Jumat, 27 Februari 2009

Institusi Nirlaba yang Dipajaki


Kamis, 26 Februari 2009 | 00:30 WIB

Indira Permanasari dan Ester Lince Napitupulu

Terdapat tiga hal yang pasti dalam kehidupan, yakni kematian, pajak, dan reformasi perpajakan,” ujar pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam, mengutip ungkapan pemimpin revolusi Amerika, Benjamin Franklin.

Terbitnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan termasuk tidak luput dari persoalan pajak. Bahkan, dalam tubuh UU BHP terdapat benturan soal perpajakan.

Kalau ada UU yang agresif ingin mengatur sendiri pajaknya, tentulah itu UU BHP, bahkan melebihi UU perpajakan. Tidak hanya cukup sekali mencantumkan kata ”pajak”, kata itu muncul tiga kali dalam UU itu, yakni dalam Pasal 38 Ayat 4, Pasal 43 Ayat 4, dan Pasal 45 Ayat 3.

”Agak aneh UU BHP mengatur pemajakan tentang dirinya sendiri. Ini tugasnya undang-undang pajak,” ujar Darussalam dalam diskusi bertajuk ”Dampak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)” yang diselenggarakan harian Kompas, 5 Februari 2009.

Dia mencontohkan Pasal 43 Ayat 4 UU BHP. Dalam pasal itu badan hukum pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi dapat berinvestasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum untuk memenuhi pendanaan pendidikan. Lebih lanjut dalam Pasal 43 Ayat 4 terungkap bahwa seluruh dividen yang diperoleh dari badan usaha itu, setelah dikurangi pajak penghasilan yang bersangkutan, digunakan sesuai dengan ketentuan, yakni untuk kepentingan pendidikan.

”Sebetulnya ada kemungkinan tidak terkena pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 3 telah diatur pengecualian objek pajak. Intercorporate dividend (dividen yang dibagikan antarbadan usaha) termasuk non-obyek pajak sehingga tidak harus dipotong dulu. Terkesan UU BHP malah menyodorkan diri dikenai pajak,” ujarnya.

Kata Darussalam, tidak ada artinya perpajakan itu dirumuskan dalam UU BHP lantaran UU itu bersifat lex generalis sehingga yang dirujuk tetap ketetapan pajak dalam perundang-undangan pajak sebagai lex specialis.

Nirlaba tetapi dipajaki

Perlukah badan hukum pendidikan dipajaki? Darussalam lalu merujuk pemikiran para ekonom klasik yang menyatakan, dalam perekonomian terdapat dua aktor utama, yakni negara dan swasta. Negara berfungsi menjalankan sektor-sektor yang swasta enggan berperan dengan pertimbangan sulit memperoleh keuntungan. Sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik atau sosial secara teoretis merupakan kewajiban negara. ”Sektor pendidikan, misalnya, apakah dipandang sebagai barang publik atau privat oleh pemerintah,” ujarnya.

Dalam UU BHP Pasal 4 tercantum badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba. ”Laba” yang diperoleh tak boleh didistribusikan kepada pemiliknya atau tidak berorientasi keuntungan sehingga dapat diasumsikan sebagai sektor publik.

Berangkat dari asumsi itu, penarikan pajak dari kegiatan pendidikan dipertanyakan. Apalagi pemerintah belum menggelontorkan anggaran memadai untuk pendidikan. ”Seharusnya pemerintah malah memberikan insentif bagi pihak-pihak yang peduli pendidikan,” kata Darussalam.

Di banyak negara, pemajakan atas lembaga nirlaba bervariasi. Umumnya, negara yang sadar belum mampu menjalankan tanggung jawabnya sehingga sebagian fungsi pendidikan dijalankan masyarakat, ada keinginan kuat memberikan kemudahan dan mengurangi pungutan. Di Denmark, misalnya, organisasi pendidikan yang bersifat nirlaba dikenai pajak. Namun, pemerintah mengucurkan anggaran besar untuk pendidikan. Pemungutan pajak juga tidak memberatkan dan digunakan untuk kepentingan lain.

Keringanan pajak

”Tidak adanya biaya untuk pajak penghasilan badan sampai 28 persen, misalnya, tentu meringankan dan menekan biaya,” ujarnya. Di tengah kekhawatiran kian mahalnya pendidikan dan belum memadainya anggaran pendidikan, sebenarnya pemerintah dapat memberikan keringanan pajak, baik PPh, PPN, maupun PBB, kepada badan hukum pendidikan, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Saat ini, pembangunan prasarana gedung untuk belajar-mengajar tetap dikenai PPN.

Pajak itu dirasa memberatkan penyelenggara pendidikan. Penasihat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat sekaligus Ketua Yayasan Perguruan Budhaya Pudentia MPSS mengatakan, untuk gedung sekolah, misalnya, yayasan yang dipimpinnya harus membayar pajak Rp 250 juta tahun lalu. Padahal, yayasan tersebut mengelola pendidikan dengan tujuan sosial.

Direktur Pelaksana Yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Tunggul Siagian berpandangan sama. ”Salah satu sekolah kami di kawasan Kebayoran harus membayar Rp 410 juta untuk memperbarui sertifikatnya. Penghasilan sekolah tidak begitu besar,” ujarnya.

Perpajakan seharusnya berpihak pada pembangunan pendidikan. ”Mahalnya harga buku pelajaran bukan karena hak cipta pengarang yang persentasenya kecil itu, melainkan biaya PPN kertas, PPN impor barang, PPN dalam mencetak, dan PPN dalam menjual,” katanya.

Aturan perpajakan seputar kegiatan pendidikan itu mencerminkan pula komitmen pemerintah terhadap pembangunan pendidikan dan pencerdasan bangsa.

Telekomunikasi


Melemahnya Rupiah Menggerus Laba
Jumat, 27 Februari 2009 | 00:54 WIB

Jakarta, Kompas - Perusahaan telekomunikasi terkena dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Meski rata-rata pendapatan perusahaan telekomunikasi tahun 2008 meningkat dibandingkan dengan pendapatan tahun 2007, laba bersih yang mereka raih menurun.

Direktur Utama PT Indosat Johnny Swandi Sjam di Jakarta, Kamis (26/2), dalam pemaparan Kinerja Indosat tahun 2008, menyatakan, tahun 2008 Indosat membukukan pendapatan usaha Rp 18,66 triliun, atau meningkat 13 persen dibanding 2007. Adapun laba usaha 2008 tercatat Rp 4,73 triliun, atau tumbuh 5 persen dibanding 2007.

Namun, pertumbuhan pendapatan dan laba usaha yang relatif tinggi itu tidak memberikan pertumbuhan laba bersih bagi Indosat. Tahun 2008, Indosat dengan total 36,5 juta pelanggan hanya membukukan laba bersih Rp 1,88 triliun, atau turun 8 persen dibanding 2007.

Menurut Direktur Keuangan Indosat Wong Heang Tuck, penurunan laba bersih itu disebabkan kerugian nilai tukar akibat terdepresiasinya rupiah terhadap dollar AS pada triwulan IV/2008. Besar kerugian nilai tukar yang ditanggung Indosat mencapai Rp 886 miliar.

Untuk mengantisipasi fluktuasi nilai tukar, lanjut Wong, Indosat telah melakukan lindung nilai, tetapi hanya 52 persen dari total obligasi dan utang perseroan dalam bentuk dollar AS.

Kerugian akibat melemahnya nilai tukar rupiah juga disampaikan Presiden Direktur Excelcomindo Pratama Hasnul Suhaimi. Dia menjelaskan, Excelcomindo membukukan pendapatan Rp 12,156 triliun, atau naik 45 persen dibanding 2007, tetapi menderita kerugian Rp 15 miliar akibat biaya insidental dan perkembangan nilai tukar rupiah yang kurang menguntungkan.

Direktur Pemasaran Indosat Guntur Siboro memperkirakan, perang tarif di antara perusahaan telekomunikasi di Indonesia tahun 2009 tidak seagresif tahun lalu. Penurunan itu disebabkan tarif telekomunikasi di Indonesia secara umum sudah murah, hanya sekitar 1 sen dollar AS atau Rp 110 per menit. ”Tarif itu termasuk paling murah di dunia, sama dengan India dan Thailand. Kalaupun bisa diturunkan akan sangat terbatas. Persaingan tarif ke depan tidak seketat tahun lalu,” kata Guntur. (REI)

Besaran PTKP Dipermasalahkan


Beban Hidup Minimal Sebaiknya Diperhitungkan
Jumat, 27 Februari 2009 | 00:57 WIB

Jakarta, Kompas - Penghasilan Tidak Kena Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan Rp 15,84 juta per tahun dinilai tidak memperhitungkan rata-rata beban hidup warga Indonesia yang mencapai Rp 60 juta per tahun.

”Penetapan PTKP sangat kecil, yaitu Rp 1,32 juta per bulan (setara Rp 15,84 juta per tahun). Itu tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak seperti yang dihitung ahli kami untuk tahun 2009, yakni Rp 6,9 juta per bulan,” ujar Gustian Djuanda, pemohon uji materi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) sekaligus pengajar di sebuah Perguruan tinggi Swasta, seusai sidang pleno MK di Jakarta, Kamis (26/2).

Pemohon juga mempermasalahkan perbedaan antara PTKP istri yang memiliki pekerjaan dan istri yang tidak bekerja.

