 60.352 unit.

Handri Thiono, ekonom dari Danareksa Research Institute, dalam analisisnya di harian Kompas, Senin (30/3), juga mengingatkan, sebagian besar pembelian mobil dibiayai secara kredit. Peran suku bunga kredit dalam rencana pembelian mobil tak dapat diabaikan.

Menurut Handri, dukungan dari sistem pembiayaan berupa kemudahan meminjam dan kucuran kredit yang memadai akan lebih mendongkrak angka penjualan mobil lebih tinggi lagi.

Meski pengenaan bunga belum terpengaruh secara signifikan oleh tekanan BI Rate, Grup Indomobil mencoba melakukan langkah strategis penjualan, misalnya dengan menawarkan skema pembiayaan dengan bunga rendah plus uang muka yang relatif terjangkau, terutama sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Langkah itu dilakukan atas kerja sama dengan lembaga keuangan Grup Indomobil, yaitu PT Indomobil Finance.

Paulus mengatakan, truk Foton buatan China dijadikan pilihan utama untuk UKM karena investasi awal bisa lebih rendah dibandingkan truk Jepang. Biaya operasionalnya pun lebih rendah 20-30 persen. (OSA/RYO)

Hari Nelayan dan Sistem Ekonomi Tengkulak

Oleh Endan Suwandana ST MSc
Kasie Konservasi, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten


Mungkin, hanya sedikit orang yang tahu bahwa 6 April adalah Hari Nelayan Nasional. Belum didapatkan informasi yang jelas mengenai penetapan tanggal tersebut dan sejarahnya. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP RI) pun tampaknya belum menjadikan tanggal tersebut sebagai agenda resmi tahunan. Sejauh ini, baru Hari Nusantara-lah (13 Desember) yang rutin diperingati setiap tahun.

Terlepas dari benar atau tidaknya, tapi itulah setidaknya yang kita dapatkan dari situs wikipedia ( free-online ensiklopedia) yang menyatakan bahwa 6 April sebagai Hari Nelayan Nasional. Konon, di Pelabuhan Ratu Sukabumi, setiap tahun para nelayan memperingati hari ini dengan berbagai aktivitas yang meriah, seperti ritual adat, lomba-lomba, pesta rakyat, dan sebagainya.

Urgensi hari nelayan memang sudah patut dipikirkan karena nelayan merupakan salah satu konstituen terbesar warga negara di negeri bahari ini. Kalau kita memiliki hari buruh, hari arsitektur, hari tani, hari dokter, hari guru, dan sebagainya, tidaklah berlebihan apabila kita pun ingin mengangkat harkat martabat nelayan melalui Hari Nelayan.

Beberapa negara pun sudah lama merayakannya, seperti Filipina, India, Maladewa, Trinidad and Tobago, St Vincent Karibia, British Virgin Island Karibia, Barbados, dan sebagainya. Mereka menyebutnya sebaga fisherfolk day atau fisherman day . Pada hari-hari itu, pesta nelayan menjadi pesta rakyat yang luar biasa dan mampu mendatangkan ratusan turis mancanegara. Lomba dan pesta dipadukan menjadi sebuah rangkaian atraksi yang menarik selama beberapa hari.

Bahkan, sejak November 1998, presiden Bill Clinton telah mencanangkan Hari Perikanan Dunia ( World Fisheries Day ) yang jatuh setiap 21 November melalui Proclamation 7150. Salah satu kalimat yang penting dari teks proklamasi itu adalah World Fisheries Day is not only an occasion for celebration, it is also a time to raise awareness of the plight of so many of the world's fish resources . Demikian itulah seruan presiden Clinton agar kita dapat meningkatkan kesadaran terhadap sumber daya ikan dan tentunya juga kesadaran terhadap nasib dan kesejahteraan nelayan.

Banyak sekali permasalahan nelayan yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, seperti kemiskinan, BBM, sampah, tingkat pendidikan, sumber daya ikan, konflik antarnelayan, formalin, tengkulak, dan sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah pun telah menggulirkan banyak sekali program dan kegiatan dengan jumlah uang yang tidak sedikit, seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan langsung alat-alat perikanan, dan masih banyak lagi.

Namun demikian, kemiskian masih menjadi trademark yang kita saksikan sehari-hari. Ratusan penelitian sosial pun dilakukan dan hampir semuanya berkesimpulan sama, yaitu kemiskinan ini adalah kemiskinan struktural ( structural poverty ) yang telah melembaga. Menghilangkan kemiskinan model ini tidak semudah teori sosial ekonomi mana pun. Implikasinya, kalau ingin berhasil, semua program pemerintah harus mengikuti dan memerhatikan pola kehidupan sosial ekonomi dan budaya mereka.

Sistem ekonomi tengkulak
Butuh waktu yang lama untuk mengurai satu demi satu permasalahan nelayan di atas. Pada kesempatan ini, cukup kita fokuskan pada peran tengkulak yang menjadi problematika tak berkesudahan bagi nelayan dan selalu muncul dalam setiap laporan penelitian sosial ekonomi nelayan.

Setuju atau tidak, negara kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Pada sistem ini, aktivitas ekonomi tengkulak adalah hal yang dianggap sah-sah saja karena mereka adalah para pemilik modal ( capital holder ) yang boleh melakukan apa saja selama saling membutuhkan. Maka, dari kacamata bisnis, tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi yang sah. Di mana setiap pebisnis, apa pun bentuknya, baik firma maupun perseorangan, tentu akan berupaya untuk mempertahankan bisnisnya. Upaya tersebut bisa dalam bentuk diskon, iklan, entertain, pembentukan opini, dan sebagainya.

Sebagai sistem ekonomi, tengkulak pun mengeluarkan biaya 'iklan' dan 'entertain' untuk mempertahankan bisnisnya. Bentuknya adalah dengan melakukan pendekatan sosial ( social approach ). Mereka dapat memberikan pinjaman tanpa kolateral (agunan) kepada para nelayan kapan pun mereka butuhkan. Tentu, dengan harapan agar mereka tetap terikat dan tidak lari kepada tengkulak lain. Mirip dengan iklan berhadiah produk-produk di televisi yang selalu ingin mengikat pelanggannya. Hasilnya, kemiskinan nelayan tetap terpelihara karena monopoli harga ikan dan sistem pemasaran ditentukan oleh sang tengkulak.

Sama sekali tidak ada yang salah dengan sistem itu. Karena, itulah gambaran kecil dari sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia. Para pemodal besarlah yang memiliki sistem kekuasaan ekonomi. Kita bisa melihat bagaimana supermarket waralaba sampai berdiri megah di sudut-sudut desa. Maka itu, apa pun upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, jika tanpa menyentuh sistem ekonomi yang sudah mendarah daging ini, bagaikan upaya menggantang asap.

Itulah mungkin alasannya mengapa pada Agustus 2008 lalu, Wapres Jusuf Kalla setuju-setuju saja dengan usulan dibentuknya Asosiasi Punggawa Nasional (APN) yang dipimpin oleh Bupati Rembang, M Salim. Karena, memang dari kacamata pebisnis sejati, punggawa atau tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi yang tidak melanggar prinsip ekonomi, apalagi belum ada peraturan perundangan yang mengatur tengkulak.

Tentu, ide dan persetujuan wapres ini bukan untuk mengekalkan kemiskinan nelayan ( sustainable poverty ) karena tidak mungkin seorang negarawan melakukan ide yang kontraproduktif dengan program-programnya sendiri. Mungkin, beliau berpendapat, dengan dibentuknya wadah para tengkulak itu, pemerintah dapat mulai 'mewarnai' sistem ekonomi mereka yang sudah diwariskan secara turun-temurun itu.

Perfect market dan intervensi pemerintah
Untuk memahami sistem ekonomi tengkulak, kita harus berangkat dari teori ekonomi yang dikenal dengan istilah kesempurnaan pasar ( perfect market ). Secara sederhana, kondisi pasar sempurna inilah yang diharapkan oleh semua orang. Karena, pada kondisi ini, semua pihak akan merasa senang, sama-sama untung, dan tidak ada yang membatasi dan menghambat dalam setiap tahapan interaksi. Namun, dalam tataran praktis, tentu sistem ini belum pernah terwujud karena akan cukup sulit untuk memuaskan semua orang. Pasti akan selalu ada elemen yang ingin meraup keuntungam lebih sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan dengan mengefisienkan upaya. Bahkan, ada pula yang dirugikan atau bahkan terlempar dari mekanisme pasar.

Itulah alasannya mengapa pemerintah, sebagai pihak yang melindungi semua komponen pasar, harus menyediakan instrumen untuk menjaga agar tidak terjadi kegagalan pasar ( market failure ). Pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap pasar, melalui berbagai instrumennya, agar roda perekonomian dapat tetap berjalan. Dari sinilah kita mengenal istilah kebijakan subsidi ( subsidy policy ) untuk petani dan nelayan kecil karena mereka tidak mampu menyediakan unsur-unsur faktor produksi, seperti pupuk dan BBM. Tanpa subsidi, mustahil akan ada beras dan ikan karena biaya produksi lebih besar daripada keuntungan ( nonprofitable ). Selain itu, kita juga mengenal istilah-istilah lain, seperti kebijakan fiskal dan moneter, pengurangan pajak, deregulasi, antimonopoli, dan sebagainya.

