Rabu, 28 Januari 2009

APBN Diubah demi Stimulus Daya Serap Rendah Menjadi Ancaman Serius Rabu, 28 Januari 2009 | 00:11 WIB Jakarta, Kompas - Untuk mengantisipasi memburukn


Daya Serap Rendah Menjadi Ancaman Serius

Jakarta, Kompas - Untuk mengantisipasi memburuknya krisis ekonomi global, APBN 2009 dirombak. Salah satu penyebab perombakan itu adalah adanya tambahan stimulus fiskal dari Rp 12,5 triliun menjadi Rp 71,3 triliun. Ini diharapkan bisa menekan daya rusak krisis ekonomi tersebut.

Demikian diungkapkan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (27/1).

Rapat ini mengagendakan laporan pemerintah atas perubahan APBN 2009 yang terjadi karena adanya berbagai perubahan asumsi makroekonomi pascakrisis keuangan dunia pada Oktober 2008.

Menurut Sri Mulyani, total stimulus fiskal itu setara dengan 1,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Itu cukup memadai untuk menahan tekanan krisis ekonomi global karena diharapkan bisa menahan laju pengangguran terbuka pada tahun 2009.

Akibat krisis ekonomi, pengangguran terbuka akan mencapai 8,87 persen dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 107 juta orang. Namun, dengan paket stimulus fiskal tersebut, pengangguran terbuka akan ditekan ke level 8,34 persen atau menciptakan 150.000 lapangan kerja baru.

Arah penggunaan stimulus fiskal ini adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing dan daya tahan dunia usaha, serta meningkatkan belanja infrastruktur yang padat karya.

Subsidi harga

Peningkatan daya beli masyarakat diharapkan bisa tercapai melalui program subsidi harga obat generik, subsidi harga minyak goreng, dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada beberapa produk akhir.

Adapun untuk peningkatan daya saing dan daya tahan dunia usaha, pemerintah memberikan pembebasan bea masuk; fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) badan; keringanan PPN; PPh Pasal 21 karyawan; potongan tarif listrik untuk industri; penurunan harga solar; pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kredit usaha rakyat; dan jaminan ekspor.

Dalam meningkatkan belanja infrastruktur, stimulus diarahkan pada rehabilitasi jalan kabupaten, bandara, pelabuhan, jalan kereta api jalur ganda, pembangunan rumah susun sederhana sewa, pembangunan pasar, dan pembangunan gudang beras.

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, mengatakan, format stimulus tersebut mengkhawatirkan karena tingkat keberhasilannya sangat bergantung pada percepatan daya serap anggaran oleh para pengguna dana di kementerian, lembaga nondepartemen, dan pemerintah daerah. Padahal, pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah lambatnya penyerapan anggaran.

Masih diperdebatkan

”Pemerintah harus mempertimbangkan bentuk stimulus yang diberikan, apakah lebih baik dengan memperbanyak pemangkasan pajak atau memperbesar kucuran dana. Ingat, di Amerika, masalah ini masih menjadi perdebatan,” ujar Dradjad.

Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebutkan, akibat krisis ekonomi global, pendapatan, belanja, dan pembiayaan APBN harus diubah. Di sisi pendapatan, penerimaan perpajakan diperkirakan turun Rp 58,95 triliun. Begitu juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terpangkas Rp 73,07 triliun. Keduanya menyebabkan penerimaan negara dalam APBN 2009 turun menjadi Rp 853,68 triliun dari target semula Rp 985,7 triliun.

Adapun anggaran belanja negara akan turun akibat berkurangnya subsidi sebesar Rp 43,54 triliun dan berkurangnya transfer ke daerah senilai Rp 16,9 triliun. Ini terutama akibat turunnya harga bahan bakar minyak dan patokan harga jual minyak mentah Indonesia dari 80 dollar AS per barrel menjadi 45 dollar AS per barrel.

”Dengan demikian, penerimaan negara akan berkurang Rp 132 triliun dan belanja negara akan dihemat Rp 53,2 triliun. Hal itu menyebabkan defisit naik Rp 51 triliun menjadi 2,5 persen terhadap PDB atau Rp 132 triliun,” tutur Sri Mulyani.

Anggaran pendidikan

Meski demikian, pemerintah tidak memangkas anggaran pendidikan yang ditetapkan Rp 207,4 triliun. Dengan demikian, persentase anggaran pendidikan terhadap total belanja negara telah melampaui amanat UUD 1945, yakni 20 persen. Sebab, total anggaran belanja negara berkurang dari Rp 1.037,1 triliun menjadi sekitar Rp 983,9 triliun.

Akibat perubahan asumsi nilai tukar rupiah dari Rp 9.400 per dollar AS menjadi Rp 11.000 per dollar AS, pemerintah harus menanggung peningkatan beban pembayaran bunga utang Rp 8,1 triliun.

”Kenaikan ini murni akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,” ungkap Sri Mulyani.

Meski demikian, pemerintah berencana menambah utang senilai Rp 38 triliun. Ini berasal dari pinjaman siaga yang bisa ditarik Indonesia jika pemerintah gagal memenuhi target penerbitan surat berharga negara. (OIN)

Minggu, 18 Januari 2009

Anomali Indonesia

 

Di tengah hiruk-pikuk krisis global, harian SINDO (7/1/2009) memberitakan bahwa penjualan mobil di Indonesia pada 2008 mencatatkan sejarah keberhasilan menembus angka 600.000 unit.

Tercatat, penjualan mobil sepanjang 2008 melonjak 39,7 persen (hampir 40 persen) menjadi 607.151 unit, dari sebelumnya 434.473 unit. Kecenderungan dalam pasar mobil Indonesia ini kontras dengan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan penurunan pangsa pasar di bawah 50 persen akibat tekanan krisis finansial.