PTKP untuk istri yang bekerja ditetapkan Rp 15,84 juta per tahun atau sama dengan PTKP wajib pajaknya. Adapun PTKP untuk istri yang tidak bekerja hanya 8,3 persen dari PTKP istri yang bekerja. Akibatnya, beban riil pajak bagi wajib pajak yang istrinya tidak bekerja jauh lebih besar.

”Hal yang sama juga terjadi pada PTKP Tanggungan (anak) yang hanya ditetapkan 8,3 persen dari PTKP wajib pajaknya, jauh lebih kecil dibandingkan PTKP Tanggungan pada UU PPh lama (UU Nomor 17 Tahun 2000) yang ditetapkan 50 persen dari PTKP wajib pajaknya,” ujar Gustian.

PTKP yang ditetapkan berdasarkan beban hidup diusulkan karena penagihan pajak seharusnya dibebankan setelah semua beban hidup seorang wajib pajak dipenuhi terlebih dahulu.

Sebab, jika pajak dibebankan sebelum memperhitungkan ongkos, kesejahteraan wajib pajak akan terancam.

Bukan beban hidup

Saat menyampaikan keterangan pembuka dalam Sidang Pleno MK, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah mana pun di dunia tidak pernah memperhitungkan beban hidup rata-rata warga negaranya pada saat menetapkan PTKP.

PTKP yang ditetapkan dalam UU PPh terbaru sudah memberikan keringanan kepada wajib pajak. Itu dimungkinkan karena PTKP sudah dinaikkan dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta per tahun. PTKP itu jauh dari upah minimum provinsi (UMP), seperti UMP Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 1 juta per bulan atau Rp 12 juta per tahun.

Nilai pajak yang tak dibayar akibat kenaikan PTKP itu secara nasional sebesar Rp 11,8 triliun. Pemerintah berharap penghematan pajak tersebut bisa memberikan penguatan pada daya beli masyarakat.

”Kami melihat pemohon ingin membuat perhitungan beban hidupnya sendiri untuk kemudian dijadikan standar internasional, padahal PTKP ini sudah sangat tinggi. Dengan demikian, kami menolak pendapat pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan tentang PTKP itu tidak adil dan mengancam kehidupan generasi yang akan datang,” ujar Sri Mulyani.

Tuntutan atas PTKP juga pernah digelar pada Mahkamah Konstitusi Jerman pada tahun 1991.

Penuntut meminta PTKP ditetapkan setelah seluruh beban biaya sosial, seperti pendidikan, diperhitungkan. Permohohan itu dikabulkan begitu juga dengan PTKP atas tanggungan anak. (OIN)

Revolusi Pengetahuan, Kemiskinan, dan Politik


Jumat, 27 Februari 2009 | 00:34 WIB

ARY MOCHTAR PEDJU

”Deng Xiao Ping and his allies identified technological progress as key to modernization, a ticket to military power and to economic growth and prosperity” (Oded Shenkar, The Chinese Century, Wharton School Publishing, 2006).

Tulisan ”Iptek, Politik, dan Politisi” (Ninok Leksono, Kompas, 25/2) amat mengena bila diperhatikan program-program dan iklan parpol/politisi di TV dan media lain yang tak pernah menyinggung topik iptek. Acara-acara itu mengesankan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkait masalah-masalah kemiskinan, ledakan penduduk, kesehatan, energi, lingkungan yang rusak, pemanasan bumi, jender, bahkan politik!

Tidakkah sebaiknya para caleg dan capres bersama pimpinan parpol bercita-cita lebih besar dan menjadikan tahun ini awal penciptaan piramida peradaban dan etika baru bangsa demi kehidupan yang bermartabat?

Kurva Maddison

Penelitian sejarawan ekonomi Angus Maddison menghasilkan dua kurva (2001), tentang ”Kemakmuran” manusia serta pertumbuhan penduduk dunia sepanjang 2000 tahun, mencerahkan.

Dari kurva pertama ternyata hampir sepanjang 20 abad, rata-rata manusia sedunia miskin, termasuk orang Eropa. Menjelang abad ke-19, barulah kurva GDP per kapita dunia rata-rata mulai menggeliat ke atas setelah terus mendatar dalam arti miskin, yakni kurang dari 1.000 dollar AS hingga sekitar 6.000 dollar AS tahun 2000 (lihat Tabel). Namun, dari 6.000 dollar AS rata-rata dunia ini, kontribusi terbesar adalah dari Eropa. Rata-rata Eropa sekitar 20.000 dollar AS.

Revolusi pengetahuan

Sejarah perkembangan pengetahuan Eropa sejak akhir periode Renaisans menunjukkan, interaksi dari berbagai cabang ilmu yang terjalin dalam sistem yang kompleks dengan perkembangan sosial dan budaya telah menyebabkan reaksi berantai yang saling mendorong maju.

Namun, banyak ilmuwan sepakat, revolusi sains (Principia Mathematica-nya Newton) abad ke-18, revolusi industri (diawali James Watt penemu mesin uap) abad ke-19, dan revolusi teknologi (dengan berbagai temuan baru) pada abad ke-20, adalah penyebab perubahan drastis kurva Maddison (terjadinya ketiga revolusi dalam sejarah ditandai tiga bulatan hitam dalam Tabel).

Hasil inovasi teknologi baru ini antara lain baterai listrik, telegraf, telepon, lampu Edison akhir abad ke-19, serta mobil, pesawat terbang, TV, komputer, dan material baru pada abad ke-20.

Revolusi teknologi yang berciri kecepatan tinggi dan ketepatan tinggi inilah yang mengefisienkan seluruh sistem ekonomi, sejak tahap input berupa pengadaan keahlian dan bahan baku, lalu tahap pemrosesan produk barang dan jasa, serta distribusi output-nya pada konsumen. Gerak orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk kepentingan perdagangan serta perpindahan uang mengalami kecepatan yang belum pernah dialami manusia. Lahirlah revolusi keempat, revolusi ekonomi, sambil revolusi teknologi terus berlangsung.

Kemiskinan

Selain kurva ekonomi itu, Maddison menghasilkan kurva kedua, yakni pertumbuhan penduduk dunia yang bentuknya menarik karena hampir identik dengan kurva pertama. Dengan menggunakan kurva yang sama (lihat Tabel), ternyata sepanjang 1.800 tahun jumlah penduduk dunia kurang dari 1.000 juta. Baru pada abad ke-19, kurva ini mulai melejit naik mencapai lebih dari 6.000 juta jiwa tahun 2000. Sesudah revolusi sains, industri, dan teknologi (iptek), ternyata jumlah penduduk dunia tumbuh secara fantastis.

Namun, dari 6.000 juta penduduk dunia, 85 persen adalah kontribusi dari penduduk miskin yang masyarakatnya—meminjam istilah Jeffrey Sachs—hanya menjadi technological adaptors (50 persen) dan technologically excluded (35 persen). Pertumbuhan penduduk masyarakat cerdas terkendali, sedangkan pertumbuhan penduduk yang tersisih karena penguasaan teknologi yang rendah sulit dikendalikan. Dari peta teknologi dunia (Sachs, 2002) terbukti di wilayah ini pula masyarakat miskin hidup berdesakan dalam kondisi kesehatan yang rendah.

Dengan informasi yang mengaitkan iptek, kemiskinan, kependudukan, dan ekonomi, kita bertanya bagaimana dengan bangsa Indonesia.

Sejarah kontemporer mengajarkan, kunci keberhasilan bangsa-bangsa Timur—India dan China—yang keduanya miskin, tegas memilih technology based development. Dengan usaha luar biasa dalam menguasai dan mengembangkan iptek, mereka berhasil menghapus ”kemiskinan absolut” dalam waktu singkat dalam jumlah tak terbayangkan. Sejak 1990, India membebaskan 200 juta rakyatnya dari kemiskinan, sedangkan China membebaskan 300 juta orang (Sachs, 2005)!

India mengembangkan teknologi elektronika-mikro, komputer dan komunikasi, yang lazim disebut teknologi informasi. Teknologi ini amat ampuh sehingga selama belasan tahun India tidak perlu membangun prasarana yang amat mahal pada awal pembangunan ekonominya. India mengekspor jasa (consulting) teknologi tinggi via satelit ke negara maju.

Dengan teknologi, India memindahkan banyak jasa keahlian profesional (di kantor, rumah sakit, sekolah, restoran, berbagai perusahaan) dari negara maju ke India, dengan waktu produksi yang sama (real time).

Sedangkan China selain mengutamakan iptek, mereka juga menciptakan konstruksi sosial baru yang mendukung percepatan penguasaan iptek dengan kekuatan hukum dan organisasi masyarakat. China menuntut keterbukaan iptek dalam setiap investasi asing untuk kepentingan alih teknologi (Shenkar). Partai politik dan Pemerintah China berperan besar dalam pembentukan budaya saintifik. Krisis keuangan global tentu berpengaruh pada kedua negara timur ini, tetapi peran teknologi, seperti filsafat Deng Xiao Ping pada awal tulisan ini tidak akan berubah banyak.

Belajar dari Barat, India dan China mengutamakan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Indonesia dapat membuat terobosan baru, memanfaatkan momentum politik tahun ini.

