Senin, 30 Maret 2009

Obama Paksa Mundur CEO General Motors



Obama Paksa Mundur CEO General Motors

RICK WAGONER, CEO General Motors

WASHINGTON -- CEO General Motors Rick Wagoner mundur setelah menghadapi tekanan dari pemerintahan Obama yang hari Minggu ini (Senin WIB) bersiap mengumumkan dana talangan kedua untuk perusahaan ini dan pesaingnya yang lebih kecil Chrysler LLC.

Wagoner, seorang eksekutif karir GM dan menjabat CEO sejak tahun 2000, mengundurkan diri setelah produsen otomotif itu berjuang menghadapi turunnya penjualan akibat resesi yang memaksa GM dan para pemasok serta dealer diambang bangkrut.

"Bagi mereka mengganti pimpinan di tengah jalan adalah hal yang tidak pernah dilakukan GM, namun kini (Presiden Barack) Obama atau (Menteri Keuangan Timothy) Geithner bisa berkata, kami meminta mereka berkorban," kata Aaron Bragman, analis pada IHS Global Insight.

Ekonom dari Universitas Maryland, Peter Morici, pengkritik utama Wagoner yang pernah meminta Wagoner mundur namun dia kini malah percaya bahwa Wagoner sedang memulai menata perusahaan. Morici kini menyebut pemerintah menghadapi "masalah humas" berkaitan dengan paket dana talangan untuk perusahaan-perusahaan itu.

"Mereka hanya menalangi pihak yang pamer dan merengek meminta dana. Rakyat semakin letih karenanya dan alih-alih melemparkan seorang bankir ke kumpulan serigala pemerintah malah membesarkan Wagoner menjadi serigala," kata Morici.

GM sendiri tidak mengeluarkan pernyataan apapun berkaitan pengunduran diri Wagoner, namun seorang pejabat Gedung Putih yang menolak menyebutkan nama menyatakan bahwa pengunduran diri Wagoner adalah permintaan dari pemerintahan Obama.

Pemerintah tidak mengeluarkan sepatah kata pun apakah pemerintah atau pihak lainnya mengetahui sejak kapan Wagoner mundur atau siapa yang menggantikannya.

Fritz Henderson, "Chief Operating Officer" GM, adalah orang nomor dua di GM dan diyakini banyak kalangan akan menggantikan Wagoner.

Minggu lalu Obama menyebutkan mismanajemen selama bertahun-tahun menjadi pemicu masalah keuangan hebat pada industri otomotif AS, sebuah tuduhan yang menyengat Wagoner karena bersama pimpinan Ford Motor Co Alan Mulally dan bos Chrysler Bob Nardelli, mereka relatif pendatang baru yang datang dari luar industri otomotif.

GM menderita rugi sekitar 82 miliar dolar AS sejak 2005 sampai kerusakan keuangan bertambah parah di masa ini. Nilai perusahaan ini amblas 95 persen sejak Wagoner menjabat CEO.

Wagoner sedang berada di Washington hari Jumat untuk bertemu dengan gugus tugas restrukturisasi otomotif yang ditunjuk DPR dan Obama akan menyampaikan rekomendasi gugus tugas ini hari Senin.

GM dan Chrysler telah meminta tambahan dana sebesar 22 miliar dolar AS kepada pemerintah untuk mengatasi melemahnya pasar kendaraan baru yang merupakan terendah dalam 30 tahun terakhir. Namun, Ford yang juga dilanda krisis tidak berupaya mencari bantuan pemerintah.

Minggu (Senin WIB) ini Obama menyatakan bahwa GM dan Chrysler tidak berbuat banyak untuk menyelamatkan diri mereka sendiri sejak menerima dana talangan 17,4 miliar dolar AS Desember lalu.

"Mereka belum berbuat," kata Obama dalam wawancara rekaman pada program berita CBS, "Face The Nation."

GM dan Chrysler telah memakai hampir semua dana talangan awal dan hampir bangkrut tanpa dana tambahan.

Chrysler yang harus bersaing dengan produsen mobil Italia Fiat SpA, menyatakan bahwa perusahaan ini memerlukan dana tambahan paling lambat Selasa ini untuk menghindari krisis likuiditas.

Namun kedua produsen otomotif ini belum menyelesaikan program efisiensi yang disyaratkan dalam paket dana talangan dari pemerintahan Bush yang bertenggat waktu 31 Maret untuk menentukan apakah kedua perusahaan itu perlu diselamatkan.

Para analis mengatakan keadaan ini menciptakan dilemma bagi Obama karena GM dan Chrysler mempekerjakan hampir 160 ribu warga AS dan membiarkan perusahaan otomotif tumbang akan mempersulit ekonomi AS terutama di daerah Midwest yang ekonominya masih diterkam resesi.

Obama menyatakan bahwa produsen otomotif mesti bekerja lebih banyak lagi untuk mendapatkan konsesi dari kreditor, buruh dan pihak lainnya.

"Kami kira kita bisa memiliki industri otomotif AS yang sukses. Tapi tampaknya hanya ada satu yang secara realistis bisa bertahan ditengah iklim seperti sekarang," kata Obama yang menekankan semua pihak untuk bersedia berkorban.

GM dan Chrysler memperoleh konsensi berupa kontrak pemutusan kerja dengan Serikat Pekerja Otomotif agar tingkat upah kedua perusahaan ini sejajar dengan produsen otomotif Jepang pimpinan Toyoto Motor Corp yang beroperasi di AS.

Namun kemudian GM dan Chrysler gagal memenuhi target dari pemerintah yang ditetapkan Desember. Target itu khususnya pembicaraan pengurangan utang di kedua perusahaan yang gagal menghasilkan kesepakatan apapun dalam enam minggu terakhir. - ant/ahi

Paradigma IMF Era G-20


Senin, 30 Maret 2009 | 04:20 WIB

Tahun ini lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan IMF) yang dibentuk pada akhir Perang Dunia II di Bretton Woods memasuki usia pensiun 65 tahun. Secara aksidental, dunia dilanda tsunami krismon dari episentrum kekuatan ekonomi terbesar dunia, AS.

Ironisnya, AS sangat bergantung pada RRC yang dalam usia 60 tahun menjadi kreditor dan bankir terbesar dengan dana yang dipinjamkan dan ditanam di AS sudah melewati 1 triliun dollar AS. Sementara bank-bank papan atas Eropa hampir semua turut tersedot kubangan KPR suprima AS.

Karena dana Eropa dan selu- ruh dunia terbenam dalam lumpur Wall Street yang seolah memiliki impunitas, Presiden Sarkozy memprakarsai peningkatan KTM G-20 menjadi KTT yang dilangsungkan di Washington, 15-16 November. Presiden Bush masih menjadi tuan rumah KTT pertama G-20 yang mewakili 80 persen PDB dunia dan dua pertiga penduduk bumi.

KTT Washington sudah mengisyaratkan arus kuat reformasi struktur Bank Dunia/IMF serta perlunya menciptakan lembaga pengawas supranasional untuk mencegah terulangnya tsunami Wall Street. Reformasi Bank Dunia/IMF merupakan tuntutan realitas sejarah yang telah berubah sejak lahirnya kedua lembaga itu. Kekuatan ekonomi yang dulu menjadi pemegang saham mayoritas telah susut kekuatannya. Sedangkan kekuatan ekonomi baru, seperti BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) belum memperoleh porsi saham yang setara dengan kekuatan riil mereka.

Monster predator

AS mengalami kemerosotan ekonomi karena dua faktor utama. Pertama, beban sebagai polisi dunia dan perang teror yang mengakibatkan pengeluaran nonproduktif sangat besar. Kedua, sektor produktif manufaktur telah kehilangan daya saing secara signifikan. Karena itu, elite sektor finansial Wall Street menciptakan produk derivatif yang nilainya 684 triliun dollar AS atau 11 kali total PDB dunia yang 60 triliun dollar AS. Industri derivatif itu bertiwikrama menjadi monster predator yang menelan sektor keuangan dan perbankan konvensional dengan aset bermasalah dan beracun. Monster inilah yang ingin dijinakkan oleh elite global G-20.

Uni Eropa tidak ingin dipaksa terus mengeluarkan stimulus tanpa pemulihan kepercayaan kepada perbankan global karena itu impunitas pelaku monster beracun harus segera dituntaskan.

Pada 14 Maret 2009, KTM G-20 London mengeluarkan komunike. Pasal 7-nya menyatakan, International Organization of Securities Commission (IOSCO) akan ditingkatkan peranannya sebagai badan pengawas supranasional untuk mencegah terulangnya krisis. Pasal 8 KTM menyebut, perombakan kuota IMF untuk meningkatkan porsi emerging markets harus selesai pada Januari 2011. Sedangkan perombakan Bank Dunia harus diselesaikan pada April 2010, termasuk demokratisasi pimpinan BD/IMF harus berdasarkan meritokrasi dan bukan lagi kuota duopoli AS untuk BD dan Eropa untuk IMF.

Komunike ini akan dikukuhkan dan menjadi substansi KTT G-20 pada 2 April di London. Presiden Yudhoyono akan berangkat di tengah kesibukan karena makna strategis KTT ini bagi Indonesia. Sayang, karena elite Indonesia sibuk berkampanye saling kritik, mungkin kurang menyadari polemik serius antarelite puncak G-20. Tanggal 13 Maret, Perdana Menteri Wen Jiabao tanpa basi-basi menyatakan khawatir terhadap nasib investasi dan dana RRC yang telanjur ditanam di AS. Presiden Obama setelah berdialog dengan Presiden Lula da Silva di Gedung Putih dan menelepon Presiden Yudhoyono, 14 Maret langsung menyatakan jaminan bahwa investasi siapa pun terjamin di AS sebagai negara yang paling tepercaya sistem politiknya.

Tapi, Rusia melontarkan gagasan meninggalkan dollar seba- gai penyangga internasional. Suatu usulan yang terus dibolasaljukan oleh Gubernur Bank Sentral Tiongkok. Presiden Obama sendiri harus menghadapi front domestik dan menjadi kolumnis di 31 koran seluruh dunia untuk menjelaskan posisi AS dalam tsunami keuangan global.

Jelas bahwa krismon global ini masih akan berlangsung sepanjang tahun 2009 dan pemulihan hanya bisa mulai terasa pertengahan 2010. Tampaknya KTT G-20 masih diwarnai dikotomi sikap AS yang mau stimulans seluruh dunia sebagai prasyarat pemulihan ekonomi, sedang kubu Eropa, BRIC, dan emerging markets ingin pemulihan kepercayaan dengan merombak otorita moneter supranasional baru sehingga kredibilitas pulih dan pasar menjadi normal kembali. Penggelontoran stimulus dalam kondisi lenyapnya kredibilitas tak akan menjamin suksesnya stimulus.

BRIC telah mengeluarkan pernyataan sendiri di samping komunike resmi KTM London. Indonesia tak ikut dalam ”statement BRIC” barangkali karena posisi SBY sebagai incumbent harus berhati-hati dalam mengambil sikap. Padahal, Indonesia memerlukan kecanggihan diplomasi komprehensif yang tidak terlalu teknokratis, tetapi merupakan sinergi tindak strategis.

Bukan cuma figuran

Diplomasi kemitraan komprehensif yang dikumandangkan Obama dan Hillary rupanya tidak cukup canggih direspons oleh elite Indonesia. Penyebabnya: mentalitas oposisi sektarian partisan yang bisa menyulitkan incumbent dalam mengambil putusan. Akibatnya, Indonesia amat canggung dalam melakukan manuver. Mikhail Gorbachev, misalnya, berkeliling AS dengan mendukung Medvedev dan Putin yang akan mengurangi peranan dollar dalam arsitektur keuangan pascaperombakan IMF.