Intervensi semacam inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur hegemoni sistem ekonomi tengkulak, di mana pada kondisi tertentu, mereka telah menciptakan sistem ekonomi monopoli. Bagaimana tidak, mereka beroperasi mulai dari penyediaan finansial, pemilikan faktor-faktor produksi, dan menentukan jalur pemasaran. Artinya, semua mata rantai dikuasai oleh mereka. Bisa jadi sistem ini tidak sesuai dengan Pasal 17 UU No 05/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pemerintah perlu memikirkan peraturan yang dapat membantu nelayan kecil keluar dari mekanisme pasar yang seperti ini. Tentu, bukan dengan memusuhi tengkulak karena sesuai dengan hukum ekonomi, mereka tidak dapat dipersalahkan. Begitupun dari sisi hukum budaya, mereka tidak dapat dikesampingkan karena pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang dihormati dan dibela oleh para pekerjanya.

Pemerintah harus menciptakan suatu sistem ekonomi yang kait-mengait antara pekerja, tengkulak, TPI, koperasi, dan pemerintah sebagai pengawas dan pengendali. Bisa saja para tengkulak dirangkul dan diberikan bantuan modal oleh pemerintah karena memang merekalah yang dianggap layak ( bankable ). Selanjutnya, bantuan itu dapat digunakan untuk membiaya para anggotanya atau memperluas usahanya. Tapi, mereka harus dipagari oleh aturan-aturan yang mengatur jalur pasar ikan, mulai dari produksi sampai pemasaran. Keterkaitan semua komponen itu harus diatur sehingga jalur-jalur distribusi ikan yang tidak melalui mekanisme ini dapat diperiksa oleh pos-pos retribusi hasil laut yang ada di jalan raya. Pada tingkat daerah, regulasi intervensi pemerintah semacam ini dapat dipikirkan mekanismenya dan diputuskan melalui perda atau peraturan kepala daerah.

Sistem bagi hasil
Ada pula sistem lain yang dapat dimasukkan dalam kebijakan 'intervensi' pemerintah terhadap sistem ekonomi tengkulak tersebut, yaitu sistem bagi hasil. Bahkan, sistem bagi hasil ini sudah dipikirkan dari sejak zaman Orde Lama sebagai bukti bahwa pemerintah sudah lama peduli terhadap mereka. Pemerintahan Orde Lama yang berbau sosialis itu justru telah mengeluarkan sebuah undang-undang yang betul-betul melindungi rakyat kecil, baik petani maupun nelayan, yaitu UU No 02/1960 tentang Perdjandjian Bagi Hasil (Pertanian) dan UU No 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Bahkan, pelaksanaan bagi hasil ini harus diawasi oleh pemerintah daerah untuk menghindari pemerasan dan ketidakadilan.

Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut betul-betul mengatur secara perinci praktik bagi hasil usaha perikanan. Seperti, Pasal 3 ayat 1 UU 16/1964 yang menyebutkan bahwa "Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi-hasil, dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut. Untuk perikanan laut: a. jika dipergunakan perahu layar: minimum 75 persen (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih; b. jika dipergunakan kapal motor: minimum 40 persen (empat puluh perseratus) dari hasil bersih."

Sementara itu, Pasal 3 ayat 2 menyebutkan, "Pembagian hasil di antara para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima menurut ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri dengan diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan ketentuan, bahwa perbandingan antara bagian yang terbanyak dan yang paling sedikit tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu)."

Itulah bukti bahwa pemerintah sebenarnya sejak dahulu telah memerhatikan kesejahteraan nelayan sampai masalah bagi hasil saja harus diatur oleh sebuah undang-undang. Entah mengapa kemudian, pada praktiknya, peraturan semacam ini malah tidak diaplikasikan. Apakah mungkin karena "sistem ekonomi kapitalis" yang berkedok "ekonomi Pancasila" itu tumbuh subur pada era Orde Baru bahkan menjadi haluan sistem ekonomi negara? Atau, karena undang-undang tadi merupakan produk Orde Lama yang berbau sosialis? Yang dapat menjawab hal ini adalah mereka yang mengalami sejarah itu sendiri.

Memang, pada konsideran "menimbang", UU No 16/1964 itu dinyatakan, "a) sebagai salah satu usaha untuk menuju ke arah perwujudan masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya, khususnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan; pengusahaan perikanan secara bagi hasil, baik perikanan laut maupun perikanan darat, harus diatur hingga dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan dan semua pihak yang turut serta masing-masing mendapat bagian yang adil dari usaha itu; b) bahwa selain perbaikan daripada syarat-syarat perjanjian bagi hasil sebagai yang dimaksudkan di atas perlu pula lebih dipergiat usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan yang anggota-anggotanya terdiri atas semua orang yang turut serta dalam usaha perikanan itu."

Belum didapatkan informasi, apakah UU No 02/1960 dan UU No 16/1964 telah dicabut. Kalau memang belum dicabut, ide dasar dari UU tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintahan saat ini untuk menyusun sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah market failure yang telah diciptakan oleh sistem ekonomi tengkulak tadi untuk selanjutnya melindungi kepentingan ekonomi semua pihak, termasuk tengkulak itu sendiri.

G-20 untuk Siapa?

Oleh Iman Sugema

Adalah wajar kalau pasar modal di berbagai belahan dunia menyambut secara positif butir-butir keputusan dalam KTT G-20 di London. Salah satu yang dianggap spektakuler adalah komitmen untuk menambah modal IMF sebesar satu triliun dolar AS. Tentu saja, ini merupakan berita baik bagi pemodal besar yang notabene berasal dari negara-negara maju karena uang tersebut bisa menjadi katup pengaman bagi transaksi finansial global.

Bagi negara berkembang, justru tambahan modal IMF merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi, dana tersebut dapat dijadikan bantalan bagi negara yang sedang mengalami masalah neraca pembayaran. Banyak negara berkembang, seperti Indonesia, saat ini sedang menghadapi bahaya krisis neraca pembayaran yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar dan berbaliknya arus hot money. Selain itu, pasokan devisa juga semakin seret karena jebloknya kinerja ekspor. Karena itu, banyak negara berkembang yang cadangan devisanya kini semakin tipis berharap dapat kucuran dana dari IMF.

Bahkan, seorang pejabat di Departemen Keuangan secara gamblang pernah berkata bahwa payung bagi penyelesaian krisis di Indonesia adalah IMF dan World Bank. Tak heran bila kemudian pemerintah kita pun dalam KTT G-20 sangat menyokong ide untuk memperbesar kemampuan finansial IMF dalam memberikan kredit ke negara-negara berkembang. Tampaknya, ada kesadaran yang sangat jelas bahwa suatu waktu Indonesia akan membutuhkan bantuan IMF.

Di sisi lain, kehadiran IMF dalam membantu negara-negara berkembang justru sangat berpotensi untuk membuat masalah menjadi rumit sehingga akan memperparah krisis yang dialami negara yang jadi pasien IMF. Indonesia sendiri pernah mengalami pengalaman buruk dalam berinteraksi dengan IMF sehingga kita menjadi negara yang paling parah dilanda krisis finansial sepuluh tahun yang lalu. Karena itu, saya ingin mengingatkan kembali bahwa keputusan G-20 bukanlah keputusan yang terbaik untuk negara berkembang.

Malahan, yang terjadi adalah sebaliknya, IMF akan menjadi semakin kuat sebagai kendaraan untuk mengeruk kekayaan di negara berkembang. Ada beberapa pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran.

Kita pernah dipaksa oleh IMF dan kawan-kawan untuk melunasi utang-utang swasta kepada kreditor asing melalui Frankfurt Agreement. Timbul pertanyaan mendasar waktu itu, sebenarnya siapa yang sedang di-bail out oleh IMF, negara Indonesia ataukah lembaga keuangan asing. Utang swasta Indonesia kepada lembaga keuangan internasional adalah murni urusan business to business. Karena itu, sangat mengherankan mengapa Pemerintah Indonesia dipaksa untuk menalangi mereka.

Dari kejadian itu, kita bisa belajar bahwa sebetulnya talangan yang diberikan oleh IMF dan World Bank bukanlah murni untuk membantu pemerintah. Talangan tersebut secara implisit adalah ditujukan bagi penyelamatan aset-aset lembaga keuangan asing yang tertanam di Indonesia.

Hampir bisa dipastikan, saat ini banyak aset-aset finansial internasional tertanam di negara-negara berkembang yang terjebak oleh krisis. Kalau kelak negara-negara ini terpaksa minta bantuan kepada IMF, mereka harus tunduk kepada resep-resep IMF yang salah satunya adalah pembayaran secara segera utang-utang kepada lembaga keuangan internasional, termasuk di dalamnya adalah utang-utang perusahaan swasta. Karena itu, menjadi tidak mengherankan kemudian para pelaku di bursa global sangat menyambut baik keputusan G-20.