Ary Mochtar Pedju Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); Anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia; Ketua Dewan Encona Inti Industri; Alumnus ITB dan MIT AS

Mitos Neososialisme


Jumat, 27 Februari 2009 | 00:35 WIB

Mario Rustan

Dua pekan lalu halaman Opini ini memuat tiga artikel mengenai neososialisme. Ada tiga sebab mengapa neososialisme, paling tidak menurut interpretasi para penulis itu, cukup populer di Kompas.

Penyebab pertama adalah populernya ideologi kiri populis dalam politik Amerika Latin (kawasan yang menarik bagi kaum kiri Katolik di Indonesia), terutama pemerintahan Venezuela, Brasil, dan Bolivia. Alasan kedua adalah kaitan historis antara sosialisme dan pemikiran Katolik di Indonesia. Alasan ketiga, dan ini cukup mengkhawatirkan, adalah logika ”musuh dari musuhku adalah kawanku”.

Ketidaksukaan sebagian intelektual kiri Indonesia kepada Barat dan kaum menengah ke atas Indonesia berakibat pada kekaguman mereka kepada rezim otoriter di Rusia, China, Iran, dan Amerika Latin. Jelas hanya Venezuela dan Bolivia yang bisa disebut sebagai negara penganut neososialisme.

Keadaan sebenarnya

Namun, istilah itu sendiri salah. Baik Venezuela maupun Bolivia secara resmi menyebut ideologi mereka: Bolivarianisme. Istilah itu mengacu pada pejuang kemerdekaan Amerika Selatan Simon Bolivar, yang praktis berarti ”kontrol kuat negara yang dianggap mewakili kaum pribumi”. Baik Hugo Chavez maupun Evo Morales gemar menebar cerita bahwa masyarakat mereka dikepung kekuatan jahat pimpinan Amerika dan pemodal kulit putih yang tak rela kekuasaannya diambil alih. Di permukaan, kebijakan mereka sangat menguntungkan kaum miskin dan mereka dekat dengan rakyat.

Keadaan sebenarnya di sana—paling tidak di Venezuela— berbeda. Hugo Chavez adalah seorang diktator yang ingin menjadi presiden seumur hidup. Pasukan pendukungnya dan militer gemar mengintimidasi dan menyerang media yang dianggap melawan. Banyak program pembangunan berupa janji belaka. Kemiskinan dan pengangguran merajalela di Venezuela. Chavez hanya bisa menyalahkan Amerika dan menghabiskan anggaran belanja militer.

Istilah neososialisme muncul di Perancis dan Belgia saat Depresi Besar mulai. Pendukung demokrasi sejati tak akan setuju dengan neososialisme ala Marcel Deat, yang mendukung kediktatoran. Marcel Deat dan kawan-kawan diusir dari forum Internasional Kedua Kaum Komunis karena dukungan mereka pada fasisme. Dukungan neososialisme pada fasisisme dibuktikan saat Perancis diduduki selama Perang Dunia II. Hasilnya, setelah 1945 paham ini dianggap jahat, bahkan oleh sosialis Perancis.

Jalan ketiga

Bagaimana dengan neososialisme yang lain, atau Jalan Ketiga, yang sudah diusulkan pastor-pastor di Indonesia sejak 1980-an? Newsweek bulan ini mengumumkan ”Kita semua sekarang adalah sosialis” dalam menanggapi resesi dunia. Campur tangan pemerintah dalam ekonomi dan perdagangan kembali berjalan di Amerika dan Australia, negara yang beberapa tahun lalu sering disebut sebagai pentolan neoliberalisme. Jalan Ketiga, yang dulu dijalankan oleh Bill Clinton dan Tony Blair, menghendaki kerja sama, bukan pengunduran diri dan permusuhan.

Daripada jauh-jauh menengok ke belahan dunia lain, tengoklah kawasan kita, Asia. Apabila kita selalu bertanya mengapa Vietnam sudah mendekati pencapaian Indonesia, mengapa Thailand dan Malaysia tetap dikenal walau politiknya sedang kacau, dan orang Indonesia senang ke Singapura, jawabannya jelas. Mereka mementingkan Asia lebih dulu, Pasifik berikutnya, kawasan-kawasan lain setelah itu.

Apa pun bentuk pemerintahan dan ideologi mereka, yang penting ekonomi harus selalu berjalan dan informasi tentang tetangga harus selalu aktual. Setelah melihat hasilnya, apakah kita tidak merasa ketinggalan zaman bila masih memikirkan ”neososialisme” gaya Venezuela, apalagi ada pilihan Jalan Ketiga?

MARIO RUSTAN Sarjana Ilmu Politik

Senin, 23 Februari 2009

Cadangan Devisa Indonesia Naik

Bisa Terhindar dari Aksi Spekulasi
Senin, 23 Februari 2009 | 00:51 WIB 

Phuket, Kompas - Indonesia mendapatkan tambahan cadangan devisa siaga dari kesepakatan forum ASEAN plus Tiga Negara, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan. Tambahan itu diperoleh dari dana cadangan ASEAN+3 yang nilainya naik dari 84 miliar dollar AS jadi 120 miliar dollar AS.

Tambahan tersebut akan memperkuat cadangan devisa Indonesia yang saat ini berjumlah 51 miliar dollar AS atau cukup untuk membiayai impor lebih dari 3-5 bulan.

Adanya tambahan cadangan devisa itu juga penting untuk melindungi nilai mata tukar rupiah dari aksi spekulasi.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal tersebut seusai menghadiri Pertemuan Menkeu ASEAN+3 atau AFMM ASEAN+3 dalam kerangka Ciang Mai Initiative (CMI) di Phuket, Thailand, Minggu (22/2).

Menurut Menkeu Thailand sekaligus Pemimpin AFMM ASEAN+3 Korn Chatikavanij, dengan adanya peningkatan cadangan devisa bersama itu, sepuluh negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, wajib memberikan kontribusi berupa pengalokasian cadangan devisa senilai 20 persen dari total dana cadangan bersama atau 24 miliar dollar AS.

Adapun tiga negara lainnya, China, Korea Selatan, dan Jepang, akan menutup 80 persen sisanya, yakni 96 miliar dollar AS.

Kewajiban Indonesia

Dengan perhitungan tersebut, Indonesia wajib memberikan kontribusi senilai 4,752 miliar dollar AS atau naik dari kewajiban sebelumnya, yakni sekitar 3,326 miliar dollar AS.

Berdasarkan kesepakatan seluruh menteri keuangan ASEAN+3, jumlah tambahan cadangan devisa yang bisa diminta kepada Koordinator ASEAN+3 oleh masing-masing negara mencapai tiga kali kontribusinya.

Dengan kontribusi 4,752 miliar dollar AS itu, Indonesia berhak meminjam cadangan devisa tambahan kepada ASEAN+3 maksimal 13,68 miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat dibanding sebelumnya, yakni 9,979 miliar dollar AS.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu mengatakan, cadangan devisa tersebut sudah bisa dipakai mulai hari Minggu jika ada negara yang membutuhkan.

”Ini adalah cadangan devisa untuk jaga-jaga. Uang kontribusinya sendiri tidak langsung diserahkan, tetapi tetap di negara masing-masing. Nanti, kalau ada negara yang membutuhkan, tinggal meminta ke koordinator ASEAN+3, yang akan menghitung kelayakannya,” ujar Anggito.

Dari cadangan devisa bersama 120 miliar dollar AS itu, setiap negara anggota diperkenankan meminta tambahan devisa maksimal 20 persen dari jumlah kebutuhan tanpa harus diawasi Dana Moneter Internasional (IMF).

Misalnya, jika cadangan devisa Indonesia turun 10 miliar dollar AS, pemerintah bisa meminta tambahan cadangan devisa ke ASEAN+3 maksimal 20 persen atau 2 miliar dollar AS tanpa pengawasan IMF.

Adapun kebutuhan 8 miliar dollar AS lagi, bisa meminta kepada ASEAN+3, tetapi syaratnya harus diawasi IMF. (Orin Basuki)

 

Rabu, 18 Februari 2009

Kapan Ekonomi Dunia Pulih?


Oleh: Umar Juoro


Perkiraan terhadap perkembangan perekonomian dunia berubah-ubah karena situasi yang tidak pasti. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perekonomian dunia hanya akan tumbuh 0,5 persen pada 2009. Perkiraan ini jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya yang dua persen.

Para ekonom juga mengubah perkiraannya bahwa perekonomian Amerika Serikat (AS) akan pulih pada paruh pertama 2009. Mereka berpendapat, resesi di AS dapat berkepanjangan hingga sekitar tiga tahun.Bahkan, sejumlah ekonom memperkirakan perekonomian AS bakal mengalami permasalahan, seperti yang pernah dialami Jepang pada tahun 1980-an. Krisis di Jepang itu dikenal sebagai 'dekade yang hilang'.

Stimulus yang telah disetujui Kongres AS masih belum secara perinci dijelaskan, apalagi dilaksanakan. Perbankan di AS dan negara maju masih enggan untuk menyalurkan kredit. Sedangkan, permasalahan aset beracunnya (toxic assets) masih susah untuk diidentifikasi, apalagi diselesaikan.Implikasi bagi perekonomian Indonesia adalah IMF menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi dari 4,5 persen menjadi 3,5 peren. Itu pun dengan catatan program stimulasi dapat berjalan dan perekonomian dunia tidak memburuk.