Inti masalah yang harus disosialisasikan ialah bahwa kehadiran kita di KTT G-20 bukan untuk sekadar mengulangi minta dana dari IMF walau itu merupakan hak kita dan IMF sendiri juga sudah bertobat dan mengakui kesalahan ”malapraktik” dalam terapi dan resep krismon 1998. Paradigma era G-20, Indonesia sebagai anggota G-20 justru ikut merombak dan menentukan pola operasi IMF.

Meminjam kembali dari IMF bukan hanya suatu kebodohan mengulangi masa lalu, sebab hanya akan membebani kita dengan suku bunga termahal untuk obligasi 5-10 tahun. Sementara RRC malah menerima bunga 3,25 persen untuk obligasi AS jangka 30 tahun. Indonesia perlu bermanuver untuk memperoleh dana dari IMF yang lebih murah. Kalau RI membayar dua kali lebih mahal dibandingkan AS, akan lebih murah menerima dana dari RRC.

Ini memerlukan pendekatan geopolitik komprehensif dan bukan sekadar teknokratis belaka. Juga memerlukan kesadaran elite akan paradigma baru arsitektur keuangan global di mana kita ikut berperan proaktif dan bukan sekadar sebagai figuran atau obyek pasif.

Christianto Wibisono Analis Ekonomi Politik Internasional

Prospek Pemulihan Ekonomi


Senin, 30 Maret 2009 | 04:17 WIB

Hampir semua orang bertanya, kapan krisis global ini berakhir? Sudahkah batas terbawah terlalui atau masih akan menyusur lebih dalam lagi? Benarkah perekonomian dunia akan pulih pada tahun 2010 sebagaimana diramalkan Ketua Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke? Tak seorang pun memiliki jawaban meyakinkan.

Dana Moneter Internasional (IMF) terpaksa berkali-kali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global, terakhir pada 0,5 persen untuk tahun 2009. Baru-baru ini, Bank Dunia bahkan meramalkan ekonomi global akan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 1-2 persen. Pertanyaannya, mengapa lembaga sekaliber IMF dan Bank Dunia tidak mampu memprediksi dengan baik?

Di situlah letak gawatnya persoalan. Perekonomian tak lagi digerakkan oleh ”faktor-faktor fundamental”, tetapi didominasi oleh ”faktor spekulatif”. Itulah mengapa resesi lebih cepat datang dan lebih dalam dari perkiraan. Jangan kaget pula kalau nanti perekonomian juga pulih lebih cepat dari dugaan. Semua itu karena faktor spekulasi. Apa risikonya bagi kita, jika pemulihan ekonomi didorong faktor spekulasi?

Akar masalah

Ada banyak argumen menjelaskan akar krisis global ini. Tapi, satu hal krusial yang mengerucut, berkembangnya secara liar sistem perbankan bayangan (shadow banking system). Dalam sistem perbankan tradisional, uang yang dikumpulkan sebagai dana pihak ketiga (DPK) akan disalurkan kembali dalam bentuk kredit, baik produktif (industri) maupun konsumtif (kredit rumah, kartu kredit).

Dalam sistem perbankan bayangan, uang tak dikembalikan dalam bentuk kredit, melainkan diputar dalam instrumen-instrumen investasi yang semakin lama semakin canggih. Mulai dari commercial mortgage-backed securities (CMBS) hingga collateralized debt obligations (CDO). Aktor yang terlibat pun banyak, yaitu bank investasi, hedge funds, money-market funds, hingga perusahaan keuangan lain.

Sistem perbankan bayangan telah meniupkan gelembung ekonomi hingga meletus dengan pemicu subprime mortgage yang terjadi mulai Juli 2007 di AS. Rentetan masalahnya begitu panjang, krisis finansial telah menyebabkan kekeringan likuiditas sehingga menyeret krisis manufaktur. Dan, bukannya mereda, kini justru memicu krisis tenaga kerja (The Economist, 14-20/3).

Kegusaran dunia tecermin dalam pertemuan para menteri keuangan G-20 yang baru lalu. Ada ketegangan dalam penyusunan agenda, apakah fokus pada pengetatan regulasi sistem keuangan (agenda Uni Eropa) atau menambahkan dana stimulus untuk menggerakkan ekonomi (agenda AS). Gaung yang terasa di negeri kita, dana stimulus harus ditambah karena amanat G-20 menyatakan defisit anggaran harus minimal 2 persen terhadap PDB.

Memang pengeluaran pemerintah menjadi satu-satunya kekuatan yang masih bisa diandalkan menggerakkan perekonomian. Tapi, benarkah uang yang mengucur akan membenahi faktor-fakor fundamental dalam perekonomian atau justru menambah amunisi perilaku spekulasi. Untuk itulah pengetatan regulasi sistem keuangan tidak bisa ditawar lagi.

Jebakan krisis

Dampak krisis global pada perekonomian Indonesia makin terasa. Pertama, krisis likuiditas (credit crunch) sektor perbankan makin terasa tingkat kegawatannya. Meski BI Rate sudah diturunkan ke level 7,75 persen, bunga kredit masih pada kisaran 14-16 persen. Memang benar pada saat krisis instrumen suku bunga tak akan efektif. Bank ketakutan menyalurkan kredit karena tidak yakin terhadap kondisi keuangan para peminjam. Bahkan, pasar uang antarbank (PUAB) juga seret sehingga memerlukan jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kedua, sektor-sektor industri yang terpukul karena mandeknya permintaan semakin hari semakin banyak. Pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi tak terelakkan. Pertumbuhan ekonomi pun diperkirakan tak akan melampaui 3,5 persen. Sementara tambahan dana stimulus juga mengundang persoalan, siapa yang berhak mendapatkan talangan dan dengan cara apa. Sudah jamak di negeri ini, setiap pengucuran dana disertai ”kutipan” dalam persentase tertentu. Jika begitu, muara pada politik uang terkait pemilu tak terhindarkan.

Malaysia dan Korea Selatan mengalami guncangan lebih besar karena perekonomian mereka sangat bergantung pada pasar ekspor. Kita masih beruntung karena dua hal, perekonomian lebih ditopang permintaan domestik dan pasar finansial belum terlalu maju. Namun, kita juga punya risiko lebih besar karena krisis sangat mungkin akan berlangsung lebih lama. Ada kekhawatiran, Indonesia bersama Filipina, Pakistan, dan negara-negara Eropa timur akan mengalami fase krisis lebih lama dari yang lain.

Secara umum, negara maju akan mengalami fase krisis cukup panjang sebelum akhirnya bangkit (U-shape). Namun, saya menduga, begitu situasinya tenang, lebih mudah bagi negara maju untuk bangkit karena ditopang faktor spekulasi para investor di pasar finansial. Tak lama lagi, Pemerintah AS akan mengeluarkan surat utang negara sebesar lebih kurang 2 triliun dolar AS. Maka, minat para investor global akan tersedot pada instrumen tersebut, sementara untuk mempertahankan peminat, pemerintah kita harus mematok bunga obligasi hingga kisaran 15 persen.

Itulah salah satu sebab mengapa AS cenderung enggan meregulasi secara ketat sistem finansialnya. Hidup matinya perekonomian AS masih akan bergantung pada pasar finansial. Justru negara sedang berkembang seperti kita, risiko jebakan krisis akan semakin menguat.

Melihat peliknya persoalan ekonomi domestik, tak mengherankan jika nanti negara tetangga, seperti Malaysia dan Korea Selatan, bisa keluar dari krisis, kita justru diam-diam terjerat dalam krisis yang makin dalam.

A Prasetyantoko Pengamat Ekonomi dan Pengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

analisis danareksa


Meneropong Angka Penjualan Mobil
Senin, 30 Maret 2009 | 04:37 WIB

Prestasi penjualan mobil tahun 2008 cukup fantastis. Melambungnya permintaan telah mendongkrak penjualan mobil 2008 hingga tembus 603.774 unit, atau naik 39,3 persen dari tahun sebelumnya. Rekor penjualan bulanan tertinggi pun tercapai pada bulan Juli 2008 yang mencapai 60.352 unit. Handri Thiono

Besarnya permintaan mobil ini juga berpengaruh positif bagi bisnis pembiayaan konsumsi. Hingga akhir September 2008, nilai persetujuan kredit konsumsi mencapai Rp 42 triliun, atau meningkat lebih dari 42 persen dibandingkan periode sebelumnya.

Namun, memasuki akhir 2008, penjualan mobil terlihat melambat. Pertumbuhan penjualan mobil periode Oktober-Desember 2008 melambat dari 76,1 persen menjadi 1,78 persen.

Pelemahan ini justru terjadi ketika indeks kepercayaan konsumen yang menggambarkan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi mengalami perbaikan.

Kondisi ini memicu pendapat bahwa membaiknya keyakinan konsumen tidak serta-merta mendorong perbaikan angka penjualan mobil. Benarkah demikian?

Sejak tahun 2007, pasar mobil nasional memang berkembang cerah. Jumlah mobil yang laris terjual pada tahun 2007 mencapai 433.341 unit (naik 35,9 persen) dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi 603.774 unit (naik 39,3 persen).

Angka penjualan pada 2008 ini bahkan merupakan rekor penjualan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Meskipun total penjualan mobil tahun 2008 meroket, tetapi tingkat pertumbuhannya justru semakin melambat.

Pertumbuhan penjualan mobil melambat menjadi 1,8 persen pada Desember 2008, bahkan mengalami kontraksi 26,8 persen pada bulan Februari 2009.

Menariknya, kondisi ini ternyata terjadi di tengah semakin membaiknya kepercayaan masyarakat pada perekonomian. Hal ini tergambar dari naiknya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Danareksa Research Institute (DRI) sejak Juli 2008.

IKK adalah indeks yang disusun berdasarkan survei terhadap 1.700 rumah tangga Indonesia, yang menggambarkan persepsi rumah tangga terhadap kondisi perekonomian, pendapatan rumah tangga, dan ketersediaan lapangan kerja (lihat Grafik 1).

Pascakenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi Mei 2008, IKK sempat terjerembab ke level terendah sepanjang sejarah. Namun, seiring melonggarnya tekanan inflasi akibat terkendalinya harga bahan pangan, IKK kembali meroket.

Melihat kondisi ini, penting rasanya untuk menganalisis lebih jauh kondisi yang mendorong rumah tangga membeli mobil sepanjang tahun 2008.

Salah satunya adalah dengan melihat data rencana pembelian mobil yang ada di dalam survei kepercayaan konsumen. Rencana pembelian (buying intention) mengukur proporsi rumah tangga yang merencanakan pembelian barang (dikelompokkan berdasarkan pendapatan rumah tangga) dalam 6 bulan mendatang.

Perubahan proporsi rumah tangga atas rencana pembelian barang berguna untuk melihat kecenderungan belanja rumah tangga pada bulan-bulan mendatang.

Selanjutnya, rumah tangga dikelompokkan berdasarkan pendapatan per bulan, yaitu kelompok rumah tangga berpendapatan kurang dari Rp 500.000 (RT 1), kelompok rumah tangga berpendapatan antara Rp 500.001-Rp 700.000 (RT 2), kelompok rumah tangga berpendapatan antara Rp 700.001-Rp 1.500.000 (RT 3), dan kelompok rumah tangga berpendapatan di atas Rp 1.500.000 (RT 4).

Sepanjang periode Januari-Juni 2008, penurunan IKK ternyata diikuti penurunan rencana pembelian mobil oleh rumah tangga.

Keyakinan konsumen

Pada saat IKK merosot dari level 78,4 ke level 65,3, proporsi rencana pembelian mobil juga merosot dari level 58,3 menjadi 36,4. Artinya, melemahnya keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian akan mendorong rumah tangga mengurangi atau menunda pembelian mobilnya pada masa datang.