Industri automobil global sedang mengalami persoalan besar karena menurunnya permintaan. Bahkan raksasa mobil Jepang, Toyota, yang belum lama mencatatkan diri sebagai produsen mobil terbesar di AS, berencana menghentikan produksi selama beberapa waktu sebagai antisipasi penurunan permintaan di pasar global.

Hal ini berkaitan dengan ekspektasi perusahaan-perusahaan Jepang yang pesimis tentang prospek pemulihan ekonomi nasional (Jepang) dan global dalam waktu dekat. Penguatan yen terhadap dolar AS merupakan faktor yang memukul korporasi-korporasi Jepang, di samping permintaan global yang menurun.

Hal Biasa?

Data tentang naiknya angka penjualan mobil di Indonesia 2008, di tengah krisis finansial global, dapat dianggap sebagai hal biasa maupun tidak biasa. Bisa dianggap biasa karena bahkan dalam tahun- tahun pahit krisis moneter Asia, Indonesia masih mendudukkan diri sebagai salah satu pasar terbesar bagi produk mobil mewah BMW, bersandingan dengan negara-negara seperti AS, Afrika Selatan, dan Hong Kong.

Menjelang krisis moneter 1997-1998, produsen sepeda motor Yamaha berada dalam kondisi sulit dan berancang-ancang hendak meninggalkan Indonesia. Namun, ketika krisis moneter melanda justru permintaan sepeda motor di Indonesia melonjak drastis. Masyarakat berusaha menghemat biaya transportasi dengan memilih sepedamotor sebagai sarana berkendaraan.

Bisnis penjualan sepeda motor, dengan cara kredit, dengan uang muka murah, merebak bak cendawan di musim hujan, justru setelah krisis moneter tiba. Produsen sepeda motor pun bernafas lega dan Yamaha pun batal hengkang dari Indonesia. Barangkali melihat uniknya pasar Indonesia ini produsen mobil AS, General Motors, berbulat hati untuk merealisasikan investasinya di Indonesia tahun depan, yang berkisar antara USD50 juta sampai dengan USD100 juta (SINDO, 7/11/2008).

Seperti rekan-rekannya, Ford dan Chrysler, saat ini General Motors menghadapi kesulitan bisnis serius, sehingga terpaksa ngantre minta dana talangan dari pemerintah Washington. Bisa jadi mereka berharap perluasan sayap bisnisnya ke Indonesia akan memberi suntikan darah baru bagi usaha mereka yang sedang lesu.

Hal Tak Biasa

Fenomena booming penjualan mobil di tengah krisis global bisa dianggap hal yang tidak biasa alias anomali, karena dampak krisis finansial global sudah mulai dirasakan oleh sebagian besar anggota masyarakat Indonesia. Naiknya kurs dolar AS terhadap rupiah jelas memukul usahawan dan pedagang yang bergantung pada produk impor.

Permintaan akan produk seperti komputer, laptop, dan barang-barang elektronik lain, misalnya, sudah pasti menurun karena harganya yang meningkat cukup tajam, seiring melemahnya rupiah terhadap dolar. Dampak paling menyakitkan dialami kalangan buruh.

Jumlah PHK sampai saat ini diperkirakan sudah mencapai ratusan ribu, dan dalam waktu dekat diprediksikan akan ada lebih dari dua juta orang kehilangan pekerjaan. Pasarpasar utama bagi ekspor Indonesia, yaitu Jepang, AS, dan Eropa semua sedang mengalami resesi, sehingga permintaan atas komoditas impor dari Indonesia pun menurun drastis. Akibatnya, perusahaan-perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang ekspor pun mengalami kesulitan besar, dan menjadikan PHK sebagai solusi yang pahit.

Ekonomi Indonesia

Bagi politisi di semua level, tahun 2009 adalah tahun politik. Pemerintah SBY sangat diuntungkan oleh penurunan harga minyak dunia yang kini berada di bawah USD50 per barel. Diuntungkan karena itu terjadi menjelang pemilu. Penurunan harga BBM diumumkan dengan penuh percaya diri di depan rakyat, padahal kebijakan itu diambil karena memang harga minyak dunia sedang turun.

Bukan sebagai wujud pemihakan rakyat atau populisme. Dalam kosakata real politics memang tidak pernah ada kata "keikhlasan", termasuk keikhlasan meringankan beban hidup rakyat.Yang ada hanya untung rugi politik. Maka tim SBY tampaknya begitu yakin bahwa sang presiden akan mulus mempertahankan jabatan untuk kedua kalinya.

Sebuah anomali lagi, tentu, karena krisis global justru "menguntungkan" presiden yang sedang berkuasa di Indonesia, karena harga BBM domestik bisa diturunkan menjelang pemilu. Sementara itu, calon-calon presiden lain masih berkutat dalam kemungkinan pilihan aliansi, dengan siapa, dengan partai mana.

Hampir tidak ada calon presiden atau tokoh partai yang dengan jelas menawarkan cetak biru atau pemikiran solutif menghadapi krisis global. Kalau mereka ditanya, apa program yang mereka perjuangkan untuk menghadapi krisis finansial global, jawaban mereka kira-kira akan seragam, "Tanyakan saja pada ekonom yang memang ahlinya!"

Bandingkan dengan Barack Obama dari Partai Demokrat AS yang punya program jelas menghadapi krisis, yaitu menawarkan program penciptaan 2,5 juta lapangan kerja baru bagi rakyat AS. Dengan kejelasan program itu pun Obama masih banyak mendapat kritik tentang visi pembangunannya yang menurut beberapa pengamat tidak terlalu jelas.