Namun, pemerintah masih mengharapkan ekonomi tumbuh 4,5 persen dengan stimulus sekitar Rp 71 triliun atau defisit 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Akan tetapi, stimulus itu pun tidak begitu jelas pelaksanaannya. DPR masih membahas yang belum tentu dalam waktu dekat akan disetujui.Penurunan tarif pajak badan ataupun perorangan, yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari UU Pajak, baru dimasukkan sebagai bagian dari stimulus. Proyek infrastruktur yang selama ini praktis tidak berjalan juga menjadi bagian penting dari stimulus.

PPn dan bea masuk yang ditanggung pemerintah untuk industri dan perusahaan tertentu adalah bagian lain dari stimulus. Selanjutnya, program yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan juga dimasukkan di dalamnya.Sayang sekali, program bantuan langsung tunai (BLT) dihentikan pada Februari ini. Padahal, program ini, sekali pun banyak kontroversinya, dapat membantu langsung masyarakat miskin untuk meningkatkan daya beli mereka.

Semestinya, pemerintah dan DPR memperbesar program ini dengan persyaratan yang dikaitkan dengan program tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok.Jika partai politik menganggap program ini hanya menguntungkan mereka yang berkuasa, bisa saja partai politik ikut aktif mendorong dan mengampanyekannya sebagai program mereka. Atau, bisa saja dengan nama lain. Yang penting adalah membantu masyarakat miskin.

Begitu pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di tingkat kecamatan di beberapa daerah yang tidak mendapat dukungan pemerintah daerah karena dianggap menguntungkan secara politik partai yang berkuasa. Padahal, program ini sangat membantu masyarakat setempat dalam memberikan pekerjaan serta untuk membangun daerahnya. Pada saat menghadapi krisis dunia seperti sekarang ini, semestinya kekuatan politik saling mendukung untuk mengatasi dampak krisis pada masyarakat.

Sebagaimana telah kita ketahui, krisis ekonomi global sangat memukul ekspor dan menurunkan aliran dana dari luar negeri dalam bentuk investasi. Karena itu, kita sangat bergantung pada perekonomian domestik yang merupakan 70 persen dari PDB untuk menggerakkan perekonomian dan tidak jatuh pada resesi.

Untuk mendorong perekonomian domestik, perbankan yang sangat selektif dalam menyalurkan kredit mesti difasilitasi agar dapat berperan lebih besar. Sekalipun BI telah menurunkan BI Rate sebagai bunga acuan, penurunan bunga pinjaman berjalan lebih lambat. Aliran kredit perbankan sangat penting dalam menggerakkan perekonomian domestik.

Dengan melemahnya rupiah, harga barang impor menjadi semakin mahal. Tapi, ini membuka kesempatan bagi pengembangan barang substitusi impor yang diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, penurunan impor tidak menurunkan kegiatan ekonomi, tetapi justru memberikan peluang bagi pengembangan produk lokal. Kita berharap, begitu perekonomian dunia pulih, produk Indonesia dapat lebih kompetitif di pasar internasional.

Jelas bahwa pemulihan ekonomi global, terutama AS, tidak akan berjalan dalam waktu dekat. Keadaan ini harus diantisipasi dengan pengembangan ekonomi dalam negeri. Stimulasi ekonomi dari sisi fiskal dan penurunan bunga dari sisi moneter diharapkan dapat bersinergi mendorong perkembangan ekonomi domestik.

Tentu saja, stimulasi harus tepat sasaran dan dalam jumlah yang besar serta diupayakan langsung mengena pada perusahaan dan masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah. Risiko nilai tukar harus diatasi dengan memperkuat cadangan devisa. Karena pemasukan dari ekspor cenderung menurun, kita harus melakukan pinjaman secara bilateral dan multilateral, antara lain melalui Inistiatif Chiang Mai yang masih tertunda.

Keadaan krisis global ini harus kita manfaatkan untuk membangun perekonomian dalam negeri yang lebih kuat, terutama di mana kita mempunyai keunggulan, seperti bidang pangan dan energi. Begitu pula sektor yang padat karya harus didorong pengembangannya.

Selasa, 17 Februari 2009

Stimulus Tak Bisa Instan

Washington, Minggu - Para pejabat memperingatkan kepada warga AS, Minggu (15/2), agar tidak mengharapkan keajaiban instan dari paket stimulus senilai 787 miliar dollar AS. Namun, dipastikan bahwa paket tersebut akan membantu rakyat.

Paket tersebut akan ditandatangani Presiden Barack Obama Selasa ini di Denver. RUU itu merupakan sebuah kemenangan legislatif pada awal kepemimpinan Obama.

”Ada pertanda aktivitas akan kembali pulih dengan cepat,” ujar David Axelrod, penasihat senior di Gedung Putih, pada acara Fox News Sunday. ”Akan tetapi, diperlukan waktu agar aktivitas itu muncul dalam bentuk angka- angka statistik. Presiden menyatakan bahwa tampaknya keadaan akan bertambah buruk sebelum akhirnya membaik kembali,” ujarnya.

Juru bicara Gedung Putih Robert Gibbs juga mengungkapkan bahasa yang hampir sama ketika tampil di acara ”Face the Nation” televisi CBS. ”Tidak diragukan lagi kita telah mengalami perekonomian yang memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Percepatan pengurangan tenaga kerja mungkin berarti bahwa perekonomian kita akan memburuk sebelum akhirnya membaik kembali,” katanya.

Obama sendiri pekan lalu menyatakan, jika dia gagal memperbaiki perekonomian, dia akan berhenti pada tahun 2012 saat pemilihan presiden AS. Gedung Putih berharap paket tersebut dapat menciptakan 3,5 juta lapangan kerja.

Mark Zandi, ekonom pada Moody’s Economy.com, mengatakan, penciptaan lapangan kerja sebanyak itu merupakan hal yang sangat ambisius.

”Menurut perkiraan saya, stimulus itu akan menciptakan 2 juta hingga 2,5 juta lapangan kerja baru. Jika diterjemahkan pada tingkat pengangguran, tingkat pengangguran menjadi sekitar 1,5 persen,” ujarnya lagi. (Reuters/joe)

Stop Pemekaran

Wahyudi Kumorotomo

Setelah isu kebijakan pemekaran daerah memakan korban meninggalnya Ketua DPRD Sumut, wacana yang berkembang adalah menstop pemekaran.

Bisakah ini dilakukan melihat masih banyaknya tuntutan dari daerah?

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah berkali- kali menyerukan moratorium pemekaran. Juga sudah ada PP Nomor 78 Tahun 2007 menggantikan PP Nomor 129 Tahun 2000 yang dianggap kurang ampuh mencegah tuntutan pemekaran.

Namun, pemecahan wilayah administratif terus berlanjut. Indonesia kini terbagi dalam 33 provinsi dan 491 kabupaten. Daerah amat banyak, sulit dikendalikan secara administratif, sedangkan pelayanan publik justru menurun.

Dalam hal penduduk, provinsi terkecil hanya dihuni kurang dari 800.000 jiwa (Gorontalo), yang terbesar dihuni 35 juta jiwa (Jawa Timur). Untuk kabupaten/kota, jumlahnya antara 11.800 jiwa (Kabupaten Supiori) dan 4,1 juta jiwa (Kota Bandung).

Secara teoretis, pemekaran sebenarnya merupakan akibat logis desentralisasi. Masalahnya, pemekaran di Indonesia kini sudah kurang rasional dan landasan argumentasinya lemah (Ferrazzi, 2008). Pemekaran tidak lagi mengedepankan tujuan desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, menciptakan pemerintah daerah yang responsif, dan meningkatkan kemakmuran di daerah.

Usul pemekaran biasanya karena faktor sejarah, adat, bahasa, etnis, atau merasa tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitar. Lalu elite politik, calon bupati, atau anggota DPRD mendorong usul itu dengan menebar janji. Pemekaran juga didorong jajaran pemda karena peluang jabatan baru. Mereka mendapat manfaat dari kenaikan eselon atau adanya proyek gedung baru.

Sebuah kabupaten pemekaran di Maluku didapati tim anggaran berada dalam posisi sulit karena proyek-proyek gedung sudah seizin dinas pekerjaan umum dan bupati baru untuk dikerjakan sebelum APBD disahkan. Jika pemda tak ingin malu karena utangnya kepada rekanan tidak terbayar, tim harus menyetujui alokasi dana untuk proyek itu.

Ketika muncul usulan pemekaran daerah, elite politik di pusat cenderung menyetujui tanpa pertimbangan matang. Dari 17 paket RUU pembentukan yang diusulkan DPR tahun lalu, sebenarnya hanya tiga yang layak (Kompas, 23/12/2008). Berbeda dengan RUU Antipornografi atau RUU Badan Hukum Pendidikan terkait pendidikan tinggi yang disorot media dan LSM, pembahasan RUU pemekaran hampir selalu mulus. Dapat ditambahkan, uang sidang dan honor bagi anggota DPR untuk membahas semua RUU itu tetap sama.