Hanya saja, memang terdapat jeda antara membaiknya keyakinan konsumen dan meningkatnya rencana pembelian mobil. Pada saat IKK rebound Juli 2008, rencana pembelian baru menunjukkan kenaikan kembali pada bulan Oktober 2008.

Naiknya kepercayaan konsumen serta didukung meningkatnya rencana rumah tangga untuk membeli mobil dapat mendorong realisasi peningkatan pembelian mobil pada masa datang.

Grafik 2 menunjukkan adanya jeda waktu (6-7 bulan) antara kenaikan rencana rumah tangga untuk membeli mobil dan realisasi peningkatan penjualan mobil. Keterkaitan keduanya baru sekadar indikasi awal, yang tentunya membutuhkan analisis lebih mendalam.

Di sisi lain, hasil survei menunjukkan bahwa kelompok RT 1, RT 2, dan RT 3 merupakan kelompok rumah tangga dengan proporsi rencana pembelian mobil terkecil.

Kelompok RT 1 dan RT 2 bahkan tidak berencana membeli mobil pada masa datang. Kelompok rumah tangga ini biasanya menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi bahan pokok. Adapun kelompok RT 3 masih memiliki rencana pembelian mobil pada masa mendatang, tetapi dengan proporsi yang sangat rendah.

Berbeda dengan tiga kelompok rumah tangga sebelumnya, RT 4 merupakan kelompok rumah tangga dengan rencana pembelian mobil tertinggi.

Rumah tangga dalam kelompok ini merupakan kelompok masyarakat menengah ke atas, yang memiliki kemampuan lebih untuk membeli mobil.

Perlu juga diketahui, mengingat sebagian besar pembelian mobil dibiayai secara kredit, peran suku bunga kredit dalam rencana pembelian mobil kelompok RT 4 tidak dapat diabaikan.

Grafik 3 menunjukkan bahwa proporsi rencana pembelian mobil oleh RT 4 terkait dengan tren pergerakan suku bunga kredit. Ketika suku bunga kredit bergerak turun, rencana pembelian mobil cenderung tinggi.

Hal ini terlihat pada naiknya rencana pembelian mobil (periode September 2007-April 2008) dari level 96,8 ke level 120,9, seiring luruhnya tingkat suku bunga kredit pada periode tersebut.

Namun, ketika suku bunga kredit merangkak naik pada Juni 2008, proporsi rencana pembelian mobil terjerembab dari level 97,3 pada bulan Mei 2008 menjadi level 49,9 pada September 2008. Tampaknya, kenaikan suku bunga mendorong kelompok RT 4 mengurangi atau menunda rencananya membeli mobil.

Kenaikan rencana beli kelompok RT 4 pada bulan Oktober dan November 2008 lebih terkait pada pengaruh hari raya Idul Fitri. Hal ini dibuktikan dengan proporsi rencana pembelian mobil yang kembali menurun pada bulan Januari 2009, seiring masih naiknya suku bunga kredit.

Di sisi lain, mengetatnya kucuran kredit konsumsi juga ditengarai menjadi faktor yang memengaruhi angka penjualan mobil nasional.

Pada tahun 2007, pertumbuhan kredit konsumsi yang disetujui terus mengalami peningkatan, dari 35,1 persen (Februari 2007) menjadi 95,5 persen (Desember 2007).

Kondisi ini tentu saja kontras dengan yang terjadi pada 2008. Pertumbuhan kredit konsumsi yang disetujui melambat dari 147,4 persen pada bulan Februari 2008, menjadi hanya 5 persen pada Desember 2008.

Selain itu, pada pertengahan tahun 2008, nilai kredit konsumsi yang disetujui pun semakin mengecil, yaitu dari Rp 45 triliun menjadi Rp 29 triliun.

Nilai kredit ini bahkan terus mengecil menjadi Rp 17 triliun pada Januari 2009. Keringnya ketersediaan uang tampaknya mendorong perbankan lebih selektif membuka keran kredit konsumsi, yang berimbas pada melemahnya pertumbuhan penjualan mobil.

Pada grafik terlihat bahwa membaiknya kepercayaan masyarakat dan diikuti turunnya suku bunga kredit akan mendorong konsumen melakukan pembelian mobil.

Masyarakat yang optimistis terhadap kondisi pendapatannya pada masa datang cenderung akan melakukan pinjaman jika didukung biaya pinjaman yang murah. Sebab, aktivitas meminjam berhubungan dengan mengonsumsi sebagian pendapatan mereka pada masa depan.

Di sisi lain, dukungan dari sistem pembiayaan berupa kemudahan meminjam dan kucuran kredit yang memadai juga dapat mendongkrak angka penjualan mobil.

Jadi, pernyataan bahwa membaiknya keyakinan konsumen tidak memengaruhi keinginan masyarakat membeli mobil tidak sepenuhnya tepat. Keyakinan konsumen yang semakin baik justru menjadi fondasi kuat yang akan mendorong penjualan mobil semakin ”ngebut”.

Handri Thiono Economist Danareksa Research Institute

ANALISIS EKONOMI

Menuju Sistem Moneter Dunia Baru
Senin, 30 Maret 2009 | 03:51 WIB

A TONY PRASETIANTONO

Kurs rupiah sedang mengalami dinamika penting. Pekan lalu secara mengesankan rupiah menguat dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.500 per dollar AS. Memang, penguatan Rp 500 per dollar AS dalam tempo singkat tersebut bisa dianggap biasa dan wajar, di saat krisis ekonomi global masih terus bergejolak dan belum menemukan ekuilibrium permanennya. Rupiah kadang-kadang bisa melemah dan menguat oleh penyebab yang sepele.

Pada kasus penguatan rupiah kali ini, penyebabnya merupakan gabungan beberapa faktor. Pertama, cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia meningkat dari 51 miliar dollar AS menjadi 53,9 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan oleh mulai masuknya modal asing ke pasar modal di Jakarta, selain karena masuknya dana penjualan obligasi pemerintah di luar negeri (global medium-term notes).

Kedua, BI meneken perjanjian bilateral currency swap arrangement dengan Bank of China senilai Rp 175 triliun atau 100 miliar renminbi. Di bawah payung perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan mata uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung mata uang masing-masing dengan negara mitra dagang.

Dalam hal ini, importir Indonesia bisa langsung menukar rupiahnya dengan renminbi, sebaliknya importir China menukar renminbinya langsung dengan rupiah. Kini tidak perlu lagi ada mata uang ”perantara”, yakni dollar AS, dalam setiap transaksi kedua negara. Perjanjian semacam ini akhir-akhir ini mulai marak dilakukan, terutama oleh ASEAN + 3, yakni kesepuluh negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan.

Banyak hal positif dapat ditarik dari skema baru ini. Bagi para importir maupun eksportir, mereka bisa berhemat karena jalur penukaran mata uang dapat diperpendek dari rupiah-dollar AS-renminbi menjadi langsung rupiah-renminbi. Berarti, akan dapat dihemat sejumlah fee penukaran.

Dari sisi ekonomi makro, kebutuhan (permintaan) terhadap dollar AS dapat ditekan. Implikasi dari turunnya permintaan dollar AS oleh pemegang rupiah akan menyebabkan kurs dollar AS cenderung melemah, atau sebaliknya rupiah bakal menguat. Ini sangat positif sebagai upaya untuk menurunkan volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS.

Dengan kata lain, kurs rupiah ke depannya akan cenderung lebih stabil, tidak terlalu berfluktuasi. Ini bagus bagi dunia usaha yang pada umumnya amat memerlukan kepastian (certainty), termasuk kepastian kurs. Sementara itu, variabel inflasi juga diuntungkan karena stabilitas kurs akan menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

Ketiga, rupiah harus berterima kasih kepada situasi politik di Tanah Air. Sejauh ini kampanye pemilu legislatif berlangsung aman. Masyarakat tampaknya sudah penat dan ”kapok” untuk tidak mau lagi mengulang pemilu bergejolak seperti sebelumnya, terutama 1999. Timbul kesadaran baru bahwa euforia demokrasi sudah tidak zamannya lagi diekspresikan dengan letupan-letupan di jalanan. Lagi pula, mengapa harus secara fanatik membela calon anggota legislatif jika yang bersangkutan kelak pada akhirnya juga diseret Komisi Pemberantasan Korupsi? Jumlah partai peserta pemilu yang amat banyak juga memberi andil memecah penumpukan massa. Ini semua berujung pada penguatan rupiah.

Sistem moneter baru

Secara pelan tapi pasti, krisis ekonomi global telah menginspirasi negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi penggunaan dollar AS. Dulu, pada Juli 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire—sejam perjalanan dari Boston—untuk menggunakan dollar AS sebagai mata uang dunia, yang didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral, pertimbangannya adalah dominasi AS dalam perekonomian dunia. Saat itu setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed rate) pun dapat diberlakukan.

Kesepakatan yang juga dihadiri ekonom top Inggris, John Maynard Keynes, itu berakhir awal 1970-an. Ketika AS mulai sibuk berperang, anggaran pemerintahnya defisit besar, maka kurs dollar AS pun jadi fluktuatif. Seiring dengan kesulitan untuk menimbun emas dalam jumlah yang sebanding dengan perkembangan ekonomi dunia yang kian pesat, standar emas pun dihapus.

Kurs mata uang bisa bergerak dinamis berdasarkan kekuatan kinerja ekonomi negara masing-masing, bukan dikaitkan dengan tumpukan emas di gudang bank sentral.

Kini, setelah hampir 40 tahun, tampaknya sistem moneter sudah waktunya direvisi lagi. Perekonomian AS memang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto yang mencapai 14,3 triliun dollar AS (2008). Namun, juga muncul kekuatan lain yang mulai mendekat, yakni kawasan Euro (juga sekitar 14 triliun dollar AS), Jepang (4,8 triliun dollar AS), dan China (4,2 triliun dollar AS). Bahkan, jika semua negara Eropa bersatu (termasuk Inggris), kekuatannya bahkan lebih besar, yakni 19,2 triliun dollar AS.

Sebagai ilustrasi, kekuatan ekonomi dunia berturut-turut (dalam dollar AS) adalah: Jerman (3,8 triliun), Perancis (3 triliun), Inggris (2,8 triliun), Italia (2,4 triliun), Rusia (1,8 triliun), Brasil (1,7 triliun), India (1,3 triliun), Meksiko (1,1 triliun), Australia (1,1 triliun), Korea Selatan (1 triliun), Turki (0,8 triliun), Arab Saudi (0,53 triliun), Indonesia (0,5 triliun), Argentina (0,34 triliun), dan Afrika Selatan (0,3 triliun). Indonesia berada di peringkat ke-13 kekuatan ekonomi dunia.

Berdasarkan konfigurasi ini, sangat logis bahwa dollar AS selanjutnya tidak lagi menjadi satu-satunya mata uang yang mendominasi transaksi perekonomian dunia. Peran euro, yen, renminbi, dan poundsterling seharusnya menjadi lebih besar, seiring dengan menyurutnya peran AS yang tergerus krisis. Krisis ekonomi global kali ini tampaknya akan menjadi tonggak bersejarah bagi menyurutnya dominasi AS. Era baru sistem moneter dunia sudah mulai terkuak, menggantikan era sebelumnya, Bretton Woods (1944), dan pasca-Bretton Woods (awal 1970-an).

Munculnya era baru ini akan berdampak positif terhadap stabilitas rupiah. Karena itu, skema perjanjian bilateral currency swap arrangement harus terus diperluas oleh BI, karena ini sudah menjadi tren dunia yang tak terelakkan. Pelajaran dari kasus ini adalah, dalam setiap krisis, ternyata selalu ada blessing in disguise yang bisa kita petik manfaatnya.

Selamat datang era baru sistem moneter dunia!