Bagaimana kalau para pengamat pengkritik Obama itu kita minta mengamati visi para calon presiden dan tokoh partai-partai politik di Indonesia? Fenomena booming penjualan mobil di Indonesia tahun 2008 harus dilihat sebagai hal yang tidak biasa karena merupakan cermin kesenjangan sosial yang makin mencolok.

Ada puluhan ribu orang yang hidupnya konsumtif dan bergelimang kemewahan, sementara ratusan juta lainnya harus hidup prihatin dan mengetatkan ikat pinggang. Meminjam ungkapan capres "underdog" Rizal Ramli, kemerdekaan negeri ini baru dinikmati oleh 20 persen warga republik.

Sementara itu, 80 persen warga yang lain masih belum merdeka dari kungkungan kesulitan ekonomi dan tekanan sosial. Indonesia mungkin adalah tempatnya anomali. Namun kita ingat juga, betapa publik tersinggung dengan ucapan salah seorang menteri dalam kabinet Indonesia bersatu ketika bencana banjir meluas di Tahan Air awal tahun silam.

Sang menteri mengatakan, toh rakyat masih bisa tertawa, jadi masalahnya jangan dibesar-besarkan. Sang menteri mungkin lupa, dalam budaya Jawa yang dominan di Indonesia, kemarahan hendaknya disimpan dan ditutupi dengan senyum. Sebuah senyuman, bukan ekspresi kemarahan, sangat rapi untuk menyembunyikan anomali. (*)

Syamsul Hadi
Dosen Ekonomi Politik Internasional
di Departemen HI FISIP-UI

Sabtu, 03 Januari 2009

Butuh Rp 300 Triliun

Kredit Perbankan Tahun 2009 Harus Tumbuh 20-22 Persen
Sabtu, 3 Januari 2009 | 00:58 WIB 

Jakarta, Kompas - Kredit perbankan sepanjang tahun 2009 diharapkan bisa mencapai Rp 300 triliun agar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah sebesar 4,5 persen bisa terwujud. Untuk mendorong penyaluran kredit sebesar itu diperlukan kondisi likuiditas yang lebih longgar dan penurunan suku bunga lebih lanjut.

Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono, Jumat (2/1) di Jakarta, menjelaskan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen dibutuhkan pembiayaan sekitar Rp 1.125 triliun. Itu dengan perkiraan nilai nominal produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2008 sekitar Rp 5.000 triliun.

Sumber pembiayaan itu antara lain berasal dari kredit perbankan, investasi swasta dan asing, belanja pemerintah, dan utang luar negeri.

Dari total pembiayaan yang dibutuhkan, menurut Tony, kredit perbankan biasanya menyumbang sekitar 25 persen.

Dengan demikian, kredit perbankan yang dibutuhkan pada tahun 2009 sebesar Rp 250 triliun-Rp 300 triliun.

Ini berarti kredit tahun 2009 harus tumbuh sekitar 22 persen dibandingkan dengan tahun 2008. Adapun pertumbuhan kredit tahun 2008 diperkirakan 32 persen dibanding 2007.

Gubernur Bank Indonesia Boediono memperkirakan pertumbuhan kredit tahun 2009 berkisar 20-22 persen.

Laju kredit tahun 2009 bakal lebih lambat dibanding tahun 2008 karena permintaan diperkirakan menurun seiring terjadinya krisis ekonomi global.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Milik Negara (Himbara) Agus Martowardojo memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan nasional tahun 2009 sekitar 20 persen.

Dalam situasi krisis seperti saat ini, kata Agus, perbankan cenderung mementingkan likuiditas ketimbang kredit. Saat ini, kredit dinilai lebih berisiko dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Untuk mendorong bank mau menyalurkan kredit, maka kondisi likuiditas harus diperlonggar. Adapun untuk mendorong permintaan kredit, suku bunga kredit harus diturunkan.

Menurut Agus, bank juga harus memperkuat manajemen risiko agar kredit yang disalurkan tidak menjadi bermasalah atau macet.

Agus mengingatkan, jika kredit itu macet, itu akan menyulitkan. Perbankan harus menyediakan pencadangan yang berpotensi menggerus modal bank. (FAJ)

Perpu Tidak Penuhi Syarat

Dua Alasan "Sunset Policy" Diperpanjang
Sabtu, 3 Januari 2009 | 00:56 WIB 

Jakarta, Kompas - Peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang memungkinkan perpanjangan batas waktu sunset policy atau fasilitas penghapusan sanksi pajak berupa bunga tidak memenuhi yang diatur oleh konstitusi.

Perpu tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini tidak layak dibuat karena tidak ada keadaan genting yang bersifat memaksa hingga aturan darurat seperti perpu perlu diterbitkan.

”Perpu ini belum memenuhi syarat ’hal ihwal kegentingan yang memaksa’ sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 Ayat 1,” ujar Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Dradjad H Wibowo di Jakarta, Jumat (2/1).

Menurut Dradjad, ada tiga alasan yang membuat faktor kegentingan dalam perpu UU KUP tidak terpenuhi.

Pertama, penerimaan pajak pada tahun 2008 disebut-sebut melebihi target sehingga tidak ada kegentingan dalam penerimaan negara.

Kedua, meledaknya permohonan nomor pokok wajib pajak (NPWP) baru tidak bisa digolongkan sebagai kegentingan, apalagi selama ini pemerintah memang bermaksud melakukan ekstensifikasi jumlah NPWP.

Ketiga, jika ada kekhawatiran atas prospek penerimaan pajak pada 2009, maka sebaiknya diantisipasi dengan revisi APBN 2009 bukan dengan perpu, jadi pemerintah justru sebaiknya mempersiapkan RUU APBN Perubahan 2009.