Mereka merasa akan diselamatkan oleh bantuan IMF secara tidak langsung.
Pemerintah negara berkembang pada akhirnya harus berkubang dengan jumlah utang yang lebih banyak, yang kemudian akan membebani anak cucu mereka.

Pembengkakan beban utang kemudian mengharuskan mereka untuk gali lubang tutup lubang yang pada akhirnya menyebabkan negara terjebak dalam utang yang tak ada habisnya. Untuk bisa memecahkan masalah ini, kemudian mereka sering diberi saran untuk menjual aset-aset negara secara murah kepada investor asing. Itulah yang pernah kita lakukan selama periode 1999 sampai 2005.

Semua bank yang direkapitalisasi pada waktu itu terpaksa dijual murah. Tak ada satu pun bank yang berada di bawah BPPN yang tidak dijual kepada asing. Alasannya, kita perlu memperkuat perolehan devisa untuk membayar utang. Lagi-lagi, kita bisa belajar dari kasus ini bahwa pada akhirnya yang diuntungkan adalah para investor dari negara maju.

Saat ini, negara-negara yang mengalami krisis pembayaran pada umumnya mengalami depresiasi nilai tukar yang tajam. Artinya, aset di negara tersebut menjadi lebih murah kalau dibeli dengan mata uang asing. Dengan demikian, ruang untuk mengakuisisi aset di negara berkembang menjadi semakin terbuka. Sekarang merupakan waktu terbaik bagi kapitalis global untuk mengukuhkan penguasaan sumber daya ekonomi di negara berkembang. Krisis memang dimulai di negara maju, namun akhirnya penderitaan akan ditimpakan kepada penduduk di negara berkembang. Itulah agenda sesungguhnya.

Solusi yang terbaik untuk mengatasi krisis yang dihadapi oleh negara berkembang adalah pemotongan utang atau minimal penundaan pembayaran utang. Tapi, tentu hal ini menjadi kurang menarik bagi negara maju karena tidak menciptakan kesempatan untuk menguasai kekayaan di negara berkembang.

Dengan melakukan pemotongan utang, ada dua hal yang sekaligus bisa dicapai oleh negara berkembang. Pertama adalah penguatan posisi fiskal sehingga mereka dapat menciptakan stimulus yang lebih besar tanpa harus berutang lebih banyak. Dengan stimulus ini, perekonomian domestik dapat dipacu kembali sehingga pengangguran massal dapat dihindari. Kedua, karena tidak harus berutang, tambahan beban di masa mendatang menjadi tidak ada. Karena itu, mereka tidak harus melego aset-aset negara dengan harga murah. Ekonomi dalam jangka panjang menjadi lebih kuat karena tidak terganggu oleh kewajiban utang. Kecanduan terhadap utang pada akhirnya akan hilang.

Keputusan G-20 tidak banyak membawa keuntungan untuk negara berkembang. Walaupun kita boleh bangga bahwa butir-butir keputusan tersebut sesuai dengan yang kita usulkan, manfaatnya ternyata bukan untuk kita. Mulai dari sekarang Indonesia harus hati-hati dalam mengusulkan agenda dalam KTT apapun. Jangan-jangan draf yang kita buat memang sejak dari awal dimaksudkan untuk memajukan kepentingan negara maju.

Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia


Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia

Logo iB Syariah

Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia mencerminkan dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil yang menguntungkan bagi nasabah dan bank. Rintisan praktek perbankan syariah dimulai pada awal tahun 1980-an, sebagai proses pencarian alternatif sistem perbankan yang diwarnai oleh prinsip-prinsip transparansi, berkeadilan, seimbang, dan beretika.

Sebagai sebuah uji coba, masyarakat bersama-sama dengan akademisi kemudian mencoba mempraktekkan gagasan tentang bank syariah tersebut dalam skala kecil, seperti pendirian Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Keberadaan badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan oleh lembaga keuangan konvensional yang sudah ada.

Mengamati semakin berkembangnya aspirasi masyarakat Indonesia untuk memiliki lembaga keuangan syariah, maka para pemuka agama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut dengan melakukan pendalaman tentang konsep-konsep keuangan syariah termasuk sistem perbankan syariah.

Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk secara konkrit menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia Economic Development (ISED).

Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Selanjutnya, melalui perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, keberadaan sistem perbankan syariah semakin didorong perkembangannya. Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.

Dalam perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu menyokong perekonomian nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan. Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai ''lebih dari sekedar bank'' (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, diyakini bahwa di masa-masa mendatang akan semakin tinggi minat masyarakat Indonesia untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Sabtu, 04 April 2009

Relevansi Hasil KTT G-20


Di luar dugaan, di tengah skeptisisme banyak kalangan, KTT pemimpin G-20 berhasil menggoreskan satu langkah maju penting dalam penanganan krisis global.

Pertemuan London awal pekan ini sangat strategis dan historis karena tidak saja menyepakati langkah penanganan krisis global secara lebih terkoordinasi, tetapi juga meletakkan landasan bagi tatanan dunia baru, melalui kesepakatan untuk mengoreksi secara radikal praktik kapitalisme pasar bebas yang terbukti telah menjerumuskan ekonomi global ke dalam malapetaka.

Di antara poin penting yang dicapai: penggalangan dana cadangan 1,1 triliun dollar AS yang akan disalurkan lewat IMF dan lembaga lain untuk penanganan krisis, dan upaya meregulasi pasar finansial global guna mencegah terulangnya kembali krisis serupa di masa mendatang.

Selain itu, disepakati fasilitas pembiayaan perdagangan senilai 250 miliar dollar AS untuk menggerakkan perdagangan dunia, memerangi surga penggelap pajak (tax haven) dan praktik hedge funds yang destruktif. Langkah penting lainnya, pembentukan Dewan Stabilitas Finansial untuk mengawasi jalannya sistem finansial global.

Kendati bisa dikatakan sebagai capaian substansial, masih harus dilihat sejauh mana implementasi kesepakatan di lapangan dan dampaknya terhadap ekonomi global. Presiden AS Barack Obama—yang menyebut capaian KTT sebagai turning point dalam upaya pemulihan ekonomi global—mengingatkan, tak ada jaminan dengan kesepakatan ini saja pemulihan akan terjadi. Istilahnya, bukan obat mujarab yang menyelesaikan semua persoalan krisis.

Salah satu kekurangan dari KTT, tidak ada kesepakatan soal stimulus global baru. Hal lainnya, meski menyepakati tambahan pendanaan hingga 1,1 triliun dollar AS, bagi negara yang mengalami kesulitan, mungkin tak semudah itu mengakses dana tersebut tanpa persyaratan ketat seperti diterapkan IMF pada Asia pada krisis 1997/1998.

Komitmen 250 miliar dollar AS trade financing juga tak semuanya uang baru. Sebagian adalah fasilitas kredit ekspor lama di negara-negara maju. Komitmen membantu negara berkembang sebagai korban tak berdosa dalam krisis bisa dikatakan tak terlalu signifikan. Komunike sama sekali juga tak menyentuh langkah reformasi terhadap lembaga Bretton Woods seperti IMF dan Bank Dunia.

Sukses KTT diakui sedikit banyak karena andil Obama yang berhasil menyatukan kembali para pemimpin negara di tengah situasi dunia yang terkoyak-koyak krisis.

Ini juga sukses para pemimpin Eropa (karena berhasil menekan AS yang awalnya sangat menentang gagasan regulasi sektor finansial) dan anggota G-20 lain yang menunjukkan komitmen kuat untuk bersama mencari solusi bagi krisis global. Namun, untuk memulihkan kepercayaan sistem keuangan global dan membalikkan resesi ekonomi dunia, tampaknya diperlukan langkah lebih jauh yang belum semuanya terjawab dalam KTT.

Indonesia Butuh Dua Persen Wirausaha

jakarta, kompas - Indonesia membutuhkan setidaknya 2 persen dari jumlah penduduk menjadi wirausahawan, untuk membangun perekonomian negeri ini. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang kuat untuk menciptakan wirausahawan yang banyak dalam waktu relatif cepat.

Demikian disampaikan Ciputra, Pemimpin Grup Ciputra, dalam seminar ”Leadpreneurship: Bertahan di Tengah Krisis”, Jumat (3/4) di Jakarta.

Indonesia membutuhkan sedikitnya 2 persen penduduk untuk menjadi wirausahawan, kini baru 0,18 persen saja,” ujar dia.

Padahal, lanjut Ciputra, wirausahawaan di Singapura mencapai 7 persen dari jumlah penduduknya. Amerika Serikat 11 persen dari jumlah penduduk.

”Singapura tak punya kekayaan alam, tapi mengekspor produk lebih banyak dari kita. Kita harus lebih kreatif. Dari Singapura muncul berbagai waralaba, mulai dari Bread Talk, hingga jaringan Hotel Raffles,” katanya.