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

Minggu, 29 Maret 2009

Soros: Inggris "Kritis"


Minta Bantuan dari IMF Bukan Hal Mustahil
Minggu, 29 Maret 2009 | 03:27 WIB

London, Sabtu - Keadaan sektor keuangan Inggris cukup ”kritis”. Negara ini bisa saja dipaksa meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapatkan dana talangan. Jika kekuatan perbankan lebih besar dari perekonomian Inggris, jelas ini menjadi sumber masalah.

Demikian dikatakan eks spekulan kelas kakap dunia, George Soros, kepada harian Inggris, The Times, Sabtu (28/3).

Produk domestik bruto (PDB) Inggris berdasarkan nilai nominal pada 2007 sekitar 2,78 triliun dollar AS. Omzet perputaran keuangan di Inggris jauh lebih besar dari PDB itu.

”Anda mempunyai masalah karena kekuatan perbankan lebih besar dari kekuatan ekonomi,” kata Soros.

Inggris memiliki sejumlah bank bangkrut, seperti Northern Rock, dan bank besar yang menghadapi masalah keuangan, termasuk kerugian karena pengucuran kredit ke sektor perumahan di AS, antara lain HSBC, Barclays, HBO, dan Royal Bank of Scotland (RBS).

Inggris pernah mengalami kebangkrutan bank besar pada dekade 1990-an, yakni Barings Bank, karena tindakan spekulatif karyawannya yang berbasis di Singapura, Nick Leeson.

”Jika Inggris harus menanggung semua masalah itu (masalah perbankan), artinya negara memerlukan utang baru,” kata Soros.

Berapa kerugian perbankan Inggris? Menteri Keuangan Inggris Alistair Darling mengatakan, persoalan keuangan perbankan global amat sulit diketahui karena sepak terjang perbankan global, termasuk Inggris, tidak diketahui.

The Times bertanya kepada Soros, ”Apakah mungkin Inggris terpaksa meminta bantuan IMF?”

”Jika sistem perbankan terus bermasalah dan ambruk, hal itu dimungkinkan. Pada tahap sekarang ini, tampaknya belum perlu,” kata Soros yang pernah meraih untung 1 miliar dollar AS tahun 1992 saat ”Black Wednesday”. Saat itu Soros berhasil membobol Bank of England (bank sentral Inggris) dengan berspekulasi atas mata uang Inggris, poundsterling.

Soros menambahkan, Inggris berada dalam keadaan rapuh pada masa krisis sekarang ini.

Gagal jual obligasi

Soros mengatakan semua itu sehari setelah Pemerintah Inggris gagal menjual obligasi di pasar untuk pertama kali dalam 14 tahun terakhir. Penjualan surat utang ini bertujuan meraih uang tunai dari pasar demi kepentingan ekonomi negara.

Pada Januari lalu, Pemerintah Jerman juga gagal menjual surat utang.

Menteri Keuangan Inggris membantah kegagalan itu. Namun, pasar pada Jumat lalu tidak mau membeli semua surat utang Pemerintah Inggris senilai 1,75 miliar poundsterling.

Ekonomi Inggris terkontraksi 1,6 persen sepanjang kuartal IV-2008, keadaan terburuk sejak kontraksi yang pernah terjadi pada kuartal II-1980 akibat kenaikan harga minyak dunia. (AFP/REUTERS/MON)

Jumat, 27 Maret 2009

KEUANGAN NEGARA


Krisis Utang Belum Teratasi
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:11 WIB

Oleh Kusfiardi

Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla—populer disebut SBY-JK—sudah diingatkan berbagai kalangan untuk menyikapi persoalan utang luar negeri dengan tepat. Peringatan tersebut berkaitan dengan kondisi keuangan negara untuk pembangunan dan menggulirkan perekonomian rakyat, sudah tersedot untuk pelunasan utang.

Pada tahun 2004, pemerintah harus mengalokasikan sebesar 9,032 miliar dollar AS untuk cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Pelunasan kepada kreditor di luar negeri tersebut sebenarnya sudah menggerus pendapatan nasional dan merugikan keuangan negara.

Oleh karena itu, Presiden SBY dan Kabinet Indonesia Bersatu didesak untuk memberikan prioritas pembenahan anggaran negara untuk mencegah terjadinya krisis fiskal. Langkah yang harus ditempuh pemerintah tentu saja adalah mengurangi tekanan beban utang dalam keuangan negara (APBN).

Namun, sayangnya kebijakan yang dijalankan pemerintah masih jauh dari langkah untuk mengurangi beban utang. Kebijakan pemerintahan SBY-JK masih mempertahankan ketergantungan pada utang walaupun penerimaan utang baru setiap tahun jauh lebih kecil dibanding kewajiban melunasi utang pada tahun yang sama.

Kebijakan lainnya adalah menggantungkan pengurangan utang hanya pada mekanisme pertukaran utang dengan program kegiatan (debt swap).

Sedangkan usaha untuk melakukan pengembalian utang yang belum dan tidak digunakan pemerintah, dan menuntut pengembalian commitment fee atas pinjaman yang belum dipakai, tidak diupayakan secara maksimal. Apalagi melakukan proses evaluasi atas keabsahan transaksi utang yang berjalan sebelumnya.

Kebijakan tersebut tentu saja tidak bisa mengatasi besarnya stok utang pemerintah. Padahal, tingginya stok utang pemerintah sudah menimbulkan crowding out di pasar uang. Dampaknya akan membuat alokasi kredit bank pada dunia usaha serta rumah tangga berkurang.

Sementara, di sisi lain mendorong terjadinya peningkatan tingkat suku bunga di pasar uang dalam negeri. Beban utang pemerintah yang besar itu sekaligus meningkatkan risiko devaluasi nilai tukar rupiah maupun country risk republik ini. Kondisi ini lagi-lagi akan meningkatkan suku bunga yang dikenai dunia internasional bagi pelaku ekonomi di negeri ini.

Beban meningkat

Sebagaimana pemerintahan sebelumnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY masih melanjutkan transaksi pembuatan utang luar negeri melalui forum Consultative Group on Indonesia (CGI). Sampai tahun 2006, utang luar negeri pemerintah yang disanggupi CGI berjumlah 26.069,70 miliar dollar AS.

Utang tersebut terdiri dari utang bilateral sebesar 10.147,70 miliar dollar AS dan utang multilateral berjumlah 15.922,00 miliar dollar AS. Secara akumulatif, jumlah utang luar negeri pemerintah yang disetujui oleh CGI setiap tahunnya selalu meningkat walaupun secara nominal jumlah utang yang disetujui setiap tahun angkanya fluktuatif.

Kebijakan penambahan utang baru setiap tahun untuk menutupi defisit anggaran pada saat yang sama bukan saja meningkatkan jumlah dan outstanding utang luar negeri pemerintah. Kebijakan tersebut juga berpengaruh pada meningkatnya beban pembayaran utang luar negeri yang terdiri dari cicilan pokok dan bunga. Beban tersebut secara akumulatif telah membuat pembayaran utang semakin memberatkan keuangan negara.

Meskipun pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengembalikan pinjaman siaga dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan membubarkan CGI, ternyata outstanding utang luar negeri pemerintah justru meningkat.

Menurut data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, outstanding utang luar negeri pemerintah pada tahun 2005 berjumlah 80,072 miliar dollar AS. Pada triwulan pertama tahun 2008, outstanding utang luar negeri pemerintah sudah meningkat lagi menjadi 87.519 miliar dollar AS.

Kondisi ini membuktikan bahwa pemerintah tidak berhasil dalam menurunkan outstanding utang luar negeri. Selain itu, meningkatnya outstanding utang luar negeri tersebut diikuti pula dengan meningkatnya utang komersial pemerintah yang jumlahnya sudah lebih besar dibanding utang nonkomersial.

Pada tahun 2005, outstanding utang luar negeri komersial pemerintah berjumlah 9,440 miliar dollar AS. Pada triwulan I-2008, posisi utang luar negeri komersial pemerintah sudah berjumlah 21,185 miliar dollar AS.

Kenaikan outstanding utang luar negeri komersial tersebut merupakan kompensasi dari menurunnya outstanding utang luar negeri nonkomersial. Outstanding utang luar negeri nonkomersial pemerintah pada tahun 2005 berjumlah 54,362 miliar dollar AS. Pada triwulan I-2008, utang luar negeri komersial pemerintah berkurang menjadi 51,026 miliar dollar AS.

Melihat perkembangan outstanding utang luar negeri pemerintah tersebut, wajar saja jika pembayaran utang luar negeri pemerintah menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2005 pembayaran utang luar negeri pemerintah berjumlah 7,048 miliar dollar AS. Pada tahun 2006 jumlah tersebut meningkat menjadi 17,056 miliar dollar AS. Kemudian dalam APBN Perubahan 2008 pemerintah mengalokasikan Rp 92,242,7 triliun untuk pembayaran utang luar negeri, maka pada tahun 2009 nanti jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 94,891,4 triliun.

Dengan meningkatnya kewajiban pembayaran utang luar negeri, maka strategi yang ditempuh pemerintah tidak banyak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Untuk sumber pembiayaan dari dalam negeri pemerintah akan menggunakan dana dari perbankan dalam negeri. Kemudian diikuti dengan upaya menggalang penerimaan dari privatisasi, penjualan aset, menerbitkan surat utang negara, dan tentu saja dengan meneruskan pembuatan utang baru.

Untuk tahun anggaran 2009 nanti pemerintah akan menarik pinjaman luar negeri baru yang terdiri dari utang program dan utang proyek, yang masing-masing berjumlah Rp 21, 173,4 triliun dan Rp 24,876,3 triliun.

Presiden SBY memang sudah mengambil keputusan berarti menjelang akhir 2006 lalu, yaitu mengembalikan pinjaman IMF dan membubarkan CGI. Namun sayangnya, kondisi tersebut tidak diikuti dengan kemampuan untuk menurunkan beban utang luar negeri pemerintah. Bahkan yang terjadi justru beban utang luar negeri pemerintah semakin meningkat.

Peningkatan beban utang tersebut, diikuti dengan potensi ancaman semakin membebani keuangan negara, mengingat peningkatan utang luar negeri pemerintah justru terjadi pada utang komersial. Utang luar negeri komersial adalah utang yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunga yang berlaku mengikuti tingkat suku bunga pasar.

Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY belum mampu mengatasi krisis utang. Namun sebaliknya, justru menambah jumlah utang yang semakin memberatkan keuangan negara dan membebani rakyat.

Dengan beban utang yang besar akan sulit bagi rakyat untuk memperoleh hak-hak konstitusinya yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kecuali apabila pemerintahan baru yang terpilih nanti tidak lagi tergantung pada utang dan mau menegosiasikan pengurangan utang.

Kusfiardi Pengamat Ekonomi dan Dewan Pakar Koalisi Anti Utang (KAU)

STRATEGI UTANG


Tak Sekadar untuk Menambal Defisit
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:12 WIB

Pemerintah membantah kebiasaan mengadakan utang setiap tahun, baik utang dalam negeri maupun luar negeri, sebagai suatu bentuk ketagihan terhadap utang yang sangat kental bernuansa strategi ”gali lubang tutup lubang”.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen keuangan Rahmat Waluyanto, kepentingan menutup defisit hanya salah satu alasan pemerintah terus menambah utang setiap tahun. Ada beberapa alasan lain mengapa pemerintah terus terperangkap dalam rutinitas membuat utang baru, khususnya lewat penerbitan instrumen surat utang negara.

Salah satunya, penerbitan utang baru diperlukan dalam rangka pengelolaan risiko pembiayaan (financing). Hal ini dilakukan dengan menerbitkan surat utang baru bertenor lebih panjang untuk membayar utang lama (baik dalam negeri maupun luar negeri) yang jatuh tempo.