Instrumen disinsentif

Upaya menstop pemekaran akan ditentang elite di daerah atau pihak-pihak yang mengedepankan primordialisme. Namun, melihat konflik di Sumut, Sumsel, Sulsel, Papua, dan semua daerah yang hendak dimekarkan, tidak ada kata lain kecuali menghentikannya. Perlu pemikiran jernih para anggota DPR, Departemen Dalam Negeri, dan DPOD agar otonomi daerah benar-benar berpihak pada kemakmuran rakyat daerah, bukan segelintir elite politik.

Syarat-syarat yang disebutkan PP No 78/2007 sebenarnya sudah ketat. Daerah yang dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus punya 5 kabupaten/kota, kabupaten punya 5 kecamatan, dan kota punya 4 kecamatan. Usulan mesti didukung dua pertiga dari seluruh wilayah desa atau kelurahan.

Sebaliknya, peraturan ini mendorong penggabungan daerah jika terjadi penurunan kualitas pelayanan. Maka, kini tinggal niat pemerintah untuk menegakkan peraturan ini. Syarat minimum jumlah penduduk harus dipertimbangkan bagi setiap usulan pemekaran yang masuk DPOD. Yang jauh lebih penting adalah agar anggota DPR jangan justru ikut menyiasati atau menerobos aturan yang telah disepakati.

Instrumen lain yang cukup mudah adalah dana perimbangan. Selama ini, DAU selalu diberikan dengan proporsi berdasarkan status administratif. Selain tidak bisa mengatasi kesenjangan horizontal antardaerah, alokasi semacam ini akan terus mendorong pemekaran. Jika DAU diberikan secara netral, daerah pemekaran akan mendapat jumlah dana yang dibagi dari daerah induknya, para pejabat dan elite lokal akan berpikir ulang untuk memekarkan diri.

Upaya yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pendidikan politik di daerah. Warga harus menahan diri agar tidak mengedepankan primordialisme, seperti etnisitas, sejarah, atau sentimen sempit. Sebaliknya, warga perlu didorong untuk mementingkan hal-hal substansial, seperti tingkat kemakmuran yang merata dan pelayanan publik yang efisien. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dimobilisasi elite politik daerah untuk aneka kepentingan sempit. Inilah pendidikan demokrasi yang sesungguhnya.

Wahyudi Kumorotomo Dosen Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM

Senin, 16 Februari 2009

Mengapa Rupiah Tak Kunjung Menguat?




Senin, 16 Februari 2009 | 00:13 WIB

A TONY PRASETIANTONO

Kurs rupiah, pekan lalu, terus melemah ke level Rp 12.000 per dollar AS. Meski fenomena pelemahan kurs ini juga praktis terjadi pada hampir semua mata uang dunia terhadap dollar AS, tetap saja ini menimbulkan kekhawatiran. Kita masih dihinggapi trauma pelemahan rupiah sebagaimana terjadi pada krisis 1998.

Setidaknya bisa dipetakan adanya lima faktor penyebabnya. Pertama, dalam setahun terakhir terjadi penurunan hebat arus modal masuk (capital inflow) dari negara-negara maju ke negara-negara emerging markets di Asia. Pada Januari-Agustus 2008, modal masuk terpangkas 40 persen, dari 100 miliar dollar AS menjadi 60 miliar dollar AS (World Bank, Global Economic Prospects 2009: Commodities at the Crossroads).

Modal asing yang masuk dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni penerbitan obligasi, penjualan saham (equity issuance), dan pinjaman perbankan. Ini belum termasuk penurunan modal asing langsung.

Situasi kian memburuk sejak 15 September 2008 ketika Lehman Brothers bangkrut. Investor di New York, Amerika Serikat, pun kemudian melakukan konsolidasi. Mereka menarik dananya dari seluruh dunia untuk menata ulang portofolionya.

Kini emerging markets bahkan diperkirakan mengalami defisit aliran modal, berarti lebih banyak modal keluar daripada modal masuk. Dalam kasus Indonesia, hal itu dapat dideteksi dari merosotnya cadangan devisa dari level tertinggi 57 miliar (Juli 2008) menjadi 51 miliar dollar AS. Repatriasi modal menyebabkan naiknya permintaan terhadap dollar AS sehingga kurs dollar AS menguat. Inilah penjelasan, mengapa dollar AS justru menguat ketika perekonomian AS memburuk?

Kedua, surplus perdagangan Indonesia menurun tajam, dari 40 miliar dollar AS (2007 dan 2006) menjadi hanya 11 miliar dollar AS (2008). Surplus 2008 berasal dari ekspor 136 miliar dollar AS dikurangi impor 125 miliar dollar AS. Ekspor mulai melemah sejak Oktober 2008 ketika AS dan seluruh dunia sudah memasuki periode krisis. Hal ini juga diikuti oleh menurunnya impor, seiring dengan kian mahalnya dollar AS. Menipisnya surplus perdagangan menghilangkan peluang untuk menambah cadangan devisa.

Ketiga, euforia Barack Obama dan stimulus fiskal AS. Keputusan untuk menginjeksi stimulus fiskal 787 miliar dollar AS juga berkorelasi dengan kenaikan kurs dollar AS.

Keempat, sebelum 15 September 2008, banyak mata uang dunia cenderung terlalu mahal (overvalued) terhadap dollar AS. Akibatnya, neraca perdagangan tertekan hebat (defisit).

Indonesia kurang lebih punya masalah mirip. Karena kurs dollar AS terlalu murah (undervalued), impor melonjak sangat besar. Pada Juli 2008, impor kita mencapai rekor tertinggi 12,82 miliar dollar AS, padahal ekspor cuma 12,55 miliar dollar AS. Akibatnya, terjadi defisit perdagangan hampir 300 juta dollar AS. Saya menduga hal ini terjadi karena dollar AS undervalued, atau sebaliknya rupiah overvalued. Koreksi yang diperlukan adalah kombinasi antara dollar AS menguat dan rupiah melemah.

Kelima, Bank Indonesia menurunkan suku bunganya terlalu cepat. Kebijakan ini memang sangat diperlukan untuk memacu sektor riil. Namun, penurunan BI Rate yang terakhir dari 8,75 persen ke 8,25 persen justru dilakukan pada saat rupiah lemah, yakni Rp 11.700 per dollar AS. Saya rasa waktunya salah.

Masih bisa menguat

Rupiah saya yakini masih bisa menguat. Syarat utamanya, modal global yang kini sedang mudik ke New York harus kembali lagi ke sini. Pemilik dana sedang menimbang-nimbang, mau dikemanakan uangnya? Mereka pasti cenderung menghindari derivatif, dan mencari portofolio aman, misalnya obligasi pemerintah dan korporasi kredibel. Cepat atau lambat, dana-dana itu akan mengalir lagi ke emerging markets karena tetap paling prospektif.

Dalam berbagai versi proyeksi pertumbuhan ekonomi, Indonesia menempati urutan ketiga sesudah China dan India. Dalam versi Bank Dunia (2009), misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan 4,4 persen, atau di bawah China (7,5 persen) dan India (5,8 persen). Level ini masih di atas kompetitor terdekat kita dalam menarik modal global, yaitu Thailand (3,6 persen), Malaysia (3,7 persen), dan Filipina (3,0 persen).

Negara-negara emerging markets masih bisa tumbuh, meski melambat, karena kecilnya exposure pada produk surat berharga yang berbasis subprime mortgage. Sedangkan negara Asia yang banyak bermain derivatif semuanya terpukul dan mengalami kontraksi: Singapura dengan pertumbuhan ekonomi minus 2,2 persen, Hongkong (minus 1 persen), dan Korea Selatan (minus 1,7 persen).

Berdasarkan peta ini, Indonesia masih cukup prospektif menerima lagi aliran modal. Indonesia dapat meminimalkan krisis karena dua hal. Pertama, tidak terlibat derivatif terlalu dalam. Kedua, punya andalan komoditas primer. Meski harganya sempat terpukul, diyakini pada 2009 akan membaik, meski tidak setinggi 2008.

Ketika sebagian modal global kelak kembali mengalir ke sini, rupiah pun akan menguat. Setidaknya rupiah menjadi Rp 11.000 per dollar AS, atau bahkan lebih kuat lagi. Itu saya perkirakan bakal terjadi pada semester II nanti. A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Sabtu, 14 Februari 2009

Impor Pupuk Pilihan Akhir


Tiap Tahun Lebih dari 2,8 Juta Ton Urea Terbuang
Sabtu, 14 Februari 2009 | 01:43 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana pemerintah mengimpor pupuk jenis urea sebanyak 500.000 ton sebagai cadangan hendaknya menjadi pilihan akhir. Impor pupuk harus dilakukan setelah berbagai tindakan penghematan, peningkatan produksi, dan jaminan pasokan gas diupayakan secara maksimal.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia (DPI) Zaenal Soedjais, Jumat (13/2) di Jakarta. Menurut mantan Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) dan PT AAF ini, masalah pertama yang harus segera dituntaskan adalah penggunaan pupuk urea oleh petani yang berlebih.

”Berdasarkan berbagai studi, hanya sekitar 40 persen dari total pupuk yang terserap tanaman. Sebagian besar justru terbuang percuma,” tutur Zaenal yang sudah 22 tahun malang melintang sebagai pimpinan produsen pupuk BUMN.

Pupuk yang tidak terserap tanaman ini akan menyebabkan kerusakan sumber daya pertanian, mencemari air dan tanah, mengakibatkan nitrifikasi pada makanan yang berbahaya bagi kesehatan, dan menimbulkan evaporasi zat pengikat nitrogen ke udara. Begitu pula ancaman dari terlalu banyaknya penggunaan zat kimia yang tidak terurai.