Menurut pakar manajemen, AB Susanto, belum tumbuhnya kewirausahaan di Indonesia karena kurang arah. Padahal, banyak bibit wirausahawan yang mempunyai semangat dan kemampuan teknis. ”Bagi para wirausahawan, sangat penting mempunyai keterampilan kewirausahaan dan kepemimpinan, paduan yang disebut dengan leadpreneurship,” kata Susanto.

Di China, misalnya, lanjut Susanto, karena kepemimpinan yang kuat, industriawan di negeri itu dapat langsung mengalihkan penjualan yang tadinya berorientasi ekspor ke AS, ke penjualan pada konsumen kelas premium.

”Harus ada yang mengembangkan kepemimpinan untuk menggerakkan arah usaha. Itu penting untuk mengatur diri sendiri, uang atau modal, dan tenaga kerja,” tutur Susanto. (RYO)

Bank Komersial Tidak Peduli Soal Bunga Kredit

Jakarta, Kompas - Kalangan pengusaha berharap penurunan bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate semestinya diikuti bank komersial. Namun, bank komersial tidak peduli dan kalangan pengusaha hanya menerima karena membutuhkan dana. Ironisnya, BI tidak punya daya untuk menekan bank-bank sebagai penyalur kredit.

Ketua Umum Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Polah Cahyono di Yogyakarta, Jumat (3/4), mengatakan, ”BI mandul. Tidak punya daya pressing terhadap perbankan untuk menurunkan bunga kredit. Dari penurunan BI Rate sebelumnya, pelaku usaha tidak merasakan dampaknya secara signifikan.”

Menurut Ambar, BI hanya bisa mengawasi dan mengimbau penurunan bunga kredit perbankan. Padahal, masyarakat yang harus memutar roda usahanya tetap saja menerima besaran bunga yang ditawarkan perbankan.

Direktur Marketing PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Amelia Candra memprediksi penurunan BI Rate baru bisa berdampak 4-6 bulan ke depan bagi kredit kendaraan bermotor. BI Rate tidak bisa langsung memberikan dampak karena perbankan masih bergantung dana-dana lama.

Fuad Zakaria, Direktur Utama PT Adco Citra Asri, menyambut baik penurunan BI Rate secara moral. ”Masalahnya, kredit konstruksi sulit didapat lebih karena bank kekurangan likuiditas. Kesimpulannya, masalah pokoknya bukan besaran suku bunga, tetapi ada tidak uangnya,” ujar dia.

Menurut Fuad, yang membangun perumahan Soekarno-Hatta Regency di Bandung, ketika kredit diajukan, bank selalu berdalih sedang diproses. ”Selalu saja masih dalam proses dan tak kunjung disetujui, padahal kami ingin cepat membangun. Sebab, pekerja juga butuh makan dari proyek kami,” kata dia.

Dari informasi sesama pebisnis, kata Fuad, bukan hanya kredit di sektor konstruksi yang sulit dikabulkan pinjamannya. Juga kredit sektor usaha lainnya.

Dihubungi di Medan, Direktur Utama Anugerah Langkat Makmur Musa Rajekshah meminta perbankan lebih serius menyalurkan kredit usaha setelah suku bunga acuan BI turun. Kekakuan perbankan menyalurkan kredit tanpa mempertimbangkan kinerja dan rekam jejak calon debitor secara tidak langsung menghambat rencana ekspansi.

Rajekshah mengungkapkan, walau pihaknya sudah mendapat komitmen BRI untuk kredit dalam program revitalisasi perkebunan pemerintah sejak dua tahun lalu, sampai kini pihak bank belum juga mencairkan.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris, seusai berdiskusi dalam forum komunikasi dunia usaha se-Jawa Tengah di Semarang, Jumat kemarin, mengatakan, penurunan BI Rate merupakan antisipasi dari menurunnya kegiatan sektor riil. Penurunan itu diharapkan dapat menggerakkan kembali sektor riil.

Gubernur BI Boediono mengatakan, dari berbagai evaluasi pada tahun ini, BI memperkirakan perekonomian Indonesia akan bertumbuh 3-4 persen. Meskipun ada pelambatan, pertumbuhan itu masih cukup tinggi jika dibandingkan prospek pertumbuhan negara lain. (OSA/ham/rei/ryo)

Bunga Kredit agar Ditekan

Jakarta, Kompas - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen akan sia-sia jika tidak diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Bank BUMN harus menjadi motor penurunan suku bunga kredit sehingga persoalan kesulitan likuiditas dan pelambatan sektor riil bisa teratasi.

”Sayang sekali jika penurunan BI Rate lagi-lagi tidak diikuti penurunan suku bunga kredit. Sampai saat ini perbankan masih mempertahankan suku bunga simpanan dan kredit yang cukup tinggi sehingga likuiditas tetap kering dan sektor riil susah berjalan,” kata pengamat pasar uang, Farial Anwar, Jumat (3/4).

Penegasan Farial ini setelah Bank Indonesia, Jumat, kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (BP) menjadi 7,5 persen. Hal itu merupakan penurunan yang kelima kalinya sejak Desember 2008. Berarti, BI Rate sudah turun 200 BP atau 2 persen.

Namun, penurunan belum diikuti dengan penurunan suku bunga kredit secara proporsional. Terhitung dari akhir tahun sampai kemarin, rata-rata penurunan suku bunga kredit perbankan hanya sekitar 50 BP.

Menurut Farial, untuk mengatasi tidak sejalannya kebijakan BI dengan kebijakan perbankan nasional itu, sudah seharusnya bank BUMN menjadi motor penurunan suku bunga kredit. Sebagai bank milik pemerintah, bank BUMN harus sadar bahwa salah satu tanggung jawab utamanya adalah sebagai agen pembangunan nasional. ”Saat krisis seperti ini, peranan bank BUMN sangat dibutuhkan,” kata Farial.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad mengakui, penurunan suku bunga perbankan masih belum sesuai harapan BI. ”Mudah-mudahan dengan penurunan suku bunga sebesar 25 BP ini, perbankan bisa melakukan penyesuaian,” katanya.

Cadangan devisa

Saat mengumumkan penurunan BI Rate, Gubernur BI Boediono mengatakan, saat ini perekonomian dunia masih diliputi ketidakpastian yang tinggi, meskipun akhir-akhir ini terdapat sentimen positif terkait adanya kesepakatan G-20 yang mendorong perbaikan di pasar modal dan pasar keuangan global.

Hal lainnya yang juga cukup positif, lanjut Boediono, pada akhir triwulan I-2009, cadangan devisa sebesar 54,8 miliar dollar AS atau setara 5,9 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa naik 900 juta dollar AS dari level sebelumnya.

Sementara, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia triwulan I-2009 juga baik. Volume ekspor beberapa komoditas unggulan, seperti minyak sawit dan tembaga, menunjukkan kinerja yang positif. Manufaktur mengalami penurunan. Selama triwulan I-2009, neraca pembayaran bakal surplus 3,5 miliar dollar AS.

Kondisi perbankan nasional tetap terjaga baik. Rasio kecukupan modal (CAR) cukup tinggi, yakni 17,7 persen per Februari 2009 dengan nonperforming loans (NPL) relatif terkendali. NPL gross sebesar 4,3 persen dan NPL net 1,6 persen. (Rei)

Sepuluh Kearifan Krisis

Rhenald Kasali

Belakangan ini terasa benar adanya frustrasi di masyarakat. Setiap kali kesulitan, kita seperti ingin cepat menyerah, seakan- akan sudah demikian gawat dan genting.

Kata gawat, genting, atau kemelut adalah terjemahan yang diberikan John M Echols dan Hassan Shadali dari kata bahasa Inggris, crisis.

Maka, setiap hari begitu mudah kita temui kata krisis. Mulai dari krisis demam berdarah sampai flu burung; dari pangan sampai gula dan pupuk; dari transportasi dan logistik sampai, BBM, listrik, dan air bersih; dari pendidikan dan moral sampai moneter dan keuangan global.

Pemaknaan ini berbeda dengan cara bangsa lain memaknai krisis. Di Amerika Serikat, krisis ditafsirkan sebagai titik belok yang menuntut terjadinya perubahan untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Di China, krisis merupakan gabungan dari dua kata: bahaya dan kesempatan.

Benarkah krisis pembawa bencana, hantu pencabut nyawa yang membuat kita menyerah?

Indonesia butuh krisis

Saya menolak anggapan bahwa kita harus jauh dari krisis. Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bangsa-bangsa besar dibentuk oleh ancaman dan krisis. Jepang, Korea Utara, negara-negara Eropa dan AS, serta Israel adalah contohnya. Bangsa Indonesia sebaliknya, kita dikaruniai alam indah, tanah subur, cahaya matahari berlimpah, dan sumber daya alam tak terkira.

Tanpa ada krisis, kita akan menjadi bangsa yang malas, hanya mengulang-ulang apa yang sudah dilakukan, terperangkap tradisi, mudah puas diri, tak berinisiatif, akhirnya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya.