”Sejak awal sunset policy (1 Januari 2008) diberlakukan, saya sudah ingatkan pemerintah agar waktunya dilakukan hingga akhir 2009. Sunset policy ini butuh waktu yang lebih panjang. Kalau sekarang dipaksakan dengan perpu, ini akan menabrak aturan-aturan ketatanegaraan,” ujarnya.

Sementara dari sisi hubungan antarlembaga negara, ujar Dradjad, DPR juga semakin tidak nyaman dengan kegemaran pemerintah menerbitkan perpu. Sebab, hal itu seperti menodong DPR untuk menerima atau menolak usulan pemerintah tanpa memiliki waktu yang luas dalam pembahasannya.

Alasan pemerintah

Dirjen Pajak Darmin Nasution menegaskan, ada dua alasan utama perpanjangan batas waktu sunset policy.

Pertama, tingginya antusiasme wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang belum dibayar penuh untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya.

Kedua, membeludaknya animo masyarakat untuk memperoleh NPWP baru sehingga ada penumpukan berkas di kantor- kantor pelayanan pajak, sehingga tidak bisa diselesaikan hingga batas waktu berakhir.

”Selain itu, kami berpikir dengan memberikan perpanjangan waktu, akan ada perluasan basis pajak dan akan sangat baik untuk ekstensifikasi pajak,” ujarnya.

Darmin mengatakan, sunset policy dilakukan untuk memperluas basis pembayar pajak, antara lain dengan memperbanyak jumlah wajib pajak orang pribadi yang memiliki NPWP. (OIN)

Perpu Tidak Penuhi Syarat

Sabtu, 3 Januari 2009 | 00:56 WIB 

Jakarta, Kompas - Peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang memungkinkan perpanjangan batas waktu sunset policy atau fasilitas penghapusan sanksi pajak berupa bunga tidak memenuhi yang diatur oleh konstitusi.

Perpu tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini tidak layak dibuat karena tidak ada keadaan genting yang bersifat memaksa hingga aturan darurat seperti perpu perlu diterbitkan.

”Perpu ini belum memenuhi syarat ’hal ihwal kegentingan yang memaksa’ sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 22 Ayat 1,” ujar Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Dradjad H Wibowo di Jakarta, Jumat (2/1).

Menurut Dradjad, ada tiga alasan yang membuat faktor kegentingan dalam perpu UU KUP tidak terpenuhi.

Pertama, penerimaan pajak pada tahun 2008 disebut-sebut melebihi target sehingga tidak ada kegentingan dalam penerimaan negara.

Kedua, meledaknya permohonan nomor pokok wajib pajak (NPWP) baru tidak bisa digolongkan sebagai kegentingan, apalagi selama ini pemerintah memang bermaksud melakukan ekstensifikasi jumlah NPWP.

Ketiga, jika ada kekhawatiran atas prospek penerimaan pajak pada 2009, maka sebaiknya diantisipasi dengan revisi APBN 2009 bukan dengan perpu, jadi pemerintah justru sebaiknya mempersiapkan RUU APBN Perubahan 2009.

”Sejak awal sunset policy (1 Januari 2008) diberlakukan, saya sudah ingatkan pemerintah agar waktunya dilakukan hingga akhir 2009. Sunset policy ini butuh waktu yang lebih panjang. Kalau sekarang dipaksakan dengan perpu, ini akan menabrak aturan-aturan ketatanegaraan,” ujarnya.

Sementara dari sisi hubungan antarlembaga negara, ujar Dradjad, DPR juga semakin tidak nyaman dengan kegemaran pemerintah menerbitkan perpu. Sebab, hal itu seperti menodong DPR untuk menerima atau menolak usulan pemerintah tanpa memiliki waktu yang luas dalam pembahasannya.

Alasan pemerintah

Dirjen Pajak Darmin Nasution menegaskan, ada dua alasan utama perpanjangan batas waktu sunset policy.

Pertama, tingginya antusiasme wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang belum dibayar penuh untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya.

Kedua, membeludaknya animo masyarakat untuk memperoleh NPWP baru sehingga ada penumpukan berkas di kantor- kantor pelayanan pajak, sehingga tidak bisa diselesaikan hingga batas waktu berakhir.

”Selain itu, kami berpikir dengan memberikan perpanjangan waktu, akan ada perluasan basis pajak dan akan sangat baik untuk ekstensifikasi pajak,” ujarnya.

Darmin mengatakan, sunset policy dilakukan untuk memperluas basis pembayar pajak, antara lain dengan memperbanyak jumlah wajib pajak orang pribadi yang memiliki NPWP. (OIN)

Kamis, 01 Januari 2009

Batas Waktu "Sunset Policy" Diperpanjang

Jakarta, Kompas - Pemerintah memperpanjang batas waktu sunset policy atau program penghapusan sanksi bunga pajak dari 31 Desember 2008 menjadi 28 Februari 2009. Ini dilakukan karena perbankan kewalahan menerima permohonan pembayaran pajak kurang bayar dan banyak wajib pajak yang mengeluh karena sempitnya waktu untuk menyelesaikan semua urusan perpajakan mereka dalam rangka sunset policy.

”Kami dimarahi banyak orang, masak mau membayar ke negara kok dibuat susah. Selain itu, banyak formulir pembayaran pajak yang menumpuk di perbankan belum diproses hingga saat ini. Atas dasar itu, saya telah berbicara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, batas waktu sunset policy kami perpanjang hingga 28 Februari 2009,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa (30/12).

Menurut Sri Mulyani, dengan perpanjangan itu, wajib pajak bisa memperoleh ruang waktu yang lebih panjang untuk melaporkan pajak kurang bayar atau membuat nomor pokok wajib pajak (NPWP). Namun, pemerintah tidak akan memberikan pengampunan kepada wajib pajak yang tidak menyelesaikan kewajibannya setelah 28 Februari 2009.