Pada 2008, pemerintah mengalokasikan urea bersubsidi untuk sektor tanaman pangan, perkebunan skala kecil, dan tambak 4,8 juta ton. Dengan menghitung 60 persen dari jumlah pupuk yang tidak terserap tanaman, ada lebih dari 2,8 juta ton urea tiap tahun yang terbuang.

Padahal, tahun ini total anggaran subsidi pupuk Rp 17 triliun. Dengan mempertimbangkan penghematan penggunaan urea, akan lebih banyak anggaran negara yang bisa dihemat.

Departemen Pertanian merekomendasikan penggunaan urea untuk budidaya padi rata-rata 250-300 kilogram per hektar.

Persoalan kedua yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas. Caranya, harus memaksimalkan produksi, melakukan antisipasi kerusakan dengan perawatan dini, dan meningkatkan produksi secara optimal.

Persoalan ketiga, pemerintah harus bisa menjamin pasokan gas untuk industri pupuk. ”Apa benar gas itu sedemikian sulit dialirkan ke dalam negeri untuk menyuplai kebutuhan industri pupuk,” katanya.

”Janganlah impor ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman pangan, karena petani kita yang brand minded belum tentu mau pakai pupuk urea impor,” ujar Zaenal.

Selain itu, ada aspek distribusi yang harus dibenahi. Lihat saja kapal-kapal pengangkut pupuk milik Pusri yang usianya rata-rata 25-35 tahun.

Pupuk organik

Direktur Pemasaran PT SMS Indoputra—produsen pupuk organik merek Agrobost dan Golden Harvest—Amal Alghozali menyayangkan sikap pemerintah yang hendak impor urea di tengah kegairahan industri pupuk organik dalam negeri.

”Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengampanyekan gerakan penggunaan pupuk organik, seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mencanangkan gerakan revitalisasi pertanian,” katanya.

Menurut Amal, sekarang ini petani sedang ”demam” pupuk organik. Jadi tidak sulit mengubah cara pandang petani dari biasa menggunakan pupuk kimia ke organik.

Asal ada semacam gerakan dan petunjuk pelaksanaan yang jelas di setiap departemen dan dinas teknis untuk mendorong penggunaan pupuk organik. (MAS)

Kamis, 12 Februari 2009

Republik Birokrasi


Kamis, 12 Februari 2009 | 01:01 WIB

Oleh Sri Palupi

Pemilu sudah di ambang pintu. Beragam iklan politik kian mendominasi ruang publik.

Di tengah maraknya tebar pesona para elite, kita patut bertanya tentang apa makna pemilu bagi rakyat kebanyakan jika pemerintahan Republik tak lagi dijalankan. Hingga hari ini, belum ada bukti meyakinkan, negeri ini sungguh berpemerintahan republik, seperti digariskan UUD ’45. Yang terjadi, kita kian terperangkap dalam sebuah republik birokrasi.

Urusan elite

Republik, asal katanya adalah res publica berarti ”urusan publik”. Negeri berpemerintahan republik, dengan demikian, menjadikan kepentingan publik sebagai tujuan dan dasar adanya. Namun, yang terjadi, sasaran kebijakan bukan kepentingan publik, tetapi kepentingan elite. Urusan publik diselewengkan menjadi urusan kaum elite dan pejabat publik. Buktinya bisa ditemukan dalam sekian banyak produk undang- undang dan kebijakan pemerintah.

Di tingkat pusat, dari sekian banyak undang-undang yang dihasilkan pemerintahan selama ini, tidak sampai 10 persen bicara tentang pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Lebih dari 90 persen produk undang- undang berbicara tentang politik dan pemekaran daerah. Ujung- ujungnya adalah kepentingan elite politik.

Hal senada terjadi di daerah. Di NTT, misalnya, kajian Perkumpulan Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR) tentang kebijakan publik menemukan, pada tahun 1999-2005 ada 59 perda yang dihasilkan Pemerintah Provinsi NTT. Dari jumlah perda itu, hanya empat perda (6,8 persen) yang berbicara tentang pelayanan publik. Mayoritas (74,6 persen) perda mengatur retribusi dan 18,6 persen lainnya berbicara tentang pemutihan aset. Bukan hanya NTT, hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Ribuan perda dari berbagai daerah yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri mengindikasikan, mayoritas kebijakan yang dibuat pemerintah daerah kehilangan status sebagai kebijakan publik.

Republik birokrasi

Peraturan dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan para elite itu akhirnya melahirkan dan merawat birokrat, pejabat, dan wakil rakyat yang menjadikan birokrasi sekadar alat untuk melayani kepentingan sendiri. Ini bisa dinilai, di antaranya dari tingginya angka korupsi dan alokasi anggaran yang tidak berpihak pada kepentingan publik.

Di tingkat pusat maupun daerah, mayoritas anggaran dialokasikan untuk kepentingan birokrasi. Meski otonomi daerah sudah berlangsung hampir 10 tahun, tingginya alokasi belanja pemerintah pusat yang hampir mencapai 70 persen dari APBN menunjukkan masih rendahnya komitmen pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah. Meski desentralisasi sudah dijalankan, alokasi anggaran tetap berstruktur piramida terbalik, di mana porsi anggaran terbesar ada pada birokrasi pemerintah pusat.

Padahal, otonomi daerah dibuat dengan ide dasar mendekatkan negara pada masyarakat lokal, di antaranya melalui perencanaan partisipatif dan perbaikan pelayanan publik, yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Namun, praktik otonomi daerah sejak 1999 masih jauh dari harapan. Bukan kesejahteraan rakyat yang dihasilkan, tetapi ironi desentralisasi. Anggaran daerah tidak dialokasikan untuk kepentingan masyarakat, tetapi sebagian besar dihabiskan oleh birokrat dan elite daerah dalam bentuk gaji, insentif, dan honorarium.

Hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tahun 2007 di 27 daerah menunjukkan, anggaran daerah sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, mayoritas untuk belanja pegawai. Di Kabupaten Lampung Selatan, misalnya, alokasi dana desa (ADD) di satu desa hanya berkisar Rp 29 juta per tahun, tetapi uang tunjangan rapat bagi seorang pejabat bisa mencapai Rp 16 juta per bulan.

Di kabupaten yang sama, anggaran untuk pendidikan seolah 30 persen dari total APBD. Namun, setelah ditelusuri, hanya 3 persen anggaran daerah yang benar-benar dialokasikan untuk pendidikan. Sebab, dari total anggaran pendidikan itu, sebagian besar (88 persen) dialokasikan untuk belanja pegawai.

Hasil audit BPK di berbagai daerah menunjukkan, banyak cara dipakai pejabat dan elite daerah untuk menjadikan APBD sebagai sarana memperkaya diri dan orang-orang terdekat. Bahkan, di daerah miskin, bupati tidak malu menaiki mobil dinas senilai Rp 1 miliar dan mendiami rumah pribadi senilai Rp 2 miliar di tengah situasi masyarakat yang sarat dengan busung lapar. Belum lagi rumah dinas pejabat dan anggota DPRD serta kantor bupati yang dibangun dengan biaya miliaran rupiah, tetapi kemudian ditelantarkan.

Bagaimana mungkin kita bicara penghapusan kemiskinan bila biaya birokrasi demikian tinggi. Sulit menyebut negeri ini republik jika anggaran untuk kepentingan publik dikalahkan oleh kepentingan birokrasi. Yang disebut republik sebenarnya tidak lebih dari birokrasi yang melayani kepentingan birokrat dan pejabat. Bukan lagi republik yang menjalankan amanat kesejahteraan rakyat.

Calon anggota legislatif

Momen pemilu bagi komunitas-komunitas warga yang belum mengalami dampak positif desentralisasi adalah momen menanam harapan. Semoga dari 11.600 caleg DPR, 112.000 caleg DPRD provinsi, dan 1,5 juta caleg DPRD kabupaten/kota akan lahir para wakil rakyat yang memiliki akuntabilitas tinggi di hadapan rakyat pemilihnya. Semoga pemilu menghasilkan para wakil rakyat yang sungguh punya komitmen untuk mereformasi birokrasi dan mengembalikan anggaran demi kepentingan rakyat, bukan untuk menambah kekayaan birokrat dan pejabat.

Reformasi birokrasi seharusnya menjadi bagian agenda desentralisasi. Sebab, buruknya birokrasi merupakan salah satu problem terbesar yang dihadapi negeri ini. Kini, birokrasi bukan lagi alat untuk melayani masyarakat, tetapi telah menjadi tujuan pada dirinya. Buruknya birokrasi yang ditandai dengan tingginya tingkat korupsi dan inefisiensi kian menjadi beban dalam proses desentralisasi. Sebab, birokrasi yang korup dan inefisien itu justru menjadi penghambat dan sumber masalah bagi berkembangnya demokrasi di daerah.