Rahmat tak begitu setuju langkah ini disebut sebagai strategi gali lubang tutup lubang. ”Memang ini boleh dikatakan gali lubang tutup lubang. Tetapi, di dalam gali lubang tutup lubang ini, kita harus mendapatkan terms yang lebih baik. Ini bisa kita lakukan, misalnya jangka waktunya lebih panjang. Yang tadinya hanya bisa utang lima tahun, sekarang bisa sampai 10 tahun, bahkan 30 tahun, baik itu utang dalam negeri maupun luar negeri. Ini untuk mengurangi refinancing risk,” ujarnya.

Penerbitan utang juga diperlukan sebagai acuan (benchmarking) dalam penetapan harga bagi aset finansial lain di pasar modal atau pasar uang. Untuk kepentingan benchmarking ini, perlu dilakukan penerbitan surat berharga negara (SBN) secara reguler.

Pengembangan pasar SBN bukan hanya bisa menjadi tumpuan pembiayaan APBN, tetapi juga landasan bagi pengembangan pasar modal secara keseluruhan. ”Pasar modal, termasuk pasar uang, itu bertumpu pada sejauh mana pasar surat berharga suatu negara berkembang karena harga surat berharga negara menjadi acuan aset keuangan lainnya,” ujarnya.

Ketiga, pengadaan utang baru juga diperlukan dalam rangka meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar (market depth). Hal ini dilakukan dengan menambah jumlah pasokan atau suplai instrumen tertentu ke pasar.

Keempat, penerbitan utang baru juga diperlukan dalam rangka diversifikasi instrumen atau jenis surat berharga negara (SBN) baru guna memperluas basis investor atau sumber pembiayaan, terutama di dalam negeri.

”Kita tak bisa bergantung pada perbankan saja, apalagi perbankan dalam negeri. Kita sudah belajar dari krisis tahun 1997/1998. Keterpurukan waktu itu dipicu oleh krisis sektor keuangan dan perbankan sehingga dampaknya terasa sampai sekarang. Pada saat perbankan kolaps, kita tak punya alternatif. Berbeda dengan negara maju yang sudah memiliki pasar modal. Pasar modal di negara kita belum berkembang dengan baik,” ujarnya.

Penerbitan utang baru juga bisa menjadi instrumen investasi atau instrumen pengelolaan kas negara atau instrumen investasi. ”Berbagai negara maju menggunakan untuk mengelola kelebihan uang tunai mereka,” ujarnya.

Bukan ketagihan

Rahmat juga membantah tudingan tidak adanya strategi yang jelas dalam pengelolaan utang selama ini. Dibandingkan sebelumnya, menurut Rahmat, paradigma pemerintah menyangkut utang kini sangat jauh berbeda.

Kalau sebelumnya kita hanya mengenal administrasi utang, kini pemerintah menempatkan pengelolaan utang sebagai suatu aspek prioritas dan bersifat dinamis, terutama karena sebagian besar utang yang ada sekarang ini merupakan utang yang berasal dari pasar.

”Dalam pengelolaan utang, kita tak hanya melihat aspek dinamika pasar yang terus bergerak. Tetapi, ada satu tujuan yang harus dilakukan, yaitu mengelola risiko dan biaya. Intinya, meminimalkan biaya pada tingkat risiko yang bisa dikelola dengan baik (manageable) dalam jangka panjang,” ujarnya.

Parameternya, antara lain, pengelolaan utang yang semakin efisien. Artinya, setiap sen utang yang diterima benar-benar dipakai untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi produktif atau produk domestik bruto (PDB). Selain itu, rasio bunga terhadap belanja juga terus menurun. Demikian pula, tingkat risiko yang juga turun. Penurunan ini, menurut dia, tidak harus dalam arti nominal, tetapi bisa dalam angka rasio.

Risiko dalam manajemen utang meliputi antara lain risiko yang dihadapi dalam pembiayaan kembali utang (refinancing risk).

Hal ini terutama penting untuk negara seperti Indonesia yang profil jatuh tempo utangnya cenderung menumpuk pada suatu periode tertentu sehingga tanpa adanya upaya menata kembali profil jatuh tempo utang, risiko gagal bayar utang (default) dan biaya yang diperlukan untuk me-refinancing utang juga sangat besar.

Utang yang semakin besar, menurut Rahmat, tidak perlu dikhawatirkan sejauh itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan masih dimungkinkan melakukan refinancing.

”Defisit APBN dan refinancing memang meningkat sehingga utang juga nambah. Tetapi, utang itu harus dilihat untuk apa. Kalau itu untuk restrukturisasi atau pengelolaan terhadap risiko refinancing, ya enggak apa-apa dong. Kalau kita menambah utang dan tiap sen utang itu bisa kita kelola dengan baik untuk mendorong aktivitas ekonomi produktif sehingga PDB naik dan rasio utang terhadap PDB mengecil, tidak masalah. Sepanjang cost-nya juga masuk akal. Itu namanya bukan ketagihan,” kata Rahmat.

Risiko lainnya adalah risiko pasar atau risiko finansial, seperti risiko terhadap perubahan suku bunga, risiko nilai tukar mata uang, dan risiko likuiditas.

Risiko suku bunga bisa ditekan dengan mengurangi porsi surat utang dengan tingkat suku bunga variabel dalam portofolio utang kita. Sementara risiko nilai tukar bisa dikurangi dengan mengurangi porsi utang dalam denominasi valuta asing.

”Itu sudah kita lakukan. Porsi obligasi variable rate yang tadinya 55 persen sekarang tinggal 30 persen. Demikian pula porsi pinjaman dalam valas. Porsi utang rupiah sekarang ini masih di atas 50 persen,” ujarnya.

Risiko likuiditas bisa ditekan dengan diversifikasi instrumen di pasar. ”Yang dimaksud risiko likuiditas, kalau orang yang memegang obligasi kita—terutama yang jangka panjang—perlu uang, dia enggak bisa menjual ke market atau bisa jual ke market, tetapi dengan diskon yang sangat besar. Jadi, instrumen tak likuid,” ujarnya.

Peran surat berharga negara sebagai instrumen fiskal, instrumen moneter, instrumen pengelolaan portofolio utang negara, instrumen benchmarking, dan instrumen pengelolaan kas negara itu membuat penambahan utang atau penerbitan surat utang negara akan tetap dilakukan pemerintah kendati tak ada lagi defisit yang perlu ditutup atau APBN mengalami surplus.

Jadi, kalau ditanya, sampai kapan kita akan bergantung pada utang atau terus membuat utang baru? Mungkin tak ada yang bisa menjawab. Rahmat mengatakan, dari pemerintah sendiri tidak ada target definitif.

”Kalau pinjaman luar negeri mungkin bisa. Sejak tahun 2005, pinjaman luar negeri terus mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin menurunnya kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Selain itu, jumlah pinjaman yang jatuh tempo juga jauh melampaui jumlah pinjaman baru yang dilakukan. Jadi terjadi negative net adfitional external loans,” ujarnya

Untuk utang domestik, sampai kapan pun, sepanjang masih ada orang yang kelebihan uang mau investasi, menurut Rahmat, akan tetap diperlukan instrumen seperti SBN. Artinya, ya nambah utang terus.... (tat/aik)

Pegawai AIG Merasa Dikhianati


Jumat, 27 Maret 2009 | 03:49 WIB

Charlotte, Rabu - Salah seorang eksekutif American International Group atau AIG yang menerima bonus retensi lebih dari 742.000 dollar AS atau Rp 9 miliar setelah pajak telah mengundurkan diri dan menulis di kolom The New York Times, Rabu (25/3).

Jake DeSantis, salah seorang vice president di Divisi Produk Finansial, menyatakan akan meninggalkan perusahaan itu dan menyumbangkan seluruh bonusnya. Dalam surat yang ditujukan kepada CEO AIG Edward Liddy itu, dia juga menyatakan merasa dikhianati karena Liddy menyetujui bonus tersebut sekaligus menyebut bonus itu sebagai tidak pantas dan tidak menyetujui bonus itu di hadapan Kongres.

”Kami di Divisi Produk Finansial AIG telah dikhianati oleh AIG dan dituduh secara tidak fair oleh para politisi,” tulisnya.

Tidak pantas

Mantan CEO AIG Maurice ”Hank” Greenberg kembali mengecam bonus tersebut saat berbicara di Hongkong. ”Mengapa Anda membayari bonus kepada mereka yang telah menyebabkan kerugian.... Sungguh tidak masuk akal.”

”Saya mengerti mengatakan warga Amerika Serikat marah. Jelas hal-hal seperti ini mengganggu pikiran,” kata Greenberg yang mundur dari jabatan itu tahun 2005.

Greenberg juga telah menggugat AIG, dengan alasan perusahaan yang dia pernah pimpin selama 38 tahun telah mengacaukan kepercayaan investor. AIG bangkrut total sehingga harus ditolong Pemerintah AS karena mengucurkan kredit ke sektor perumahan di AS secara tidak terukur.

Greenberg juga mengatakan AIG telah berbohong selama ini soal kinerja keuangan. Mantan CEO AIG ini juga turut mengalami kerugian dengan investasi di AIG.

Ketika ditanya berapa kerugiannya, Greenberg hanya mengatakan, ”Pokoknya banyak.”(AFP/AP/REUTERS/JOE)

"Hedge Fund" Akan Diatur


Indonesia Termasuk yang Diuntungkan jika Terlibat Serius


AFP/MICHAEL HUGHES/MAVERICK
Jendela rumah milik Sir Fred Goodwin, mantan pimpinan Royal Bank of Scotland (RBS), di Edinburgh, Skotlandia, Inggris, Rabu (25/3), rusak. Sejumlah orang berang atas kinerja Goodwin yang buruk, tetapi mendapatkan dana pensiun sebesar Rp 144 miliar per tahun. RBS di bawah kepemimpinannya mengalami kebangkrutan. Sejumlah orang merusak rumahnya.
Jumat, 27 Maret 2009 | 04:53 WIB

Washington, Kamis - Hedge fund, yang dituduh menjadi pemicu utama krisis keuangan global, segera diatur. Semua transaksi hedge fund yang selama ini spekulatif, gelap, dan liar segera ditertibkan.

Demikian salah satu isi rancangan yang sudah mulai dibicarakan Menkeu AS Timothy Geithner di hadapan Kongres AS, Kamis (26/3), Washington.

RUU itu juga akan mengatur perusahaan sekuritas, termasuk jenis-jenis transaksi yang amat rumit, kompleks, tidak transparan, dan berdaya eksplosif seperti yang terbukti dengan meletusnya krisis ekonomi global terparah sejak Malaise 1929 di AS, julukan bagi depresi besar ekonomi.

Hampir semua dari 8.000 perusahaan hedge fund, julukan kumpulan dana-dana investasi, yang dikelola para manajer (fund manager), bermarkas di Inggris dan AS. Selama kepemimpinan George W Bush di AS dan Tony Blair di Inggris, seruan penertiban hedge fund itu ditepis.

AS di bawah Presiden Barack Obama dan Inggris di bawah kepemimpinan PM Gordon Brown membuat semua upaya pemberantasan itu kini menjadi mungkin. Upaya penertiban segala transaksi keuangan itu akan dibahas dalam pertemuan G-20 di London, 2 April. Indonesia juga terlibat sebagai anggota G-20.

”Pengaturan diperlukan untuk memperbaiki kekacauan yang bermuara dari sektor keuangan. Tujuannya adalah memperbaiki sistem yang terbukti rapuh dan tak memberikan stabilitas. Dalam 18 bulan terakhir, kita telah menghadapi krisis keuangan parah. Karena itu, kita memerlukan peraturan baru,” kata Geithner.

Salah satu penyebab kekacauan sektor keuangan adalah taruhan-taruhan spekulatif di pasar uang dan pasar modal dengan karakter para pelakunya tidak diketahui. Hal ini dimungkinkan karena ada negara-negara seperti Singapura, Hongkong, Swiss, Austria, dan negara-negara lain yang dijuluki off-shore centers, atau safe haven, memberi perlindungan. Hal ini telah menjadi sorotan utama PM Brown.