Sunset policy adalah fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa bunga. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memulai kewajiban perpajakannya dengan benar.

Wajib pajak yang berhak mendapatkan penghapusan sanksi administrasi adalah wajib pajak yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk memperoleh NPWP sebelum batas waktu sunset policy habis. Wajib pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif paling lambat 31 Maret 2009.

Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan, perpanjangan batas waktu sunset policy itu dimungkinkan karena pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang akan mengubah UU KUP. Perpu itu sedang dalam proses penyusunan dan diharapkan bisa segera berlaku sebelum 1 Januari 2009.

”Perpanjangan tersebut dikhususkan bagi wajib pajak lama yang membetulkan SPT dan membayar pajak kurang bayar. Adapun kesempatan untuk membuat NPWP baru akan dibuka lebih lama, yakni hingga tanggal 31 Maret 2009,” ujar Darmin. (OIN)

ANGGARAN NEGARA

Dana Tidak Terpakai Sebesar Rp 60 Triliun
Rabu, 31 Desember 2008 | 01:26 WIB 

Jakarta, Kompas - Sisa dana pemerintah yang tidak terpakai sampai 30 Desember 2008 dilaporkan mencapai Rp 60 triliun.

Lonjakan dana di kas pemerintah itu terjadi karena rendahnya realisasi anggaran belanja di kementerian dan lembaga nondepartemen serta masuknya pinjaman luar negeri pada Desember 2008 sebesar 2,8 miliar dollar AS atau Rp 28 triliun.

”Dengan demikian, kami pastikan akan ada sisa anggaran lebih pada tahun 2008. Itu bisa menjadi modal bagi kita dalam menghadapi tahun 2009 yang diperkirakan akan terjadi krisis,” ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, saat berbicara dalam temu wicara dengan pelaku pasar modal seusai menutup Perdagangan Pasar Akhir Tahun 2008 di Jakarta, Selasa (30/12).

Menurut Sri Mulyani, penyerapan anggaran di kementerian dan lembaga nondepartemen rata-rata mencapai 92-93 persen dari target di APBN Perubahan (APBN-P) 2008.

Sisa anggaran tersebut, jelas Sri Mulyani, merupakan dana yang tidak terpakai karena penghematan pada masa tender dan juga masalah lain, seperti proses hukum yang menghambat pelaksanaan proyek akibat ada peserta lelang yang merasa dirugikan pada masa tender.

Sedangkan pinjaman luar negeri yang masuk berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Pemerintah Perancis, dan Bank Pembangunan Islam.

Akibat banyaknya dana yang tidak terpakai, pemerintah memastikan defisit APBN-P 2008 akan jauh lebih rendah dari target awal 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

”Departemen Keuangan sendiri hanya membelanjakan 88 persen dari pagu anggaran belanjanya tahun ini sebesar Rp 6 triliun,” ujarnya.

Besarnya dana yang tersisa itu, ujar Sri Mulyani, bisa menjadi modal awal bagi pemerintah untuk mendorong konsumsi dan menumbuhkan perekonomian hingga ke level yang paling layak di dalam tekanan krisis keuangan global, yakni 4-6 persen atau dengan nilai tengah 5 persen pada tahun 2009.

Dalam tekanan krisis perekonomian global, pertumbuhan ekonomi hanya bisa didorong oleh konsumsi rumah tangga dan pemerintah.

Saat ini, 60 persen penyumbang pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Pemerintah berharap, laju inflasi pada 2009 bisa mereda dari rata-rata inflasi 2008 di level 11 persen ke 6 persen.

Dengan turunnya inflasi itu, diharapkan beban masyarakat akan lebih rendah sehingga daya beli masyarakat akan meningkat.

Penerimaan pajak

Tingginya sisa dana yang tidak terpakai tersebut terjadi akibat masuknya penerimaan negara setelah kas pemerintah ditutup.

Salah satu penerimaan yang melonjak adalah pajak. Laporan Ditjen Pajak menunjukkan, penerimaan pajak hingga 24 Desember 2008 mencapai Rp 559,8 triliun atau Rp 25,3 triliun di atas target APBN-P tahun 2008 sebesar Rp 534,5 triliun.

”Berdasarkan realisasi itu, kami memperkirakan, penerimaan yang dihimpun Ditjen Pajak hingga 31 Desember 2008 akan mencapai Rp 566,2 triliun atau Rp 31,7 triliun di atas target APBN-P 2008 atau setara dengan 105,9 persen dari target APBN-P 2008. Itu total penerimaan yang berarti sudah memasukkan faktor PPh minyak dan gas,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution. (OIN)

Pasar Modal Jangan Disesali

IHSG Anjlok 51,4 Persen Dibandingkan Tahun Lalu 

Pialang merayakan penutupan transaksi saham akhir tahun di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (30/12). Pada penutupan transaksi pengujung tahun 2008 tersebut, indeks harga saham gabungan ditutup naik 14,516 poin (1,08 persen) menjadi 1.355,408. 

Rabu, 31 Desember 2008 | 01:24 WIB 

Jakarta, Kompas - Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tahun 2008 telah memberi banyak pelajaran berharga bagi pemerintah dan pelaku pasar modal dalam menjawab kesulitan yang disebabkan oleh krisis.

Pelajaran itu menyebabkan pemerintah dan pelaku pasar semakin dewasa dalam menghadapi berbagai masalah.

”Jadi, tidak ada yang perlu disesali dan disedihkan. Pasar modal Indonesia memang menempati urutan keempat terburuk di dunia, tetapi pelaku pasar tetap bisa menghadapinya dengan rendah hati bahwa semuanya memiliki batas-batas kemampuan yang bisa dilewati. Di sisi lain, kita menghadapi kesulitan yang luar biasa, tetapi bisa memberikan pencerahan sehingga pemerintah dan pelaku pasar menjadi jauh lebih dewasa,” ujar Sri Mulyani sebelum menutup perdagangan pasar modal akhir tahun di Bursa Efek Indonesia, Selasa (30/12).