Jadi, krisis keuangan global yang menghantui kita ini adalah baik bagi semua. Baik bagi presiden dan gubernur bank sentral agar lebih berani serta cepat bertindak dan mengambil keputusan. Baik bagi para menteri agar lebih berpikir dan mementingkan bangsa dalam bekerja. Juga baik bagi birokrat agar lebih mengutamakan rakyat. Baik bagi pemerintah daerah agar tidak menjadikan perizinan usaha sebagai pendapatan asli daerah. Baik bagi pengusaha agar lebih lincah bergulat dalam kesulitan serta lebih efisien dan inovatif, serta baik bagi aktivis agar tidak melulu mengedepankan konflik.

Namun, krisis jelas tidak baik bagi media massa, politisi busuk, dan para pemimpin oposisi yang terus menyuarakan konflik dan kebencian.

Krisis dan perubahan

Setidaknya ada sepuluh pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan global saat ini, dimulai dengan hubungan antara krisis dan perubahan.

Pertama, krisis selalu terjadi jika makhluk hidup gagal beradaptasi atau perilakunya melawan (resisten) terhadap perubahan. Krisis melanda AS saat pemimpin dan penguasanya gagal merespons aneka tuntutan baru, sama seperti yang kita alami tahun 1997-1998. Inertia yang demikian kuat tak memungkinkan perubahan dari dalam, sampai Tuhan semesta alam mengirimkan ”bantuan perubahan” berupa krisis. Di Indonesia, sepanjang 2006-2008 banyak orang menyangkal dan menahan perubahan. Jika sistem tak memungkinkan mereka melakukan evolusi, mereka dapat menerima hukuman dalam bentuk krisis.

Kedua, kendati pasar domestik tetap kuat dan pengaruh pasar internasional serta investasi asing di Indonesia hanya 10-20 persen, apakah bijak mengatakan krisis ini tidak ada di sini? Masalahnya, pemerintah yang berkuasa masih bekerja seperti biasa dan reformasi birokrasi tidak berjalan sehingga eksekusi pembangunan masih amat lamban.

Ketiga, kendati sasaran nasihat-nasihat ekonomi makro ditunjukkan kepada pemerintah, apakah bijak menyajikan fakta- fakta krisis terus-menerus kepada khalayak umum? Alih-alih menasihati pemerintah, yang takut justru dunia usaha dan konsumen yang berpotensi menahan investasi dan konsumsi sehingga mempercepat terjadinya resesi.

Keempat, krisis tidak hanya menghancurkan daya beli, tetapi juga memudarkan harapan dan aneka keinginan sehingga melemahkan pelaku usaha yang dominan. Selain sulit, keadaan ini sebenarnya menjanjikan kesempatan untuk merebut posisi dalam persaingan karena banyak pemain asing yang limbung kehilangan rasa percaya diri.

Kelima, ada pasar dan segmen yang hilang, tetapi juga ada pasar yang tiba-tiba muncul. Perjalanan wisata ke Eropa dan AS turun, beralih ke dalam negeri. Demikian pula dengan barang-barang lux, otomotif, dan makanan, terjadi pergeseran sehingga ada pasar yang hilang dan ada yang tiba-tiba muncul.

Keenam, saat jalan terasa enak, itu pertanda kita sedang menurun dan, sebaliknya, saat terasa berat, itu pertanda kita sedang mendaki ke atas.

Ketujuh, krisis bukan saat yang tepat untuk mengetatkan aturan. Ia butuh ruang gerak dan fleksibilitas. Krisis menuntut relaksasi constraint.

Kedelapan, krisis adalah saat tepat berinvestasi. Kala ekonomi membaik, itu saat memanen.

Kesembilan, tugas pemimpin adalah memelihara optimisme. Namun, bukankah orang yang optimistis dan positif pada masa krisis sering dianggap orang yang tidak kritis? Bagi sebagian besar elite, pemimpin yang kritis adalah mereka yang negatif dan pesimistis.

Kesepuluh (terakhir), meski manusia melihat dengan mata, mereka lebih percaya melalui pikiran, yaitu pikiran yang dibentuk oleh ulasan dan data yang tak terlihat. Untuk kondisi Indonesia ada kenyataan, krisis yang dilihat melalui kasatmata (baca: tidak ada krisis) amat berbeda dengan krisis yang kita lihat melalui data, kajian, dan ulasan para ahli (baca: keadaan sudah genting).

Keduanya (mata dan pikiran) harus digunakan secara simultan guna meraih kecerdasan dan keberanian bertindak. Namun, di era krisis global kali ini, tampak keduanya berseberangan jalan sehingga krisis keuangan global mengacaukan pikiran.

Saya tidak berpretensi apa-apa dengan menyatakan seolah krisis tidak ada atau, sebaliknya, krisis sudah gawat. Apa pun bentuknya, berbagai ancaman atau kegentingan, ada baiknya untuk memperbarui kesejahteraan, cara berpikir, dan cara mengelola Republik Indonesia. Tak penting betapa besar kerugian yang Anda alami, yang lebih penting adalah apa yang dapat kita pelajari dari krisis itu sendiri.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Terjebak "Fenomena Stiglitz-Wise"

Sektor finansial menjadi sektor dalam perekonomian yang paling terpukul oleh krisis keuangan dan ekonomi global. Dilihat dari nilai kerugian, angkanya mungkin melebihi kerugian sektor manufaktur sebagai sektor kedua paling terpukul yang sejauh ini sudah merumahkan lebih dari 30.000 pekerja.

Jika krisis finansial global disebut-sebut mengakibatkan lenyapnya nilai aset global hingga 50 triliun dollar AS, di Indonesia angkanya juga sangat spektakuler untuk ukuran skala pasar dan perekonomian lokal.

Seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas mengatakan, akibat krisis global, 60 persen konglomerat di Indonesia nyaris tersapu habis networth-nya. BUMN keuangan juga tergerus tajam labanya.

Akibat terpuruknya harga saham, kerugian yang dialami investor di pasar modal, seperti dilaporkan Infobank, sudah mencapai Rp 457,31 triliun hanya dalam kurun Oktober-September 2008 karena kapitalisasi pasar anjlok dari Rp 1.464,32 triliun menjadi Rp 1.007,01 triliun. Dalam setahun (akhir 2008 dibandingkan dengan akhir 2007), kerugian mencapai Rp 911,83 triliun!

Ditambah sejumlah kasus yang sempat mencoreng citra pasar modal dan finansial, banyak investor memilih menarik diri.

Kondisi sama terjadi di perbankan. Menurut seorang panelis, periode 2007-2008 bisa dikatakan adalah masa bulan madu bagi perbankan Indonesia, yang mencetak rekor demi rekor kinerja yang sangat fantastis. Aset perbankan untuk pertama kali menembus Rp 200 triliun, jauh melampaui volume APBN yang kini Rp 1.000 triliun. Dana masyarakat meningkat pesat, mencapai Rp 1.750 triliun. Pertumbuhan kredit 2009 juga mencapai angka rekor 31 persen (di atas target BI yang 24 persen) dengan volume kredit dua tahun terakhir melampaui Rp 1.000 triliun.

Namun, ia pesimistis kondisi itu bisa berlanjut tahun ini. Perbankan secara keseluruhan mengalami keketatan likuiditas kendati kondisinya tak merata untuk semua bank. Adanya kepercayaan yang hilang, ditambah kasus-kasus yang sempat menimpa sejumlah bank, seperti Bank Century dan BPR Tripanca, bank jadi semakin risk averse.

Mereka memilih mencari aman dengan menjaga likuiditas lebih tinggi dari yang dibutuhkan dan memilih menaruh dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang meminjamkan kepada bank lain yang kekurangan likuiditas atau melakukan ekspansi kredit ke nasabah.

Kondisi likuiditas ketat ini bakal menjadi-jadi dengan meningkatnya penerbitan instrumen surat utang oleh pemerintah untuk pembiayaan APBN.

Kecenderungan risk averse, ditambah lagi adanya informasi yang asimetris, membuat mekanisme transmisi kebijakan moneter oleh bank sentral pun tak jalan. Seharusnya, penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia diikuti oleh penurunan suku bunga kredit. Tetapi ini tak terjadi. Dalam istilah panelis, perbankan terjebak ”Fenomena Stiglitz- Wise”.

Untuk mengatasi situasi ini, panelis mengatakan, diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki arus informasi dan juga tingkat kepercayaan. Salah satu yang diminta perbankan adalah adanya jaminan terhadap pinjaman antarbank, tetapi gagasan ini ditolak pemerintah antara lain karena alasan moral hazard.

Terobosan

Namun, di tengah kondisi perbankan yang cenderung memilih tiarap ini, ada juga bank yang nyeleneh. Buktinya, masih ada bank, seperti Bank Papua, yang berlimpah likuiditas, berburu nasabah hingga ke wilayah Ibu Kota.

Tetapi, ada juga bank yang karena terlalu bernafsu atau alasan lain terseret keluar dari core business-nya sehingga harus bergumul dengan problem kenaikan kredit bermasalah.

Sejumlah panelis mengingatkan ancaman lonjakan angka kredit bermasalah (NPL), baik yang berasal dari debitor korporasi maupun debitor individual (produktif dan konsumtif). Kondisi ini terutama mengancam bank-bank BUMN atau bank pembangunan daerah (BPD) karena penyelesaian NPL di kelompok bank-bank ini terkendala masalah hukum.