Salah satu contohnya adalah tindakan spekulatif para hedge fund yang mendorong naik atau turunnya harga-harga komoditas. Contoh lainnya adalah transaksi hedge fund yang tidak saja ingin meraih untung, tetapi juga bermaksud menelan dana investor dengan berbagai tipu muslihat.

Demi kepentingan negara

Hal ini sering diingatkan George Soros, juga pemilik hedge fund. Indonesia juga termasuk menjadi sasaran dari para pemangsa, yang membuat sejumlah pihak sering tidak bisa menjelaskan mengapa harga saham atau kurs rupiah mendadak naik atau anjlok.

Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Freddy Rickson Saragih mengatakan, keseriusan global soal pengaturan sektor keuangan itu jelas sangat menguntungkan Indonesia.

Risiko instabilitas akibat gejolak di sektor keuangan akan berkurang. Freddy menambahkan, Indonesia sebagai anggota G-20 bisa menimba ilmu soal peraturan sektor keuangan global. Aspek lain yang membuat Indonesia untung adalah posisi sebagai anggota G-20 yang membuat Indonesia masuk dalam kelompok pemilik modal besar di dunia. G-20, terdiri dari 20 negara, pemilik aktivitas ekonomi dunia sebesar 80 persen.

Di sisi lain, kata Freddy, sebagai anggota G-20 Indonesia memang harus terpanggil dan terlibat untuk menata sektor keuangannya. ”Jika tidak, kita berisiko untuk dikeluarkan dari G-20. Namun, jangan melihat risiko itu. Lihatlah manfaat dari penataan sektor keuangan yang memberi jaminan kestabilan,” kata Freddy.

Dia menambahkan, penataan dan kestabilan sektor keuangan akan membuat Indonesia diminati para investor.

”Negara butuh pembiayaan pembangunan dengan dana-dana investasi berjangka panjang. Bagaimana hal ini bisa kita raih jika sektor keuangan tidak ditata? Untuk itu, kita membutuhkan sistem yang memberi jaminan dan rasa aman bagi para pemilik modal,” kata Freddy.(REUTERS/AP/AFP/MON)

Earth Hour” Berarti meskipun Singkat


Kampanye memadamkan lampu dan peralatan elektronik yang tak terpakai, ”Earth Hour”, di Jakarta, Sabtu (28/3), sangat berarti sekalipun satu jam, pukul 20.30-21.30. Perhitungan kasar WWF-Indonesia, satu jam itu berarti menghemat sekitar 300 megawatt, kapasitas yang dapat menerangi ratusan desa. Hingga kemarin, 17.585 orang menyatakan dukungannya melalui situs jejaring sosial Facebook. Berdasarkan data internasional, 2.848 kota di 84 negara akan bergabung dengan kampanye yang pertama kali dimulai di Sydney, Australia, 2007. Di Indonesia, Kota Jakarta-lah yang bergabung dengan mematikan sejumlah lampu penerangan di Monas, Balaikota, dan sejumlah patung besar. ”Lima puluhan gedung milik swasta akan mendukungnya,” kata Direktur Program Iklim dan Energi WWF-Indonesia Fitrian Ardiansyah di Jakarta kemarin. (GSA)

Lomba Replika Wahana Berbasis Fisika

Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, Dunia Fantasi Ancol mengadakan Lomba Replika Wahana Berbasis Fisika untuk pelajar tingkat SD-SMA sederajat. Penyelenggaraan lomba replika ini bertujuan menumbuhkan budaya inovatif dan kompetitif di kalangan pelajar serta gemar pada sains dan teknologi. Falaah K Djafaar, Corporate Secretary PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, di Jakarta, Selasa (24/3), mengatakan, batas akhir pengumpulan proposal 2 April 2009 dan diserahkan ke Tim Edutainment Dunia Fantasi di Jalan Lodan Timur No 7, Ancol Taman Impian Jakarta, 14430. (ELN)

Sejarah Penyebaran Antraks Berubah

Sejarah penyebaran penyakit antraks bisa jadi berubah. Selama ini ilmuwan berpandangan antraks berasal dari Afrika/Timteng ribuan tahun lalu. Salah satu teori yang cukup populer menyatakan, penyakit itu sampai Amerika Utara dibawa Christopher Columbus pada abad ke-15. Namun, sebuah tes genetik terbaru terhadap ratusan sampel jenis antraks yang ditemui di Amerika Utara menyatakan penyakit itu sesungguhnya beredar dari utara ke selatan. Studi itu menyatakan antraks pertama kali muncul di Amerika Utara sekitar 13.000 tahun lalu. (National Geographic/INE)

Eskalasi Utang Indonesia, Berbahayakah?


Jumat, 27 Maret 2009 | 04:16 WIB

Ketidakmampuan pemerintah untuk keluar dari ketergantungan pada utang yang semakin besar, menurut sejumlah kalangan, menunjukkan pemerintah sudah pada tahap ketagihan pada utang. Ketergantungan Indonesia pada utang hanya bisa dikurangi dengan mengurangi stok utang secara signifikan, menggenjot penerimaan (terutama pajak), dan adanya keberanian politik untuk merombak belanja negara.

Kendati rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menunjukkan penurunan, posisi utang pemerintah secara keseluruhan terus meningkat dari Rp 1.294,8 triliun (2004) menjadi Rp 1.623 triliun (2008) dan tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp 1.667 triliun. Peningkatan terjadi baik pada utang luar negeri maupun surat berharga negara.

Lonjakan juga terjadi pada jumlah bunga yang harus dibayar, dari Rp 62,5 triliun (2004) menjadi Rp 65,2 triliun (2005), Rp 79,1 triliun (2006), Rp 79,8 triliun (2007), Rp 88,62 triliun (2008), dan tahun ini diperkirakan meningkat lagi menjadi Rp 101,7 triliun atau naik rata- rata 10,3 persen per tahun selama kurun 2004-2009.

Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN karena menyedot anggaran pembangunan. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk membayar bunga utang. Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah terus dipaksa menerbitkan utang baru. Besarnya utang baru yang diterbitkan ini cenderung terus meningkat, bahkan melebihi kebutuhan untuk menutup defisit APBN.

Sebelumnya, Bank Indonesia dalam kajian stabilitas keuangan 2008 juga sudah mengingatkan kecenderungan meningkatnya tekanan utang luar negeri. Stok utang luar negeri, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, meningkat dari 62,021 miliar dollar AS (2006) menjadi 62,253 miliar dollar AS (2007) dan pada 2008 serta 2009 diperkirakan 65,446 miliar dollar AS dan 65,730 miliar dollar AS.

Yang mencemaskan, menurut kajian BI tersebut, peningkatan utang ini juga terjadi pada utang jangka pendek yang meningkat dari 16,5 miliar dollar AS (2006) menjadi 23,1 miliar dollar AS atau meningkat 40,2 persen pada 2007. Akibatnya, rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap total utang luar negeri juga naik dari 13 persen menjadi 17 persen.

Demikian pula rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa yang meningkat dari 38,7 persen (akhir 2006) menjadi 40,6 persen (akhir 2007), sementara laju peningkatan cadangan devisa lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan utang luar negeri jangka pendek.

Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor keuangan karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul karena besarnya pembayaran utang luar negeri.

Pemerintah sendiri, seperti dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto, melihat tak ada yang perlu dicemaskan dengan terus meningkatnya utang. Menurut dia, utang yang besar dan peningkatan utang tidak akan jadi masalah selama dipakai untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif dan dikelola dengan baik.

Hal senada diungkapkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu. Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan defisit yang berasal dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan lebih banyak mengandalkan pada kemampuan dalam negeri.

”Pemerintah punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, baik penerbitan, pelunasan, pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, maupun peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu utang tak terjadi,” ujarnya.

Tak konsisten

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, menilai, eskalasi utang menunjukkan tidak konsistennya kebijakan pemerintah dengan komitmen untuk mengurangi ketergantungan pada utang.

Menurut Dradjad, terus meningkatnya utang adalah akibat tak adanya keberanian pemerintah untuk merombak struktur belanja negara.

”Jika kita terus membiarkan pola belanja negara seperti ini dan segala sesuatu ditutupi dengan utang, pada satu titik nanti kita akan mengalami kondisi seperti yang pernah dialami Argentina dengan siklus utangnya. Dampaknya tidak hanya ke APBN. Kebijakan ekonomi kita juga akhirnya didikte pihak luar,” ujarnya.

Keberatan juga diungkapkan Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Priambodo terhadap niat pemerintah menambah stimulus fiskal hingga 2 persen dari PDB.

”Menurut saya, se-urgent apa pun, kalau itu menaikkan defisit, harus benar-benar digunakan untuk kegiatan yang meningkatkan kemampuan membayar utang dan risikonya rendah. Kalau arahnya tak jelas, seperti pemotongan pajak pada stimulus yang sekarang, lebih baik jangan,” ujarnya. (tat/aik)/kompas

Selasa, 24 Maret 2009

KRISIS EKONOMI GLOBAL


Pemulihan Terjadi pada 2010 dengan Syarat
Selasa, 24 Maret 2009 | 05:49 WIB

Geneva, Senin - Perekonomian terus memburuk. Organisasi Buruh Internasional meramalkan pada akhir 2009 akan ada 50 juta penganggur baru. Namun, pemulihan ekonomi bisa terjadi pada 2010 dengan syarat.

”Semua kebijakan harus diimplementasikan,” kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn, Senin (23/3) di Geneva, Swiss, dalam pertemuan Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Krisis global terjadi karena kredit macet perbankan global di Amerika Serikat senilai 2 triliun dollar AS. Penipuan oleh Wall Street, julukan bursa saham AS, menambah persoalan, seperti yang dilakukan Bernard Madoff, pelaku penggelapan lebih dari 60 miliar dollar AS nilai nominal investasi milik sejumlah lembaga dan perorangan.

Tindakan gegabah dan spekulatif eksekutif itu, sebagaimana dituliskan Paul Krugman di New York Times edisi 22 Maret, turut membangkrutkan lembaga keuangan. ”Krisis terjadi karena disfungsi sistem keuangan,” tulis Krugman.

Hindari cara konvensional

Penelitian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan IMF menyebutkan, krisis yang dipicu kehancuran sektor keuangan secara empiris merusak mata rantai perekonomian. Kehancuran sektor ini membuat transaksi kacau dan merembet cepat ke semua sektor.

Strauss-Kahn meminta bank-bank sentral dan pemerintah menghindari pola konvensional dengan mengguyur uang begitu saja ke pasar. Sejak 2008, sejumlah negara maju mengguyur uang ke pasar. Sebagaimana dikatakan Krugman, disfungsi sistem keuangan tak akan mampu memutarkan uang-uang itu ke sektor perekonomian.

Sejauh ini, sejumlah pemerintah sudah meluncurkan dana stimulus ekonomi, menyuntikkan dana-dana ke perbankan. Hal ini terus dilakukan dan menjadi tindakan favorit AS. Namun, langkah itu tak mencegah ekonomi menuju krisis lebih dalam.

Uni Eropa memilih penyehatan perbankan, yang kemudian mulai dilakukan AS. Seiring dengan hal itu, para eksekutif perbankan Eropa, Asia, dan AS bertemu di London, Selasa ini. Pembahasan mereka adalah bagaimana menegakkan etika dan perilaku sistem keuangan. Bahasan lain pertemuan yang dihadiri Menteri Keuangan Inggris Alistair Darling itu adalah suntikan modal bank.