Atas dasar kesulitan yang luar biasa itu, penutupan Perdagangan Pasar Modal tidak ditandai dengan peniupan terompet. Itu merupakan simbol yang menandakan bahwa tidak ada pesta yang meriah dalam penutupan masa perdagangan tersebut.

Kinerja ekonomi Indonesia

Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III-2008 mencapai 6,3 persen. Pemerintah mengakui, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2008 diperkirakan akan lebih rendah di bawah 6 persen, tetapi secara keseluruhan ekonomi pada 2008 masih tetap akan tumbuh di level 6,1 persen.

”Sementara itu, nilai tukar rupiah pun sudah mencapai keseimbangan yang bisa diterima semua pihak. Pada 2009, dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 4-6 persen dan dengan nilai tengah 5 persen serta turunnya laju inflasi dari 11 persen ke 6 persen,” ujarnya.

Kemarin, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup di level 1.335. Dibandingkan dengan posisi penutupan pada akhir tahun lalu yang sebesar 2.745, berarti indeks turun 51,4 persen.

Selama 2008, IHSG sempat mencatat rekor tertinggi dan juga terendah dalam beberapa tahun terakhir. Rekor tertinggi terjadi pada 9 Januari 2008 di level 2.830. Adapun rekor terendah berada di posisi 1.111 pada 28 Oktober 2008.

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany berharap posisi 1.111 sudah merupakan dasarnya sehingga indeks selanjutnya akan terus meningkat.

Sementara itu, Dirut BEI Erry Firmansyah mengatakan, pihaknya menargetkan 15 emiten saham baru pada 2009. Saat ini sudah ada 11 emiten yang sedang dalam pemrosesan. (OIN/FAJ)

Kepala Daerah Harus Hati-hati dengan Upah

Jakarta, Kompas - Kepala daerah yang menetapkan upah minimum sekadar berdasarkan perhitungan politis harus berhati-hati pada tahun 2009.

Langkah mereka menaikkan upah minimum tanpa mempertimbangkan tingkat produktivitas secara komprehensif hanya akan menambah jumlah pengangguran. Investor yang tidak mampu menjalankan keputusan bakal hengkang ke daerah lain.

Praktik ini sudah terjadi secara bertahap dan relokasi industri ke daerah lain semakin sulit dihentikan. Pengamat ekonomi, Faisal Basri, mengungkapkan hal ini dalam ”Refleksi Akhir Tahun 30 Serikat Pekerja/Serikat Buruh” yang diselenggarakan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) di Jakarta, Selasa (30/12). Sedikitnya 60 tokoh serikat buruh/serikat pekerja membahas isu ketenagakerjaan tahun 2008 dan 2009.

”Secara keseluruhan, upah minimum naik itu baik, tetapi per provinsi itu sulit. Industri di Banten pindah ke Sukabumi yang upah minimumnya lebih rendah. Buruh pabrik itu yang kemudian menjadi korban karena mereka jadi pengangguran,” katanya.

Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, upah minimum di DKI tahun 2009 sebesar Rp 1.069.865, Banten Rp 917.500, Jawa Barat Rp 628.191,15, dan Yogyakarta Rp 700.000.

Untuk Provinsi Banten, upah minimum Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang sempat direvisi. Upah minimum Kabupaten Tangerang direvisi dari Rp 1.044.500 menjadi Rp 1.055.000, sedangkan Kota Tangerang dari Rp 1.054.669 menjadi Rp 1.064.500.

Akan tetapi, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timbul Siregar sempat melontarkan dalil lain. Menurut dia, upah minimum tinggi belum tentu memicu pengangguran. Bisa saja angka pengangguran meningkat karena arus urbanisasi pencari kerja dari desa ke kota karena tertarik upah minimum.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi Pertambangan, Minyak Gas Bumi dan Umum (FSP-Kem) Sjaiful DP menambahkan, masih banyak pemahaman keliru terhadap upah minimum. Menurut dia, upah minimum adalah jaring pengaman, bukan standar upah setempat.

Terhadap hal itu, Faisal menjelaskan, upah minimum bukan jaring pengaman atau standar. Menurut Faisal, daerah dengan upah minimum tinggi mencatat angka pengangguran yang tinggi pula. Misalnya, Banten dengan angka pengangguran lebih dari 15 persen tahun 2007 dan Jawa Barat yang melebihi 10 persen.

Sebaiknya kepala daerah berkonsentrasi menyediakan lahan untuk perumahan di dekat sentra industri sehingga pekerja bisa menghemat biaya transportasi. Dengan cara ini, buruh akan lebih sejahtera karena memiliki kelebihan dana untuk ditabung.

Langkah tersebut dinilai lebih berpihak kepada buruh ketimbang memutuskan kebijakan populis yang efeknya malah mempersempit lapangan kerja baru. (ham)

NPL dan Permodalan Jadi Problem Utama

Bank BUMN Butuh Revisi Undang-undang
Rabu, 31 Desember 2008 | 01:26 WIB 

Jakarta, Kompas - Pada pengujung tahun 2008, sejumlah persoalan yang mendera perbankan mulai agak mereda, seperti kondisi likuiditas dan suku bunga tinggi. Namun, beberapa persoalan masih akan menghantui dan bahkan mencapai puncaknya pada tahun depan, yakni kredit bermasalah dan permodalan.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Milik Negara Agus Martowardojo, Selasa (30/12) di Jakarta, menjelaskan, secara umum kondisi perbankan pada pengujung 2008 cukup baik.