Salah satunya, ketentuan pencadangan (provisi) dan aturan yang melarang mereka memberikan potongan uang (haircut) untuk NPL karena dianggap merugikan negara. NPL yang menumpuk dan menuntut pencadangan besar ini membuat bank-bank tersebut juga semakin tak leluasa berekspansi kredit.

Dalam kondisi seperti ini, mungkin yang diperlukan adalah langkah-langkah yang tidak biasa untuk menerobos kebuntuan di perbankan dan transmisi kebijakan moneter. Dalam kasus NPL bank-bank BUMN, misalnya, harus ada political will untuk mengubah ketentuan yang terlalu kaku kalau tak ingin momok kredit bermasalah jadi masalah yang tak pernah tuntas (never ending story) di bank-bank BUMN. (tat)

G-20 Buka Era Baru

London, Kompas - Pertemuan G-20, kumpulan negara maju dan berkembang, di London, Inggris, Kamis (2/4), menghasilkan beberapa langkah nyata yang dianggap sebagai pertanda lahirnya sebuah era baru dalam perekonomian global. Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutnya sebagai kompromi historis. Nur Hidayati

Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sebagai tuan rumah bahkan mengatakan, ”Konsensus Washington lama berakhir sudah.”

Konsensus Washington pertama kali disebutkan oleh ekonom Amerika Serikat, John Williamson, pada tahun 1989. Konsensus ini merujuk pada konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi yang diinginkan Washington (Gedung Putih), yang dipaksakan lewat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, terutama saat kedua lembaga ini memberikan bantuan dana kepada negara yang terpukul krisis ekonomi.

Konsensus Washington kemudian dianggap sebagai instrumen neoliberalisme atau neokapitalisme. Konsensus ini memaksa semua negara yang belum siap untuk membuka diri terhadap persaingan internasional.

Brown menambahkan, sejumlah kesepakatan G-20 memang tidak akan mengatasi krisis global secara instan, tetapi telah ada langkah untuk pemulihan. ”Sebuah tatanan dunia baru sudah tiba. Dengan tatanan baru tersebut, kita memasuki era baru kerja sama internasional,” ujar Brown.

Kantor berita Reuters bahkan menuliskan, ”G-20 menandai berakhirnya kejayaan kapitalisme Anglo-Sakson.” Ini merujuk pada liberalisasi lepas yang didukung Inggris, Amerika sebagai pionir. Kapitalisme Anglo-Sakson mencuat ketika AS dipimpin almarhum Ronald Reagan dan Inggris dipimpin PM Margaret Thatcher pada dekade 1980-an.

Histeria

Ungkapan-ungkapan tentang era baru bermunculan, mulai dari para analis, ekonom, hingga politisi. Ini didasarkan pada kesepakatan G-20 untuk memulai perundingan liberalisasi perdagangan dengan akses pasar lebih besar bagi negara berkembang.

G-20 juga sepakat memperketat peraturan sektor keuangan, hal yang selama ini ditentang Konsensus Washington. G-20 juga menyepakati alokasi dana lebih dari 1 triliun dollar AS untuk IMF. Kepala Riset Recapital Securities Poltak Hotradero mengatakan, ”Keputusan G-20 tentang penambahan dana IMF akan berguna bagi negara berkembang yang memerlukan bantuan pada saat krisis ini.”

G-20 juga berikrar untuk mengakhiri tax haven, pembatasan bonus bagi eksekutif perusahaan, dan kesepakatan soal langkah-langkah baru untuk membantu negara berkembang.

Kesepakatan itu mencuatkan istilah era baru yang mendekati histeria. Steven Schrage, ekonom dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Washington, turut berkomentar. ”Ada kemajuan signifikan... G-8 terkenal dengan pernyataan-pernyataan yang bombastis tetapi tak bergigi,” katanya seraya menambahkan bahwa G-20 kali ini memang berbeda.

Persuasi Obama

Eswar Prasad, ekonom dari Brookings Institution, Washington, mengatakan, selain kesepakatan, G-20 tampak kompak. Negara yang terlibat dan berperan bukan saja negara maju, tetapi juga China dan lainnya. ”Ini jelas sebuah testamen bagi kekuatan persuasi pemerintahan Presiden Barack Obama,” kata Prasad.

Presiden Obama sendiri mengatakan, ”Kami mengakhiri pertemuan yang sangat produktif dan akan menjadi titik balik dari ekonomi global. Dilihat dari ukuran apa pun, pertemuan London ini bersejarah karena besarannya dan cakupan tantangan yang kita hadapi serta bagaimana kita telah merespons tantangan tersebut.” Ia menambahkan kalimat, ”Ini ada adalah sebuah era baru, soal tanggung jawab.”

Negara Asia anggota G-20, yang semakin mendominasi perekonomian global, juga memiliki peran lebih banyak menyelamatkan dan membentuk kembali sistem perekonomian global.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pertemuan G-20, juga menyerukan pentingnya kebersamaan negara-negara di dunia. Presiden menyampaikan aspirasi negara berkembang bahwa negara berkembang bukan meminta belas kasihan dari negara maju. Masalahnya, kata Presiden, negara berkembang bisa melakukan hal yang sepatutnya dilakukan. Presiden meminta tanggung jawab negara maju menciptakan sistem keuangan yang kondusif bagi stabilitas ekonomi global dalam jangka panjang.

Tidak semua pihak senang akan keputusan G-20. ”Presiden Obama hanya memainkan peran diplomatiknya,” demikian komentar The New York Times. Harian ini marah karena G-20 tidak mendalami stimulus ekonomi, usulan utama AS, tetapi ditentang Eropa. Harian AS lainnya, LA Times, menyebutkan, pertemuan G-20 hanya mengumbar janji.

Meski demikian, sambutan besar bermunculan. Presiden China Hu Jintao berjanji akan bekerja sama mengatasi krisis global. China memiliki cadangan devisa 1,9 triliun dollar AS dan diimbau untuk terus membeli surat utang Pemerintah AS.

Sebagai imbalan, Presiden Obama, yang duduk satu meja dengan Hu dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, menjanjikan China mendapatkan suara lebih besar di IMF. Ini bertujuan untuk memecah dominasi kekuatan AS di IMF dan Bank Dunia.

Simon Johnson, profesor dari Sloan School of Management MIT, mengatakan, jika selama ini pemimpin Bank Dunia dan IMF selalu berasal dari AS dan IMF, berikutnya bisa saja dari China.

Johnson mengatakan, hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan legitimasi IMF dan Bank Dunia. Efek positif selanjutnya, kedua lembaga ini akan memberikan bantuan tanpa persyaratan keras dan keliru, seperti sebelumnya, yang justru menjerumuskan banyak negara yang ditolong. Ini sekaligus menandai suara Asia yang makin didengar di dunia. (AP/AFP/Reuters/mon/joe)

Jumat, 03 April 2009

Realistis, tapi Tetap Optimistis



Oleh: Mirza Adityaswara
Chief Economist, Bank Mandiri Group


Masyarakat Jakarta hari Jumat pekan lalu dikejutkan dengan berita sedih, yaitu jebolnya tanggul Situ Gintung yang menelan banyak korban jiwa. Kita lihat, reaksi masyarakat Indonesia menolong sesamanya sangat besar, suatu sifat positif bangsa ini yang harus selalu kita jaga.

Semoga musibah seperti ini bisa kita hindari di masa depan dengan melakukan antisipasi sedini mungkin, meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan terus berkoordinasi antarinstansi.

Di bidang ekonomi, kita juga sangat memerlukan kemampuan antisipasi dan koordinasi. Kita membaca, akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 menjadi 3,0 persen-4,0 persen karena dampak negatif resesi ekonomi dunia.

Dibandingkan pertumbuhan ekonomi 6,1 persen yang berhasil dicapai pada 2008, pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan hanya sekitar 3,5 persen pada 2009 adalah suatu penurunan yang drastis. Di sektor riil, data ekonomi memang menunjukkan terjadinya perlambatan ekonomi yang signifikan. Mereka yang bekerja di sektor ekspor dan impor adalah yang paling merasakan dampak resesi ekonomi dunia. Angka ekspor bulanan turun drastis dari 12,8 miliar dolar AS (Juni 2008) menjadi 7,1 miliar dolar AS (Januari 2009).

Nilai impor turun drastis dari 10,7 miliar dolar AS (Juli 2008) menjadi 5,1 miliar dolar AS (Januari 2009). Penurunan daya beli masyarakat sudah terasa. Penjualan alat berat pada dua bulan 2009 di sektor pertambangan dan perkebunan yang didistribusikan oleh United Tractor turun 49 persen dibandingkan Januari-Februari 2008.