Ide dasar otonomi daerah, sekali lagi, adalah mendekatkan negara pada masyarakat lokal. Upaya mengembalikan otonomi daerah pada ide dasarnya ini menuntut model birokrasi yang lebih dari sekadar mesin. Yang dibutuhkan bukan birokrasi yang digerakkan peraturan dan dikendalikan oleh birokrat dan pejabat, tetapi birokrasi yang dikendalikan rakyat dan digerakkan oleh misi memberdayakan masyarakat. Sebab, tidak akan ada otonomi daerah tanpa otonomi masyarakat.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

"Adios" Kapitalisme


Kamis, 12 Februari 2009 | 00:59 WIB

Oleh Robert Bala

Bolivia kembali menjadi perhatian dunia. Kemenangan referendum 25 Januari 2009 itu mencengangkan.

Meski ada penolakan di beberapa provinsi, seperti di Media Luna dan Santa Cruz, hal itu tidak berarti karena ditutup gaung setuju yang mencapai 65 persen.

Bukan hanya itu. Kemenangan juga identik dengan masyarakat miskin di pedesaan. Meski di ibu kota negara, La Paz, keberhasilan mencapai 74 persen, bila dihitung keseluruhan, daerah perkotaan hanya mencapai 52 persen. Di pedesaan justru mencapai 82 persen. Makna apa yang bisa dikais di baliknya?

Terperangkap

Keberhasilan referendum di negara berpenduduk 10 juta orang itu bukan sebuah kebetulan. Sebuah proses panjang telah dilewati negeri yang mayoritas rakyatnya keturunan Indian suku Aymara, Quechua, dan Guaraní. Sejak kemerdekaan tahun 1825, proses otoderminasi terus digulirkan dan coba dijalankan dan nyaris membawa hasil.

Pada tahun 1952, pemerintah melakukan reforma agraria dan nasionalisasi perusahaan pertambangan. Hasilnya mengecewakan. Para tuan tanah (latifundos) terlalu kuat untuk ditaklukkan. Nasionalisasi juga kandas. Upaya ”menyenangkan” sindikat dengan meluaskan izin penambangan berakibat pada sandaran ekonomi pada ekspor semata. Negara terlilit superinflasi, mencapai 2.400 persen saat harga tambang dunia anjlok.

Keadaan itu mendorong Presiden Victor Paz Estenssoro (1985-1992) dan Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada Bustamente (1993-1997) untuk berjuang. Privatisasi perusahaan negara menjadi pilihan. Semboyan Ronald Reagan, ”negara bukan bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah”, mendorong dijualnya perusahaan minyak Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos kepada swasta.

Kekuatan diri

Semula, privatisasi itu kelihatan manis. Lebih lagi saat Bank Dunia dan Bank Inter-Americano de Desarrollo amat ”murah hati” membantu. Inflasi ditekan hingga 10 persen. Namun, Bolivia yang kaya sumber energi, hidrokarbon, dan energi listrik justru merasakan keanehan. Kapitalisme justru melahirkan kemiskinan, bukan kesejahteraan.

Kenyataan itu disadari Evo Morales. Perlahan tetapi pasti, ia membangun Gerakan Sosialisme (Movimiento al Socialismo). Bagi Morales, rakyat adalah pemilik hidupnya. Ia perlu sadar untuk membangun otonomi, bukannya menyerahkan nasib kepada orang, apalagi negara lain. Tanah sebagai salah satu sumber hidup dialokasikan untuk semua. Kepemilikan dibatasi maksimal 5.000 hektar. Ini disambut sí (ya) oleh 78,4 persen rakyat.

Tidak hanya itu. Kapitalisme buas yang mengakui doktrin laissez-faire ditolak secara aklamatif. Rakyat disadarkan, kebebasan tanpa batas adalah bagai menggali kubur untuk diri sendiri. Apalagi hal itu dijalankan dalam iklim spekulatif. Model ekonomi yang bersifat ”di atas kertas”, virtual, dan imaterial seperti ini, oleh Tom Wolfe dalam Hoguera de las Vanidades, 1987, ditakdirkan akan hancur. Rakyat diajak membangun kekuatan diri.

”Partisisapi”

Bolivia dapat menjadi acuan. Pertama, keberanian berpihak kepada rakyat. Evo Morales adalah contohnya. Ia tidak menyandarkan nasib bangsa pada ketidakpastian ekonomi global (seperti harga minyak) untuk kemudian bersikap populis-oportunis. Ia tidak terperangkap janji manis privatisasi sebagai solusi. Ia tahu, privatisasi bermanfaat untuk mengumpulkan keuntungan, tetapi saat colapse (seperti Lehman Brothers) akan ”membagi” petaka kepada rakyat. Karena itu, pilihannya hanya ketegasan untuk menyatakan ”adios” (selamat jalan) pada taktik kapitalistik yang menjerat dan curang, jalan stik yang menjerat dan curang.

Politik kita masih setengah hati. Kita masih berada pada tataran senang atau tidak senang, benar atau salah. Perasaan tersinggung karena dikritik atau difitnah amat dominan. Upaya pembelaan diri dirasa begitu penting. Padahal, mereka yang bijak tahu, takaran dari segalanya adalah kebaikan umum. Rakyat tanpa dikampanyekan pun tahu, kesejahteraan yang telah dialami akan diapresiasi dalam pemilu.

Kedua, referendum Bolivia adalah bukti kesadaran yang membebaskan. Rakyat Indian tahu, menyerahkan nasib pada ”negosiasi” di parlemen adalah keniscayaan. Di sana logika ”partisisapi” yang tampak. Upaya meraih keuntungan (pribadi) amat jelas. Debat terjadi saat pembagian jarahan timpang. Tetapi, saat ”disepakati”, semua berjejer, bagai sapi ikut ke luar kandang setelah yang lain keluar.

Perubahan di negeri ini hanya terwujud ketika wakil rakyat lebih konsekuen kepada konstituen. Bekerja untuk rakyat tidak sekadar semboyan, tetapi juga falsafah hidup yang diyakini.

Sementara itu, rakyat yang sudah memilih tidak akan pasif. Ia mengawal dan meminta pertanggungjawaban terhadap janji kesejahteraan yang diucapkan.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid, Spanyol

Lirik "Neo-sosialisme"

Kamis, 12 Februari 2009 | 01:00 WIB

Oleh William Chang

Patukan Gerindra dan serudukan PDI-P membedah kesejahteraan nasib rakyat kecil. Seberapa jauh pemerintahan SBY-JK telah mengusahakan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia?

Menangkis kritik sosial kedua parpol, Jubir Kepresidenan Andi Mallarangeng mengungkapkan adanya peningkatan income per capita, penyediaan lowongan kerja, dan kesinambungan pembangunan di seluruh Tanah Air. Usahawan/wati dirangkul dalam proses mengatasi krisis keuangan global. Sambil menggandeng negara donor (Jepang, RRC, dan Korsel), pemerintah berusaha memperbaiki hidup sosial.

Kritik parpol itu menantang SBY-JK untuk lebih mewujudkan kemanusiaan holistik. Jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih lebar. Dalam negara yang sama muncul kepincangan sosial yang mencolok. Suasana sosial ini sudah terkondisi sejak seorang anak dalam rahim ibunya.

Ketidakadilan sosial, kemiskinan (diduga berkisar sekitar 30 juta jiwa), premanisme, dan tindak anarki merupakan akibat dari kelemahan sistem dan manajemen sosial negara kita. Sanggupkah dalam lima tahun aneka warisan koruptif rezim terdahulu dibersihkan? Akankah SBY-JK lebih berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu?

Cita-cita sosialisme

Kini sedang berlangsung kampanye-kampanye ”neo-sosialis” yang memimpikan kesamaan/kesetaraan, keadilan, persaudaraan, dan kebebasan dalam masyarakat. Kelahiran masyarakat ini merupakan kritik sosial atas ketidakadilan sosial dalam hidup harian. Terjadi kontrol umum atas sarana produksi, distribusi, dan perdagangan. Acap kali paham ini tertukar dengan komunisme atau pemikiran Marxis. Alur-alur pemikiran demokrasi sosial yang sesuai demokrasi liberal umumnya terlepas dari paham Marxis.

Sebagai tren politis sayap kanan di Perancis tahun 1930-an dan di Belgia, yang mencakup sejumlah kecenderungan revisionis dalam SFIO, neo-sosialisme ingin menggapai cita-cita klasik sosialisme melalui jalur pajak kekayaan dan peraturan industri yang berat. Belakangan, gerakan neo-konservatif ala media massa AS menganggap neo-sosialisme sebagai pandangan ekonomi dari kubu lawan politik di AS, Kanada, Australia, dan Eropa.

Seberapa jauh patukan Gerindra dan serudukan PDI-P bersenggolan dengan paham ”neo-sosialisme” di negara-negara modern itu? Sampai batas tertentu, nada-nada kampanye mulai membangkitkan pengharapan kaum kecil, seperti petani, nelayan, dan buruh kasar. Mereka diiming-imingi masa depan yang lebih mantap, baik, adil, dan sejahtera. Hanya, bagaimanakah mimpi ini akan terwujud jika keadilan tidak diprioritaskan dalam law enforcement? Mungkinkah kesejahteraan turun dari langit dan muncul dari ladang tanpa kerja keras dalam bidang hukum positif?

”Option for the poor”?

Sebagai antitesis ketidakadilan masa kolonial, para arsitek negara kita melestarikan falsafah hidup berkeadilan sosial (hukum, politik, ekonomi, dan kebudayaan). Keadilan multidimensi ini diperteguh interdependensi sosial. Ketidakadilan dalam salah satu bidang hidup melahirkan ketidakadilan dalam bidang lain.