Beberapa persoalan yang cukup mengganggu dua tiga bulan lalu kini perlahan-lahan mereda, antara lain kondisi likuiditas, nilai tukar, dan suku bunga.

Kondisi likuiditas rupiah, kata Agus, sudah lebih baik meski belum normal betul. Itu tecermin dari suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) yang 10-11 persen per tahun.

Pemerintah dan Bank Indonesia telah melakukan serangkaian kebijakan untuk melonggarkan likuiditas. Pemerintah, misalnya, mencairkan anggarannya sekitar Rp 140 triliun selama November- Desember 2008.

Likuiditas ketat yang terjadi berlarut-larut sangat membahayakan industri perbankan karena bank tidak mudah lagi mendapatkan dana, baik untuk kredit maupun memenuhi penarikan oleh nasabah. Kondisi ini bisa berujung pada hilangnya kepercayaan nasabah kepada bank.

Nilai tukar rupiah yang sempat bercokol di level Rp 12.000-an per dollar AS kini sudah kembali ke kisaran rata-rata Rp 10.000-an per dollar AS.

Depresiasi kurs yang terlalu dalam bisa membahayakan bank, terutama yang memiliki banyak debitor yang juga sebagai importir. Akibat depresiasi kurs, debitor-debitor tersebut terancam bangkrut sehingga kreditnya ke bank menjadi macet.

Kondisi perbankan, ujar Agus, juga tertolong oleh mulai turunnya suku bunga acuan atau BI Rate. Pada awal Desember 2008, BI menurunkan BI Rate 25 basis poin menjadi 9,25 persen.

Penurunan BI Rate pada gilirannya akan mendorong penurunan suku bunga dana dan suku bunga kredit. Adapun persoalan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) belum begitu terasa pada 2008 meski angka rasionya mulai merangkak naik pada Oktober 2008, sebesar 3,34 persen. Seiring dengan makin banyaknya kinerja perusahaan yang terganggu akibat krisis global, persoalan NPL akan semakin berat pada tahun 2009.

”Masalah NPL dan permodalan harus diwaspadai pada tahun 2009. Perbankan harus makin prudent dan memperkokoh manajemen risikonya,” kata Agus.

Restrukturisasi NPL

Jika NPL meningkat, bank harus melakukan pencadangan yang dananya diambil dari modal. Bagi bank yang modalnya pas- pasan, rasio kecukupan modalnya bisa turun di bawah 8 persen, yang merupakan angka minimum sesuai ketentuan BI.

Salah satu upaya untuk meredam dampak peningkatan NPL adalah memperbesar permodalan. Untuk mengantisipasi beratnya ancaman NPL pada 2009, Agus mengharapkan BI melonggarkan sejumlah ketentuan, seperti penilaian kualitas aktiva, penundaan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55, dan perhitungan risiko operasional.

Agus juga mengharapkan agar pemerintah dan DPR segera mengamandemen UU No 49/1960 tentang panitia urusan piutang negara yang interpretasinya melarang bank BUMN melakukan pemotongan utang pokok (haircut).

Amandemen diperlukan karena Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 soal tata cara pengurusan piutang negara dianggap tidak terlalu kuat sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan masalah hukum pada kemudian hari. PP No 33/2006 memperbolehkan bank BUMN melakukan haircut dan penjualan dengan diskon atas kredit macet.

Menurut Agus, penanganan dan restrukturisasi NPL bisa lebih lancar dan cepat jika bank BUMN boleh melakukan haircut. Selain itu, Agus juga mengusulkan agar penyeragaman kualitas aktiva tidak diberlakukan untuk NPL yang disebabkan oleh transaksi derivatif.

Akibat depresiasi rupiah yang tajam, banyak investor yang rugi saat melakukan transaksi derivatif. Karena dana yang dipakai untuk transaksi derivatif ada yang berasal dari pinjaman, nasabah itu dikategorikan NPL jika tak mampu mengembalikan utangnya.

Berdasarkan aturan penyeragaman kualitas aktiva, jika satu debitor macet di satu bank, pinjamannya di bank lain juga dianggap macet. Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengatakan, dalam praktiknya, akan sulit memastikan apakah NPL terjadi akibat transaksi derivatif atau bukan. (FAJ/DAY)

Tahun Indonesia Kreatif 2009

Krisis Jadi Peluang bagi Ekonomi Kreatif 

Rabu, 31 Desember 2008 | 01:28 WIB 

Oleh Nur Hidayati


Saat krisis finansial Asia menghantam Indonesia pada 1998, Ardian Elkana mulai mengekspor produk animasi ke Amerika Serikat. Pada saat yang sama, Tonton Taufik memulai pemasaran mebel melalui internet. Hingga kini teknik pemasaran kreatif itu terus ia kembangkan, hingga ekspor mebel itu menembus lebih dari 50 negara.

Bagi Budiman, seorang arsitek, krisis 1998 juga mendatangkan berkah karena rencana pengembangan menara-menara yang semula ditangani arsitek asing dialihkan ke arsitek lokal. Bahan lokal untuk interior dan konstruksi pun lebih banyak dimanfaatkan.

Berangkat dari krisis 1998, sampai saat ini bisnis para pengusaha itu terus berkembang. Menghadapi krisis yang akan datang lagi, satu pesan penting mereka sampaikan: krisis adalah peluang untuk mengembangkan kegiatan ekonomi kreatif.

”Sepanjang sejarah dunia, perfilman selalu berkembang pada saat krisis, kebutuhan orang mencari hiburan tak berkurang. Perfilman itu bisnis yang tahan krisis,” ujar Mira Lesmana, produsen film laris manis Laskar Pelangi.