Krugman mengatakan, karena kekacauan perbankan lebih parah daripada yang terjadi pada dekade 1990-an, waktu yang diperlukan untuk sebuah solusi akan lebih lama. Hal itu bergantung pada sejauh mana Pemerintah AS melihat bahwa masalah ada pada disfungsi sektor keuangan. ”Namun, cara-cara yang dilakukan Presiden Barack Obama tetap saja sama dengan pendahulunya, George W Bush,” kata Krugman yang menegaskan agar fokus penyelesaian kebangkrutan perbankan diutamakan.(REUTERS/AP/AFP/MON)

Sabtu, 21 Maret 2009

Perlakuan Pajak Syariah



Chandra Budi
(Staf Dirjen Pajak Departemen Keuangan)

Saat ini, perbankan syariah mengalami pertumbuhan 35 persen. Di lain pihak, perbankan konvensional justru mengalami kemunduran. Satu hal yang membuat perbankan syariah tumbuh pesat adalah produk yang ditawarkan bebas terhadap tindakan spekulatif. Demikian juga, produk-produk yang ditawarkan mampu bersaing dengan produk-produk perbankan konvensional. Tidak dapat dimungkiri lagi, kita akan semakin akrab dengan istilah mudharabah (bagi hasil), murabahah (jual beli), ijarah (sewa-menyewa), dan qardh (pinjam-meminjam). Pun, usaha berbasis syariah mulai tumbuh, seperti asuransi syariah, jasa keuangan syariah, dan pegadaian syariah. Bagaimana perlakuan pajak atas usaha berbasis syariah ini?

Pajak ganda
Bulan November 2008 lalu, sejumlah otoritas pajak negara-negara Islam (ATAIC) berkumpul di Bali untuk membahas perlakuan pajak atas usaha berbasis syariah ini. Tujuan utamanya adalah menyamakan persepsi mengenai pajak syariah ini. Khusus Indonesia, karena saat itu sedang menyiapkan aturan tentang pajak syariah ini, know how lesson dari negara-negara Islam lain seharusnya dapat memberikan masukan yang berarti dalam menyusun peraturan tentang pajak atas usaha syariah ini.

Bagi praktisi usaha berbasis syariah, yang dikeluhkan selama ini adalah pengenaan pajak berganda atas transaksi produknya. Nyata terlihat adalah dalam transaksi murabahah (jual beli). Sebagai contoh, ketika seseorang mau membeli kendaraan melalui perbankan dengan cara mencicil (kredit), kalau dilakukan pada perbankan syariah dengan prinsip jual beli tadi, seakan-akan terjadi dua kali proses pengalihan (jual beli). Yang pertama adalah dari dealer dan perbankan syariah, kemudian yang kedua dari perbankan syariah kepada kreditor. Otomatis, sesuai dengan prinsip Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semua transaksi tersebut wajib dikenakan PPN. Dibandingkan dengan jika si kreditor tersebut melakukan transaksi dengan perusahan leasing, sebenarnya pihak leasing meminjamkan sejumlah uang kepada kreditor dan pembelian kepada dealer tersebut langsung atas nama kreditor. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya akan dikenakan sekali saja.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa, dan Perumahan Lainnya yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN telah mengakomodasi jenis transaksi murabahah (syariah), yaitu pada Pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pembebasan tersebut berlaku juga bagi pembiayaan yang berprinsip syariah. Tetapi, apabila diteliti lebih mendalam aturan ini, sebenarnya bertujuan untuk memberikan insentif bagi pembeli menengah ke bawah (nilai transaksi maksimal Rp 49 juta) dan tentunya pengembang perumahan (developer) sehingga diharapkan pemenuhan kebutuhan perumahan dapat terwujud.

Aturan pajak syariah
Menurut saya, karena pengertian dan konsep antara pajak dan dharibah istilah pajak dalam Islam sangat berbeda, penerapan atau perlakuan pajak atas kegiatan ekonomi yang berdasarkan aturan Islam (dikenal dengan syariah) tidak akan berhasil. Perbedaan nyata terletak dari sifat pajak yang dapat dipaksakan, sedangkan dharibah bersifat tidak memaksa, berlaku hanya pada keadaan darurat (temporer), dan sesuai kebutuhan (tidak ada istilah lebih). Maka, sebenarnya, perlakuan pajak syariah ini lebih tepatnya merupakan penerapan aturan perpajakan atas transaksi yang bersifat khusus. Analoginya sama persis ketika pemerintah menerapkan aturan pajak untuk migas dan batu bara, misalnya.

Untuk Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah mengakomodasi aturan pajak syariah ini dalam UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu pada Pasal 31D yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batu bara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP). Pada 3 Maret 2009 lalu, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah. Isi dari PP ini telah membedakan jenis usaha syariah, perlakuan pajak penghasilan yang meliputi keuntungan (margin) serta biaya dan pemotongan dan pemungutan pajaknya. Tentunya, detailnya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Per Dirjen Pajak), dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) yang diharapkan keluar secepatnya. Karena dasar syariah yang digunakan sebenarnya hanya istilah khusus saja, penerapan aturan perpajakan secara umum sebenarnya tidak akan mendapatkan masalah berarti. Walaupun harus diakui bahwa keluarnya PP tersebut akan menangkap sejumah objek pajak yang secara khusus tidak diatur dalam UU Pajak Penghasilan.

Yang patut mendapatkan catatan di sini adalah keluarnya PP tersebut belum menjawab permasalahan yang dihadapi oleh praktisi kegiatan usaha syariah, yaitu PPN berganda. Pemerintah saat ini dalam proses penyelesaian amandemen UU PPN dan saya yakin aturan mengenai PPN syariah merupakan klausul penting untuk dibahas. Tapi, di satu sisi, ada rasa pesimistis amandemen UU PPN tersebut dapat diselesaikan segera mengingat saat ini konsentrasi dan tenaga para wakil rakyat akan lebih banyak fokus kepada Pemilu 2009. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dapat mengusulkan beberapa aturan terkait PPN ganda transaksi syariah ini. Berkaca pada PMK Nomor 36/PMK.03/2007 di mana aturan transaksi syariah disisipkan, menteri keuangan pun dapat mengeluarkan aturan khusus lainnya mengenai pemberlakuan PPN atas transaksi yang berdasarkan prinsip syariah. Khusus produk murabahah (jual beli), menteri keuangan dapat saja mengeluarkan PMK tentang perlakuan khusus pengenaan PPN atas transaksi yang berdasarkan prinsip syariah dengan cara mengamandemen PP Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN. Ini tidak akan terlalu sulit karena Presiden SBY telah menyatakan political will-nya untuk mendukung equal treatment atas perbankan syariah nasional.

(-)

Kamis, 19 Maret 2009

Menimbang Ulang Kapitalisme

B Herry Priyono

Tulisan kecil ini diajukan sebagai tantangan kepada para calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, dan siapa saja yang berambisi menjadi pemimpin Indonesia melalui Pemilihan Umum 2009.

Dan, tantangan ini diajukan dalam bayang-bayang kampanye yang sedang kian bergerak menjadi praktis, dengan perhatian pada urusan taktik pemenangan suara. Tentu pada minggu-minggu terakhir sebelum pemilu ini perhatian pada urusan taktik pemenangan itu tidak terelakkan.

Namun, justru karena perhatian pada urusan taktis itu, banyak persoalan fundamental juga tersingkir dari horizon riuh rendah perebutan kursi kekuasaan. Salah satunya adalah perdebatan besar yang sedang melanda dunia sejak meletusnya krisis ekonomi global 2008. Inilah musim ketika para negarawan dan pemikir dunia sedang berdebat tentang masa depan sistem ekonomi, tetapi hampir-hampir tak ada timbangan apa pun mengenai perkara itu di negeri ini.

Apa yang dimaksud bukan sekadar urusan stimulus ekonomi karena pada akhirnya stimulus hanyalah langkah ”memadamkan kebakaran ekonomi”. Sesudah api krisis dapat terkendali, sebuah masa depan tata ekonomi tetap menganga menunggu agenda. Yang dimaksud juga bukan urusan polemik tentang sosialisme baru lantaran polemik itu telah terperosok pula menjadi fanatisme ideologi kubu-kubu.

Apa yang saya maksud lebih berupa timbangan ulang atas prinsip ekonomi politik yang hendak kita pakai untuk menata Indonesia. Dan, persis ketika para pemburu kursi kepemimpinan Indonesia hari-hari ini sedang bermunculan ke panggung kampanye, tepatlah saatnya mengajukan persoalan ini sebagai tantangan kepada mereka.

Selama ini, entah karena fanatisme atau kenaifan, timbangan atas prinsip ekonomi politik itu selalu saja terpelanting ke dalam oposisi otoritarianisme lawan demokrasi, atau sering pula tampil dalam oposisi kapitalisme lawan sosialisme.

Oposisi semu

Dari mana oposisi itu berasal? Tentu dari sejarah lantaran lintasan sejarah pernah tersobek-sobek oleh perang doktrin seperti itu. Akan tetapi, dalam periode sejarah dewasa ini, oposisi itu lebih mungkin berakar dalam ketidakmatangan intelektual atau semacam kekanak-kanakan ideologis.

Sebagai contoh, di tengah kencangnya desakan regulasi atas berbagai malapraktik bisnis yang membawa dunia terperosok ke dalam malapetaka ekonomi dewasa ini, John Castellani, Presiden Business Roundtable (jaringan lobi perusahaan-perusahaan swasta raksasa Amerika Serikat), bersungut-sungut, ”Kita tidak tahu bagaimana keluar dari bahaya besar musim ini, yaitu petualangan sosialisme yang membuat sektor swasta tidak dapat melakukan yang terbaik yang mesti dibuat” (Financial Times, 13/3). Yang dimaksud ”sosialisme” dalam ungkapan itu adalah regulasi dan pengambilalihan bank oleh pemerintah sebagai upaya ”memadamkan kebakaran” dan rekapitalisasi.

Yang ganjil di situ, apa saja yang tak disukai bisnis swasta diberi nama ”sosialisme”. Bukankah itu mirip dengan gejala di negeri ini dari dulu sampai hari ini ketika apa saja yang tak disukai diberi nama ”komunis”? Itulah yang dimaksud dengan ketidakmatangan dan kekanak-kanakan ideologis. Namun, mengapa disebut ketidakmatangan?

Penjelasannya tidak terletak dalam urusan teknis ekonomi atau politik, melainkan dalam cara berpikir primitif yang berisi kesesatan melakukan dilema pilihan. Untuk menjelaskan maksudnya, barangkali ada gunanya menimbang perbedaan dua jenis dilema berikut.

Pertama, andaikan kita harus memilih calon presiden A atau B. Memilih A berarti tidak memilih B, dan sebaliknya. Silakan menambah jumlah calon presiden C, lalu D, sampai ke N, dan tetap saja pola eksklusif pilihan itu berlaku.

Sama halnya jika memilih pergi ke Medan, kita tidak mungkin sekaligus berada di Bali. Teknologi informasi tentu dapat membantu kita ”tersambung” dengan Bali, tetapi tetap saja tidak bisa menggantikan kehadiran fisik kita. Pilihan berada di Bali atau Medan itu bersifat eksklusif. Artinya, kita hanya memilih dengan melepaskan pilihan lain karena fakta keterbatasan fisik kita. Itulah ”dilema praktis” yang solusinya hanya membutuhkan putusan praktis. Memilih salah satu dari keduanya bukanlah cacat, melainkan kelugasan putusan yang sederhana.

Kedua, akan tetapi, manakah yang mesti kita pilih: individualitas atau sosialitas? Kebebasan atau tertib tatanan? Aksi atau refleksi? Kita dapat memilih salah satu pada momen tertentu, tetapi tata hidup masyarakat yang bermutu dan matang secara niscaya berisi keduanya. Ringkasnya, pilihan individualitas atau sosialitas (juga kebebasan atau tertib tatanan) merupakan oposisi semu. Maka, pertanyaan mesti memilih individualitas atau sosialitas bisa dikatakan sebagai salah pertanyaan.