Pada Februari 2009, penjualan mobil turun 27 persen dan sepeda motor turun 11 persen terhadap Februari tahun lalu. Penjualan semen di pasar domestik turun tiga persen terhadap Februari 2008. Sedangkan, pertumbuhan kredit perbankan dari Desember sampai pertengahan Maret kecil sekali, hanya sekitar Rp 1 triliun.
Kita memang harus realistis menghadapi kenyataan pemburukan ekonomi. Tapi, kita juga harus tetap optimistis, menunggu perkembangan positif di Amerika Serikat (AS). Di seluruh dunia, pemburukan data-data ekonomi masih terjadi.

Tapi, di lain pihak, pasar saham di berbagai belahan dunia malah menunjukkan peningkatan dalam dua minggu terakhir. Apa yang menyebabkan investor pasar keuangan berspekulasi membeli saham di berbagai negara, sedangkan data-data ekonomi global sebenarnya belum pulih?

Di sinilah seninya membaca perilaku pasar keuangan. Investor pasar keuangan selalu menjual dan membeli sebelum data-data fundamental ekonomi secara permanen menurun atau meningkat. Contohnya, investor pasar keuangan mulai menjual saham di seluruh dunia sejak kuartal IV/2007.

Padahal, pada saat itu belum ada tanda-tanda resesi ekonomi dunia bakal melanda dunia pada 2009. Banyak investor pasar keuangan sudah melihat bakal adanya kerusakan ekonomi global setelah mereka mendengar naiknya kredit bermasalah subprime mortgage di perbankan Amerika. Kekhawatiran tersebut yang membuat pasar saham mulai turun sejak kuartal IV/2007 dan semakin parah di semester II/2008.

Berita gembira yang membuat investor pasar keuangan antusias adalah kabar tentang rencana Pemerintah Amerika mengambil alih kredit macet (Itoxic asset) dari perbankan Amerika sebanyak satu triliun dolar AS. Walaupun jumlah satu triliun dolar AS masih kurang, kebijakan ini diharapkan menolong perbankan Amerika untuk kembali berfungsi memberikan kredit.

Berita lain, bank sentral AS berkata akan menambah pemberian kedit langsung ke sektor riil sampai jumlah satu triliun dolar AS. Praktik ini sama dengan mencetak uang. Tapi, pada saat ini, kebijakan tersebut tampaknya memang dibutuhkan berhubung perbankan Amerika sedang rugi dan modalnya tergerus signifikan sehingga tidak mampu memberikan kredit.

Pencetakan mata uang dolar telah membuat persepsi negatif terhadap dolar sehingga dolar AS melemah. Akibatnya, rupiah menguat beberapa hari terakhir. Investor saat ini sudah terbiasa mendengar berita negatif, asalkan berita tersebut sesuai ekspektasi awal. Contohnya, pertumbuhan ekonomi Amerika turun 6,3 persen di kuartal IV/2008 yang tidak membuat pasar keuangan panik. Investor pasar keuangan saat ini haus akan berita positif.

Investor berusaha mencari informasi, apakah pasar keuangan sudah mencapai titik terbawahnya. Kita tidak tahu pasti kapan itu tercapai. Tapi, investor antusias ketika direksi Citigroup dan Bank of Amerika mengatakan, dalam dua bulan pertama di 2009, kedua bank tersebut memiliki kinerja yang lebih baik daripada kwartal IV/2008.Investor semakin optimistis ketika data penjualan rumah di Amerika pada Februari 2009 meningkat 4,7 persen dibandingkan Januari dan pembelian durable goods naik 3,4 persen pada bulan yang sama.

Berita-berita positif tersebut membuat indeks bursa Dow Jones, Eropa, dan bursa Asia meningkat. Indeks bursa saham Indonesia sudah meningkat delapan persen sejak awal tahun. Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) rupiah membaik dari 14 persen menjadi 12 persen dalam waktu satu bulan. Tanda-tanda positif lain yang menunjukkan bahwa penurunan ekonomi mungkin sudah mencapai titik terbawah adalah naiknya Baltic Dry Index, yaitu indeks tarif angkutan kargo laut yang sudah meningkat 121 persen sejak awal tahun.

Bagaimana kita menerjemahkan data-data ekonomi Indonesia supaya kita mendapat rasa optimisme? Contohnya, data penjualan mobil. Walaupun penjualan mobil pada Februari turun 27 persen terhadap Februari 2008, dibandingkan Januari 2009, angka tersebut naik sembilan persen. Data penjualan sepeda motor Februari, walaupun turun 11 persen terhadap Februari tahun lalu, sebenarnya meningkat 13 persen ketimbang Januari 2009.

Data penjualan semen Februari 2009 memang turun 11 persen dibandingkan Januari, tapi penjualan semen selama dua bulan tahun 2009 hanya turun tiga persen dibandingkan Januari-Februari 2008. Jadi, bila nantinya volume penjualan semen di akhir 2009 turun enam persen, hal tersebut masih menunjukkan daya tahan ekonomi kita yang cukup kuat.

Bayangkan saja, ekonomi Singapura, Taiwan, Hong Kong, dan Jepang tahun ini diperkirakan turun sebanyak empat persen sampai tujuh persen tahun ini. Sedangkan, ekonomi Indonesia diharapkan masih tumbuh positif sekitar empat persen. Jadi, marilah kita hadapi resesi ekonomi dunia ini dengan realistis, tapi tetap dengan optimisme sambil melakukan antisipasi menghadapi penurunan pertumbuhan ekonomi dan kerja keras berkoordinasi agar aktivitas ekonomi bisa terus berjalan.

Bank Fokus ke Usaha Mikro


KOMPAS/LASTI KURNIA
Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D Hadad (kedua dari kiri) didampingi Deputi Menteri Bidang Pembiayaan Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM Agus Muharam (kiri) menyaksikan acara Penandatanganan Surat Pemberitahuan Persetujuan Pemberian Kredit antara Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat/Syariah, Koperasi, dan Baitul Mal Tamwil di Gedung BI, Jakarta, Rabu (1/4).
Kamis, 2 April 2009 | 03:32 WIB

Jakarta, Kompas - Seiring lesunya kinerja korporasi akibat krisis global, bank umum pun kian fokus menyalurkan kredit ke segmen mikro dan kecil. Dalam penyaluran kredit, bank umum makin marak melakukan linkage.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D Hadad di Jakarta, Rabu (1/4), menjelaskan, bank umum makin gencar menyalurkan kredit ke segmen mikro dan kecil.

Salah satunya tercermin dari melonjaknya penyaluran kredit menggunakan skema linkage program, dari Rp 2,8 triliun pada akhir 2005 menjadi Rp 6,4 triliun pada Februari 2009.

Linkage program merupakan kerja sama bank umum dengan bank perkreditan rakyat (BPR) atau lembaga keuangan mikro, seperti koperasi dan baitul maal wa tamwil (BMT).

Bank umum memilih linkage program karena memiliki keterbatasan jaringan dan infrastruktur dalam menjangkau usaha mikro dan kecil (UMK) yang umumnya beroperasi di daerah. Di sisi lain, BPR dan lembaga keuangan mikro, yang banyak beroperasi di daerah, secara natural lebih dekat dengan segmen mikro dan kecil.

Namun, lembaga keuangan mikro memiliki dana terbatas sehingga tidak bisa menyalurkan kredit UMK secara optimal.

Oleh karena itulah, bank-bank umum, yang kini memiliki likuiditas berlebih, menyalurkan dananya ke BPR atau lembaga keuangan mikro. Selanjutnya, dana tadi disalurkan lagi ke UMK.

Linkage program, kata Muliaman, tidak hanya mempermudah akses pembiayaan bagi UMK, tetapi juga meningkatkan kapasitas pembiayaan BPR dan lembaga keuangan mikro.

Segmen UMK makin diminati perbankan karena telah terbukti tahan terhadap krisis ekonomi.

”Apalagi, potensi berkembangnya UMK masih cukup besar,” kata Muliaman di sela penandatanganan persetujuan kredit bank umum dengan BPR/S, koperasi, dan BMT, hari Rabu.

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah mengatakan, untuk menyempurnakan linkage program, BI sedang menjajaki rencana pendirian lembaga pemeringkat BPR.

Pemeringkatan BPR akan mempermudah bank umum mencari mitra. Juga memacu BPR konvensional atau syariah berkinerja lebih baik agar bisa mendapatkan dana bank umum.

Salah satu bank umum yang agresif menyalurkan kredit linkage adalah BNI. Hingga Februari 2009, kredit linkage BNI mencapai Rp 2,75 triliun, naik 211 persen dibandingkan posisi akhir 2007 senilai Rp 862,57 miliar.

Direktur Usaha Kecil, Menengah dan Syariah BNI Achmad Baiquni mengatakan, peningkatan kredit tidak terlepas dari tambahan mitra penyalur dari 509 lembaga keuangan (BPR dan koperasi) tahun 2007 menjadi 1.143 lembaga tahun 2008. Jumlah nasabah yang telah dibiayai lewat linkage program BNI mencapai 345.000 usaha mikro.

Deputi Pembiayaan Kemenneg Urusan Koperasi dan UKM Agus Muharam mengatakan, linkage program diperkirakan makin marak ke depan. Apalagi, setelah adanya pedoman linkage antara bank umum dan koperasi yang diterbitkan Kementerian Negara Koperasi dan UKM.