Di Indonesia, perfilman sebagai bagian dari kegiatan ekonomi kreatif memang sedang berkembang pesat. Mira mencatat, pada 1998, film Indonesia hanya dinikmati oleh 1 persen penonton bioskop. Saat ini, pangsa pasar film Indonesia berkembang, merebut 58 persen dari sekitar 45 juta penonton di bioskop.

”Masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengembangkan perfilman Indonesia dan membuatnya bisa menembus pasar internasional. Saya yakin, krisis sekarang tidak menghalangi pengembangan itu,” ujar Mira.

Untuk jenis produk kreatif yang berbeda, Tonton Taufik berpendapat senada dengan Mira. Pengusaha mebel ini mengaku sangat jarang mengikuti pameran, tetapi ia berhasil terus memperluas pasar ekspor untuk produknya, berkat pemasaran melalui internet.

”Dengan teknik pemasaran yang kreatif ini, tidak ada low season, bahkan pada saat krisis,” ujarnya.

Tonton mengingatkan, di China sekitar 200 juta penduduk saat ini diperkirakan paham teknik promosi lewat internet. Adapun di Indonesia, baru sekitar 25 juta orang yang diperkirakan kenal internet, belum termasuk pemahaman bagaimana berjualan dengan internet.

Perlu keberpihakan

Krisis selalu menandai datangnya momentum untuk menjadikan potensi ekonomi domestik sebagai tumpuan pertumbuhan. Indonesia bukan saja kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga dilimpahi keragaman latar sosial budaya. Dari situ, tak terbatas ide kreatif bisa digali.

Ekonomi kreatif didasarkan pada pengolahan atas ide, kreativitas, dan keterampilan individual untuk mengembangkan perekonomian berkelanjutan. Sejumlah 14 subsektor diidentifikasi sebagai industri kreatif, antara lain periklanan, arsitektur, kerajinan, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukan, percetakan dan penerbitan, serta radio dan televisi.

Pemerintah telah merampungkan penyusunan cetak biru pengembangan ekonomi kreatif dengan target program dan pencapaian hingga 2025. Bersamaan dengan peringatan Hari Ibu 22 Desember 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif.

Tentang pencanangan itu, Poppy Dharsono, pendiri Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), mengatakan, kampanye produk industri kreatif memang mesti didukung. Namun, banyak persoalan riil yang belum tersentuh ketika pemerintah sibuk dengan penyusunan konsep.

”Department store selama ini selalu memprioritaskan pengalokasian tempat untuk produk luar negeri. Kalau sedang masa krisis, produsen dalam negeri diminta mengisi prime space. Begitu keadaan membaik, kami digeser lagi ke posisi pinggir walaupun penjualan sebenarnya bagus,” ujar Poppy.

Sistem pembelian produk fashion lokal juga berbeda dengan produk impor. Merek-merek mahal dari luar negeri dibeli putus, sedangkan produk lokal dibeli dengan konsinyasi. Dengan begitu, produsen fashion lokal yang sebagian besar pengusaha kecil harus memiliki modal kerja sedikitnya untuk 6-9 bulan setelah melepas produknya ke pasaran.

Pemerintah tentu tak cukup sekadar mengimbau agar pusat perbelanjaan memberi ruang dan perlakuan yang lebih mendukung pada produsen lokal. Di berbagai negara di mana industri kreatif berkembang pesat, keberpihakan pemerintah tertuang melalui regulasi. Pengusaha kecil tidak dibiarkan bertarung sendiri dengan pemodal besar yang tentu selalu diuntungkan dalam mekanisme pasar bebas.

Saat ini 14 subsektor industri kreatif di Indonesia diperkirakan telah menyerap 5,4 juta tenaga kerja dengan kontribusi terhadap perekonomian diperkirakan mencapai sekitar Rp 112 triliun pada 2007. Sekali lagi, perlu diingat bahwa industri kreatif tumbuh dari usaha berskala kecil yang hampir semuanya dimotori orang muda.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengakui, pemerintah, dunia usaha, dan kalangan terdidik perlu bekerja sama lebih erat untuk membangun iklim kondusif bagi pengembangan ekonomi kreatif.

Hak kekayaan intelektual

Kerja sama dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memastikan penguasaan kemampuan kreatif itu semakin meluas. Pengembangan industri kreatif juga memerlukan iklim lebih kondusif, antara lain terkait hak kekayaan intelektual dan fasilitas ruang publik.

Pengenalan dan apresiasi terhadap warisan budaya, insan kreatif, dan produk-produk kreatif juga perlu diperluas. Makin luas pengenalan dan apresiasi itu, akan makin luas pula pasar dan dukungan finansial bisa didapat pelaku industri kreatif.

Infrastruktur teknologi dan komunikasi pun mendesak terus diperkuat untuk mendukung pengembangan industri kreatif. Dukungan lain yang tak kalah penting adalah kemudahan akses permodalan, baik dari perbankan maupun lembaga keuangan nonbank bagi para pelaku industri ini.

Tidak sebatas anggaran

”Cetak biru pengembangan industri kreatif ini disusun dengan program aksi pada masing-masing departemen. Bantuan pemerintah untuk pengembangan industri kreatif tentu bukan sebatas anggaran untuk insentif, tetapi misalnya juga termasuk sosialisasi pada perbankan untuk mendukung pembiayaan pelaku industri kreatif dan pengembangan database,” ujar Mari.

Database yang mengidentifikasi pelaku industri kreatif itu rencananya disusun dan mulai dapat diakses secara luas pada 2009. Dengan database tersebut, dapat dibentuk jaringan kerja sama yang lebih luas antarpelaku industri kreatif.

Pendesain interior sebuah hotel, misalnya, diharapkan lebih mudah memanfaatkan produk kerajinan berbahan lokal dengan memanfaatkan database itu.