Benarkah gerakan ”neo-sosialisme” memperjuangkan idealisme preferential option for the poor? Ini masih perlu dibuktikan. Yang jelas adalah tanggung jawab moral negara untuk mengobarkan semangat setia kawan dengan kaum telantar, tertindas, dan terpinggirkan. Bagaimanakah mereka bisa disiapkan menjadi agen pembangunan bangsa?

Gagasan keadilan sosial ala Pancasila mengacu virtue of solidarity sesuai pengalaman hidup bangsa kita. Dalam Preferential option for the poor, Donal Dorr mengemukakan beberapa langkah konkret untuk mengatasi ketidakadilan struktural.

Pertama, berusaha mencabut akar ketidakadilan struktural di tengah masyarakat; kedua, mencegah semua bentuk kerja sama yang melahirkan ketidakadilan struktural; ketiga, mengambil tindakan-tindakan nyata menghadapi ketidakadilan struktural; keempat, diadakan kontrol sosial atas kebijakan pemerintah agar tidak memperkuat ketidakadilan ini dalam semua bidang pelayanan sosial.

Tentu, lirik ”neo-sosialisme” perlu diimbangi konsistensi perjuangan untuk mewujudkan kemanusiaan yang sungguh adil dan beradab. Kelahiran komunitas-komunitas (Gemeinschaft) yang berkeadilan sosial merupakan kampanye elegan yang tidak saling menyalahkan dan menyikut, tetapi saling bergandeng tangan untuk memperbaiki negara yang belum di-manage dengan baik. Bagaimanakah mesin politik SBY-(JK) dapat menyiasati program perbaikan negara?

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Fenomena Neo-sosialisme


Kamis, 12 Februari 2009 | 00:59 WIB

Oleh IVAN A HADAR

Fenomena kebangkitan neo-sosialisme Amerika Latin menarik perhatian dunia, termasuk di Indonesia.

Umum disepakati, ada dua kecenderungan gerakan neo-sosialisme di Amerika Latin. Di satu sisi, (pemerintahan) yang dinilai ”pragmatis”, ”rasional”, dan ”modern” yang ada di Cile, Brasil, dan Uruguay berhadapan dengan kiri yang ”demagogis”, ”nasionalistis”, dan ”populistis” di Venezuela, Bolivia, Paraguay, dan Argentina.

Namun, ada yang mengatakan, ada kecenderungan yang lebih banyak, lebih rumit, karena bergantung pada lahan tempatnya bersemai. FR Gallegos (2008), misalnya, mengatakan, neo-sosialisme Amerika Latin diwarnai warisan kelembagaan neo-liberalisme, pengaruh dan posisi gerakan sosial, serta sejarah perkembangan parpol progresif pada tiap negara tempatnya bertumbuh kembang. Dengan demikian, ada lebih dari dua kecenderungan— meski semuanya memiliki kemauan yang sama—yaitu melawan agenda neo-liberal lewat penguatan negara dan perbaikan kondisi sosial.

Ada kesepakatan, sejak kemenangan Hugo Chavez di Venezuela (1998), dengan sedikit pengecualian (antara lain Meksiko dan Kolombia), terjadi apa yang disebut ”pergeseran ke kiri” di hampir semua negara Amerika Latin. Namun, ada referensi luas terkait apakah ”pergeseran ke kiri” ini cenderung seragam, atau ada dua jalan yang berbeda (kiri demokratis dan kanan populistis), atau lebih banyak lagi seperti diyakini Gallegos itu.

Yang pasti, semua ini menunjukkan betapa berbedanya Amerika Latin dibandingkan dengan referensi ”hitam putih” Eropa tahun 1970-an yang sekadar membagi kecenderungan progresif (sosialistis) atau reaksioner (sosial demokratis).

Teori Sosial Demokrasi (Sosdem) Amerika Latin sepenuhnya berbeda dengan Eropa. Kiri Amerika Latin secara tradisional bersifat revolusioner, antikapitalistis, dan (tak jarang) antidemokratis. Ketika berkuasa dan berkesempatan merekayasa aturan main, yang kemudian dilakukan sering sepenuhnya mengubah sistem kapitalistis dan demokrasi borjuasi. Kata kunci seperti Godesberg, New Labor, atau Pacto de Moncloa saat Sosdem menjadi lebih moderat dan membuka diri bagi kelas menengah jarang terucap di Amerika Latin.

Berjalan tanpa ideologi

Hal ini lebih dari sekadar pertanyaan politik dan akademis yang menarik. Kini, berbagai pemerintahan kiri di Amerika Latin tampaknya secara praksis berjalan tanpa ideologi dan tanpa teori. Praktik dan wacana politik tampaknya tidak berjalan seiring. Jurnal Nueva Sociedad Edisi Khusus 2008, mengajukan judul ”Seberapa Kiri, Kirinya Amerika Latin?”, memuat tulisan-tulisan yang mendiskusikan wacana dan langkah politik atau latar belakang sejarah dan (gerakan) sosial yang menyebabkan ”pergeseran ke kiri” di Latin Amerika. Ada hal-hal yang diperlukan guna memahami perubahan paradigma dan mencari jawaban atas pertanyaan: bisakah kelompok kiri Latin Amerika memenuhi janjinya; dan langgengkah hal itu?

Sepanjang 1980-an, Amerika Latin mengalami ”Dekade yang Hilang” dengan pertumbuhan ekonomi terendah, kemiskinan melejit, distribusi pendapatan terburuk di dunia. Setelah terjadi pertumbuhan ekonomi yang lumayan pada paruh pertama 1990-an di bawah ”arahan dan kendali” Bank Dunia dan IMF, kembali terjadi ”5 tahun yang hilang” pada paruh kedua 1990-an. Penyebabnya, penyesuaian struktural neo-liberal (Konsensus Washington) tidak mampu menepati janji perbaikan. Sebaliknya, Argentina sebagai negara ”pajangan” reformasi neo-liberal saat itu pada 2001 terjerembab krisis serius.

Akibatnya, pemilih memberi kartu merah kepada pemerintahan dan parpol tradisional dan memilih kandidat yang menyandang posisi kiri. Hugo Chavez, Evo Morales, dan Rafael Correa, misalnya, mewakili kecenderungan itu. Sementara di negara-negara dengan tradisi demokrasi, termasuk memiliki parpol kiri yang kuat (seperti di Brasil, Cile, Argentina), terjadi perubahan paradigma sistem politiknya.

Namun, yang tak kalah penting adalah seberapa besar ”ruang gerak” sebuah pemerintahan. Inilah salah satu alasan sikap pragmatis sebagian pemerintahan neo-sosialisme Amerika Latin. Penjelasan lain, de facto kelompok kiri Amerika Latin mengalami ”Sosial Demokratisasi” untuk memenangkan suara kelas menengah. Dengan demikian, ”pergeseran ke kiri” di Amerika Latin pada saat sama juga bisa berarti ”pergeseran ke kanan”, kelompok kirinya menjadi Sosdem.

Tiga kecenderungan

Meski demikian, secara rinci, ada beragam wacana dan praktik politik pemerintahan di Amerika Latin. Setidaknya ada tiga kecenderungan. Pertama, (kian) aktifnya negara dalam perekonomian. Kedua, negara memprioritaskan kebijakan sosial sebagai kebijakan pendistribusian kue pembangunan. Ketiga, terjadi diversifikasi hubungan politik dan ekonomi luar negeri. Sementara itu, tak satu pun yang mempertanyakan stabilitas moneter dan keuangan, aturan pasar bebas, dan integrasi pasar dunia. Semua elemen Konsensus Washington, akibat hiperinflasi sepanjang 1990-an, diserap menjadi bagian penting kebijakan pemerintah.

Selama 10 tahun ”pergeseran ke kiri” di Amerika Latin, telah timbul perbaikan sosial-ekonomi yang signifikan. Tingkat kemiskinan menurun dari 48 persen menjadi 36 persen total penduduk. Di Brasil, 11 juta keluarga mendapat tunjangan langsung berkat program Bolsa Famillia. Sebelumnya hanya 3,6 juta keluarga yang mendapat manfaat itu pada tahun 2003. Di banyak negara Amerika Latin terjadi perbaikan distribusi penghasilan rakyat.

Namun, semua ini bisa terjadi bersamaan dengan export booms sejak 2003 selama 10 tahun. Hal itu mempertebal kas negara, meski pada saat yang sama porsi pengeluaran sosial dibandingkan dengan total pengeluaran nyaris tidak atau hanya sedikit meningkat. Begitu pula dengan pajak yang hanya 20 persen dan terbilang rendah dalam total anggaran. Sementara itu, di beberapa negara, Brasil misalnya, struktur pajaknya masih amat regresif. Begitu pula banyak yang masih menyubsidi konsumsi kelas menengah sehingga melemahkan kemampuan investasi dalam sebuah negara yang infrastruktur ekonominya terbilang lemah. Terkait hal-hal itu, untuk pertama kali Sosial Demokrasi di Amerika Latin memiliki kesempatan. Bagaimana kelompok ”kiri tengah” memanfaatkan peluang itu.

IVAN A HADAR Analis Ekonomi-Politik; Wakil Pemred Jurnal SosDem