Karena sulitnya menemukan istilah yang sederhana, bolehlah teka-teki itu disebut ”dilema eksistensial”. Solusinya bukan dengan memilih yang satu dan membuang lainnya, tetapi hidup suatu masyarakat yang matang dan tidak kekanak-kanakan hanya mungkin terjadi jika, dan hanya jika, kita menghidupi tegangan di antara keduanya.

Itu juga berarti, memilih individualitas dengan mengorbankan sosialitas (dan sebaliknya) adalah resep pasti menuju kesesatan. Dalam menghidupi tegangan itulah terletak kunci kematangan suatu bangsa. Tidak kalah penting, suatu tatanan ekonomi, politik, atau kultural disebut progresif bukan pertama-tama karena tatanan itu ikut mode terbaru, tetapi persis karena menghidupi serta menjelmakan tegangan individualitas dan sosialitas.

Oleh karena itu, sistem ekonomi yang hanya memuja individualitas dengan mengabaikan daya sosialitas niscaya akan membawa kita menuju malapetaka. Begitu pula sebaliknya, tata ekonomi yang hanya merayakan kolektivitas dengan menyingkirkan daya spontanitas individual bukanlah sistem ekonomi yang sehat. Prinsip ini juga berlaku bagi kehidupan politik dan kultural.

Sering terjadi, kita merujuk pada praktik ekonomi AS untuk membenarkan keganasan individualisme dalam tata ekonomi kita. Tentu saja cara membenarkan diri seperti itu mengundang gelak tawa. Bahkan, dari cara berpikir paling sederhana, apa yang sedang berbondong-bondong dilakukan oleh banyak orang bukanlah panduan baik untuk ditiru begitu saja. Bukankah ganjil hanya karena sesuatu dilakukan oleh banyak orang Amerika, lalu kita merasa harus menirunya?

Apa yang terjadi dalam krisis besar tata ekonomi dunia dewasa ini persis merupakan akibat langsung dari kesesatan memperlakukan ”dilema eksistensial” sebagai ”dilema praktis”. Tentu kesesatan ini terjadi dalam simpang siur berbagai kepentingan. Sejarah memang bukan linear, bukan juga siklis, tetapi lebih mirip orang mabuk yang terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dan, setiap kali terperosok ke ekstrem kiri, kita rindu pada ekstrem kanan. Begitu pula ketika jatuh ke lembah ekstrem kanan, kita merengek ingin ke kiri.

Atau, titik tengah mungkin merupakan kondisi yang membosankan lantaran ia terasa tidak punya gereget maupun kejelasan. Akan tetapi, di situ pula tersimpan rahasia bahwa tata hidup yang tidak mabuk rupanya berisi jalan luhur untuk menghidupi tegangan. Dan, tegangan itu merupakan ”tegangan eksistensial” antara kiri dan kanan atau juga antara sosialitas dan individualitas. Lalu, apa yang layak dijadikan pandu?

Sosialitas laba

Jika bulan-bulan ini Anda menyimak laporan berbagai media yang selama ini gegap gempita merayakan ekonomi fundamentalisme pasar, Anda akan bertemu gejala lucu. Contohnya, mingguan The Economist yang sering menyebut diri ”juru bicara kapitalisme global” dan selalu cenderung memandang rendah buruh sembari memuja eksekutif bisnis bak para pangeran yang gagah menunggang kuda putih. Tiba-tiba pada beberapa bulan ini berbagai liputannya penuh kepanikan, lalu membuat pelesetan logika apa saja untuk membenarkan garis ideologinya. Sementara itu, pemikir neokonservatif seperti Francis Fukuyama atau jurnalis neoliberal seperti Thomas Friedman mulai meratapi cacat besar pada klaim mereka sebelumnya.

Sebuah era baru bagi pencarian arah tatanan ekonomi politik sedang dimulai. Namun, ada gunanya pencarian itu berangkat dari pengakuan sederhana. Dalam ”The Schumacher Lecture” (6 Oktober 2008), sebuah kuliah publik tahunan di Inggris untuk menghormati ekonom EF Schumacher (penulis Small is Beautiful), Susan George (penulis The Lugano Report) melukiskan kapitalisme sekarang dengan ungkapan begini, ”Kapitalisme dewasa ini tidak lagi waras menurut arti ’kewarasan’ yang dipahami orang-orang waras”.

Apa yang tidak waras pada kapitalisme dewasa ini? Amartya Sen, pemikir ekonomi yang biasanya santun itu, melukiskannya sebagai jenis kapitalisme ”yang menyiapkan malapetaka” karena ”tidak adanya regulasi atas berbagai malapraktik keuangan yang niscaya berakibat pada spekulasi ganas dan kebuasan pengejaran laba” (New York Review of Books, 26/3).

Atau, dengan meminjam ungkapan Adam Smith, kapitalisme dewasa ini ada di tangan ”para pemboros dan penjudi” yang membuat modal ”jatuh ke tangan orang- orang yang paling berperan menghancurkannya”. Kalau itu belum cukup, Jack Welch si pencipta gerakan ”aktivisme pemegang saham” menyebut dengan sangat kasar apa yang dikejar kapitalisme dewasa ini sebagai ”kedunguan paling besar” (Financial Times, 13/3).

Dalam bayang-bayang malapraktik yang terbongkar inilah para pemboros dan penjudi mulai panik, lalu melihat desakan ke arah regulasi pasar keuangan sebagai sosialisme. Padahal, naluri dasarnya sederhana, yaitu mereka khawatir tidak bisa lagi mengeruk laba dan bonus raksasa seperti yang mereka raup sebelum krisis.

Maka, dengan lugas mesti dikatakan, desakan regulasi yang kencang dewasa ini tidak punya kaitan apa pun dengan sosialisme. Bahkan, ekonom serius seperti Dani Rodrik melihat ”regulasi dan supervisi finansial pada tingkat nasional agar diperketat dan diperluas” (The Economist, 14/3). Tentu saja regulasi serampangan di tangan pemerintah yang korup juga hanya akan menjadi jalan lempang menuju kebusukan lain.

Lalu, bagaimana sebaiknya memahami desakan regulasi yang kencang dewasa ini? Tuntutan bagi regulasi terutama di sektor keuangan itu tidak punya kaitan apa pun dengan oposisi kapitalisme lawan sosialisme. Regulasi itu hanya tuntutan akal sehat sederhana agar ”uang” diabdikan kembali bagi tujuan ”ekonomi”, yaitu kesejahteraan bersama. Itulah tuntutan agar ”uang” tidak lagi menjadi obyek kebuasan pengerukan laba yang selama ini dilakukan para tuan besar bisnis dan keuangan beserta stafnya.

Pada akhirnya, desakan regulasi itu hanya dapat dipahami dari latar belakang corak kapitalisme yang sedang begitu memuja individualisme laba. Dan, regulasi merupakan tuntutan sederhana untuk menyuntikkan kembali daya sosialitas ke dalam tata ekonomi. Karena itu, apa yang sedang dituntut bukanlah sosialisme ekonomi, tetapi sosialitas laba. Jika Anda tetap bersikeras menyebut itu sebagai ”sosialisme”, cukup pasti Anda tersesat. Sebab, tatanan ekonomi yang matang dan tidak kekanak-kanakan pada akhirnya bukan penyembah kapitalisme ataupun sosialisme, melainkan tata ekonomi yang menghidupi tegangan antara individualitas dan sosialitas. Dan, di situ pula letak ciri progresif sebuah sistem ekonomi.

Tegangan itu bukan untuk dihindari, bukan pula untuk dilenyapkan, melainkan untuk dirawat melalui berbagai kebijakan publik, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, hukum, pendidikan, maupun sektor-sektor lain dalam semesta hidup berbangsa. Sekali lagi, terpelanting ke salah satu kutub adalah jalan menuju kesesatan.

Kepada yang terhormat para pemburu tongkat kepemimpinan Indonesia, berkenanlah menerima ini sebagai tantangan. Selebihnya, semoga Anda memimpin Indonesia keluar dari kekanak-kanakan dan ketidakwarasan kapitalisme yang sedang mendera kita.

B Herry Priyono Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Selasa, 17 Maret 2009

Kasus Penipuan Madoff dan Istrinya Hidup Mewah

New York, Minggu - Bernard Madoff, penipu para investor di AS, dan istrinya, Ruth, hidup mewah dan memiliki aset sebesar 823 juta dollar AS tahun lalu. Aset itu termasuk properti senilai 22 juta dollar AS, kapal pesiar 7 juta dollar AS, dan perahu 2,2 juta dollar AS. Total aset itu termasuk 700 juta yang diinvestasikan ke bisnisnya.

Pasangan tersebut juga memiliki pesawat senilai 12 juta dollar AS, perak 65.000 dollar AS, dan piano seharga 39.000 dollar AS. Perlengkapan rumah tangga mereka bernilai 8,7 juta dollar AS.

Aset ini terungkap dalam dokumen yang diserahkan Ira Sorkin, pengacara Madoff.

Dokumen itu juga menyebutkan, pengacaranya berusaha mengeluarkan Madoff dari penjara dengan uang jaminan.

Dalam pernyataan Madoff, diungkapkan bahwa perdagangan surat berharga yang dilakukannya sejalan dengan norma bisnis, tidak melawan hukum serta sukses.

Setiap bulan, pasangan tersebut mengeluarkan biaya 100.000 dollar AS untuk perlindungan hukum, 140.000 dollar AS untuk penjaga keamanan pribadi, 2.860 dollar AS untuk pengurusan rumah dan 885 dollar AS untuk tukang kebun.

Mereka membayar 700 dollar AS untuk biaya listrik dan telepon, 370 dollar AS untuk televisi berlangganan, 250 dollar AS untuk dokter, dan 70 dollar AS untuk hiburan di apartemen mewah mereka di Manhattan, New York.

Ruth akan diseret

Penyelidikan terus berlanjut tidak hanya kepada Madoff. Banyak orang memperkirakan Madoff berusaha menyelamatkan keluarga dan teman dengan mengaku bersalah. Penyelidik federal tengah mencoba membekukan aset Ruth Madoff, istri Bernard Madoff. Dikhawatirkan Ruth akan melarikan diri ke luar negeri atau melenyapkan aset bernilai 93 juta dollar AS atas namanya.

Demikian diungkapkan harian New York Post, Minggu (15/3), mengutip salah seorang sumber. New York Post juga mengatakan, pembekuan aset hanya langkah awal untuk menyeret Ruth ke pengadilan.

Laporan itu juga mengungkapkan Badan Pengawas Pasar Modal AS (SEC) dan penuntut federal di Manhattan tengah mempersiapkan secara formal pembekuan aset Ruth.

Ruth dan Bernard Madoff sudah menikah selama hampir 50 tahun. Ruth Madoff tidak memiliki peran formal dalam perusahaan suaminya dan tidak pernah dituduh melakukan kesalahan. Ruth menjadi perhatian penyelidik karena telah mengirimkan perhiasan dan jam tangan bernilai 1 juta dollar AS ke luar AS. Berdasarkan peraturan, Ruth tidak boleh mengalihkan asetnya. Selain itu, dia juga mengalihkan dana sebesar 15,5 juta dollar AS sebelum suaminya ditahan pada 11 Desember.

Orang yang berada di dalam radar penyelidik adalah adik Madoff, Peter Madoff, yang turut membangun perusahaan investasinya. Peter sempat membantu pembukaan perusahaan Madoff.

Andrew (42) dan Mark (45), putra Madoff, yang bekerja di perusahaan ayahnya juga diselidiki. Selain keluarga, penyelidik telah menanyai peran Frank DiPascali, pejabat keuangan perusahaan Madoff. (AFP/AP/joe)