Pedoman tersebut diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Nomor 03/Per/M.KUKM/III/2009. Selain kriteria koperasi yang menjadi peserta linkage program, peraturan ini juga mengatur kode etik peserta program. Ada juga kebijakan, monitoring, evaluasi, dan koordinasi, serta pengendalian linkage program.

”Pedoman ini juga dapat mengatisipasi kesulitan perbankan pelaksana kredit usaha rakyat dalam menyalurkan kredit kepada pengusaha mikro. Bank-bank pelaksana diimbau memakai pedoman itu, karena dalam penyusunan sudah dilibatkan secara intensif,” ujar Agus. (FAJ/OSA)

Setitik Cahaya di Lorong Gelap

Rembesan gelombang krisis global sudah mengalir ke mana-mana. Sejak kuartal IV-2008, imbasnya sudah melimpas ke Indonesia. Harga sebagian besar komoditas ekspor anjlok. Pertumbuhan ekonomi pun terus melemah. Di sektor riil, dampak krisis global bahkan bersifat menyeluruh.

i tengah turbulensi ekonomi global kali ini, hanya sedikit subsektor yang mengalami penguatan. Sebutlah seperti bidang pertanian dan industri furnitur. Meski relatif kecil, kenaikan nilai ekspor komoditas pertanian selama periode Januari-Februari 2009 sebesar 2,42 persen dan industri furnitur selama lima tahun terakhir yang masih bertumbuh sekitar 7 persen per tahun bisa dianggap sebagai sebuah sinyal positif.

Seperti dikatakan seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, Rabu (1/4), selama manusia masih mandi dan menggunakan sabun, misalnya, maka produk hasil olahan minyak sawit mentah (CPO) yang berbasis industri pertanian tetap dibutuhkan oleh pasar dunia. Artinya, masih ada peluang, setitik cahaya di lorong gelap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus melemah akibat tekanan krisis global.

Kendati demikian, pelemahan sektor riil yang bersifat cukup merata juga adalah suatu kenyataan yang tak boleh disembunyikan lewat angka-angka statistik, apalagi hanya untuk kepentingan politik tertentu yang bersifat sesaat. Sebab, secara umum, pertumbuhan industri nonmigas, yang terus melemah sejak tahun 2005, mulai kuartal IV-2008 sesungguhnya sudah masuk ke wilayah negatif.

Beberapa indikator sektor riil memperlihatkan: konsumsi semen melemah sejak Mei (2008); konsumsi listrik mendatar juga sejak Mei; indeks produksi turun sejak Oktober; dan penjualan mobil anjlok sejak November.

Indikator lain terlihat dari harga sejumlah komoditas ekspor, seperti minyak sawit, karet, minyak mentah, tembaga, dan nikel yang telah anjlok hingga 40 persen dibandingkan harga pada Januari 2008. Adapun LNG dan batubara turun 13 persen.

”Padahal, tujuh komoditas tadi mengambil 44 persen porsi dari total ekspor Indonesia,” kata seorang panelis lain.

Guna membantu penguatan ekspor, ternyata depresiasi rupiah pun tidak banyak membantu. Indeks nilai tukar rupiah yang telah melemah sekitar 6 persen dibandingkan Januari 2008 terbukti tidak mampu menolong penguatan ekspor, antara lain lantaran mata uang lain di kawasan ini—kecuali yuan China—juga melemah antara 5-10 persen.

Tekanan krisis global memang telah menciptakan semacam rantai persoalan bagi perekonomian Indonesia. Dampaknya terhadap sektor riil pun sudah bisa dibaca, sebagaimana terlihat dari mulai melemahnya produksi dan ekspor kita. Dikhawatirkan harga sejumlah komoditas yang menopang perekonomian nasional tersebut akan ”terjun bebas’’ pada tahun ini.

Pertumbuhan ekspor nonmigas dan migas sudah anjlok dari 30 persen pada September 2008 menjadi minus 30 persen pada Januari 2009. Sementara kalau dilihat hanya ekspor migas, tingkat anjloknya jauh lebih hebat, yakni dari positif 60 persen pada Agustus 2008 menjadi minus 60 persen pada Januari 2009.

”Namun, ke depan, perbedaan dampak tersebut tidak seragam,” kata panelis.

Industri berorientasi ekspor akan lebih terpukul dibandingkan industri berorientasi domestik. Industri barang mewah dipastikan lebih terkena dampak krisis daripada industri barang kebutuhan pokok. Industri yang banyak bergantung pada kredit juga akan mengalami pelemahan.

Terlepas dari itu semua, diingatkan bahwa permasalahan yang dihadapi sektor riil tidak bersifat spesifik sektor riil itu sendiri. Isu utama yang membelit persoalan yang kini dihadapi lebih bersifat umum alias makro nasional, seperti stimulus fiskal, kebijakan nilai tukar, serta kebijakan menjaga sektor finansial dan bagaimana agar pasar tetap terbuka.

Dengan kata lain, masalah sesungguhnya yang dihadapi sektor riil dalam krisis global kali ini adalah masalah struktural jangka panjang. ”Dan ini tidak terlalu terkait dengan krisis,” ujarnya.

Pasar domestik

Pukulan yang mulai membuat oleng bangunan ekonomi Indonesia di tengah badai krisis global mau tidak mau harus disikapi dengan strategi ekstra, di luar pakem kebijakan umum. Semua pihak sudah seharusnya duduk bersama guna mencari jalan keluar secara bersama. Artinya, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seyogianya menyertakan peran serta kalangan bisnis terkait.

Jika tidak, seperti munculnya kebijakan stimulus fiskal belum lama ini, tindakan pemerintah hanya memancing kritik karena dinilai tidak tepat sasaran. Alih-alih menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit yang menghantui sektor riil akibat tekanan ekonomi global, pemerintah malah dituding tidak mengerti persoalan yang sesungguhnya.

Sebab, bagi pelaku dunia usaha—sebagaimana dikeluhkan salah satu panelis—kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah hanya ibarat refleksi kaki, padahal yang sakit justru jantung. Pemerintah dinilai terlalu sibuk membicarakan krisisnya, tetapi korban krisis (baca: dunia usaha) tidak pernah dibicarakan.

”Perlindungan terhadap dunia usaha sangat lemah. Tidak ada sesuatu yang riil yang dilakukan pemerintah untuk melindungi korban krisis,” katanya.

Beda dengan China yang begitu cepat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak dari krisis global, melalui pembenahan infrastruktur dan melonggarkan bunga bank bagi kalangan dunia usaha. Sementara di kita, kata panelis itu, meski suku bunga acuan Bank Indonesia sudah diturunkan, tetapi tidak berpengaruh pada bunga bank.

Kecenderungan pemerintah jalan sendiri dalam upaya menangani meluasnya dampak krisis kian terlihat dari tidak pernah dipakainya masukan dari kalangan dunia usaha dalam merumuskan suatu kebijakan. Kalangan dunia usaha yang berada di lapangan diperlakukan oleh pemerintah, seperti pemain bola yang dibiarkan saja sendiri mencari peluang tanpa diberi umpan.

”Lebih parah lagi, pemerintah cuma teriak tanpa action,” ujarnya. Industri furnitur sebagai industri padat karya yang punya daya tahan cukup kuat, misalnya, juga seperti dibiarkan jalan sendiri. Padahal, secara umum pertumbuhan industri ini selama lima tahun terakhir tidak pernah turun. Rata-rata naik 7 persen per tahun.

Hingga Oktober 2008, ketika sejumlah komoditas ekspor lain anjlok, pertumbuhan industri furnitur masih di kisaran 6 persen. ”Hanya begitu masuk ke produk berbahan baku hasil kehutanan, seperti kayu, rotan, dan bambu, memang agak melorot,” tambahnya.

Menghadapi tekanan krisis ekonomi global kali ini, para panelis sepakat perlunya semua pihak bekerja sama. Upaya membuat pasar yang lebih fleksibel, seperti relokasi, substitusi input, konsumsi, maupun orientasi pasar mutlak dilakukan. Efisiensi jelas suatu keharusan. Pada saat bersamaan perlu dipikirkan untuk berpartisipasi dalam jaringan produksi internasional, di mana dalam model ini proses produksi dipecah-pecah sehingga masing- masing negara mengambil spesialisasi dalam komponen tertentu.

Mengingat pola krisis kali ini berbeda dibandingkan badai yang mengguncang perekonomian Indonesia pada tahun 1998, di mana industri dan atau produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang akan lebih terpukul, maka penguatan pada pasar domestik mutlak diperlukan. Adapun untuk menguatkan daya saing ke luar, diversifikasi produk berbasis kekayaan alam serta produk-produk inovatif berbasis tradisi dan budaya bangsa sudah waktunya dijadikan andalan.

Bagi kalangan dunia usaha, badai krisis global saat ini diakui sangat memukul, tetapi bukan berarti tanpa peluang. ”Sepanjang sejarah peradaban, umat manusia tumbuh terus dan selalu bisa mencari jalan keluar!” (ken/aik/isw/tat)